Wednesday, August 19, 2009

Melakoni Hidup Secara Sepintas

“Sukses yang bertahan lama adalah hasil dari kesabaran,
ketahanan, kesiapan, dan pertumbuhan yang berkelanjutan.”
—Sidney Newton Bremer


Minggu ini (Selasa, 14 Juli-Minggu 19 Juli 2009) berisi hari-hari pembelajaran bagi saya. Pada hari Selasa itu, saya mengkopi ke dalam cakram padat (compact disc) lagu-lagu Richard Marx yang telah diunduh kawan saya dari Internet. Salah satunya adalah Thanks to You, sebuah lagu yang dipersembahkan Marx bagi ibu(nya). Salah satu liriknya, “And I never can do enough…”, begitu berkesan di hati saya. Bahkan melalui lagu yang melodinya demikian menyentuh perasaan, Marx maupun kita semua, saya kira, takkan pernah cukup berbuat untuk ibu kita. Perbuatan sebaik apa pun takkan pernah cukup untuk membalas kebaikan ibu pada anak-anaknya. Saya pribadi hanya bisa berusaha sebaik mungkin dalam hidup ini, agar susah-payah ibu saya melahirkan saya ke dunia ini ada gunanya.

Lalu, pada Jum’at, 17 Juli, beberapa belas menit sebelum saya mendapat kabar tentang ledakan bom di Ritz-Carlton dan J.W. Marriot, saya terinspirasi untuk menulis note Facebook bertajuk “Siapa Menggerakkan Siapa?”. Ketika orang-orang berkomentar tentang siapa yang menggerakkan pelaku pemboman, saya membatin, “Siapa menggerakkan siapa?” Hari itu, saya merenungkan kematian: bila saatnya tiba, pengamanan seketat apa pun takkan menghalangi malaikat maut menerobos barikade untuk menjemput Timothy Mackay dan kedelapan orang lainnya.

Hari Sabtu, 18 Juli, siang, saya menonton film Click di AXN. Film yang dibintangi Adam Sandler dan Kate Beckinsale itu mengisahkan seorang pria bernama Michael Newman (Sandler) yang menjadi suami dari Donna (Beckinsale), wanita cantik dan penuh perhatian terhadap keluarga, dan ayah dari dua anak, Ben dan Samantha. Michael gila kerja demi menggapai jabatan tinggi di firma arsitektur tempatnya bekerja hingga melupakan keluarganya. Ia juga marah pada Tuhan karena ia selalu ditimpa kesialan, hingga ia berharap dapat melewati (skip) itu semua.

Suatu hari, remote TV-nya rusak, dan pergilah ia ke toko di mana ia bertemu Morty, yang ternyata malaikat. Morty memberinya sebuah ‘pengendali semesta’ (universal remote), remote ajaib yang dengannya Michael bisa mengatur hidupnya semau dia dengan tinggal klik tombol remote. Semua yang menghalangi jalannya, yang menimbulkan sial baginya, ia skip. Ia menempuh jalan pintas dengan alat ajaib itu sampailah suatu ketika ia terbaring sekarat di rumah sakit lantaran serangan jantung pada saat ia menghadiri pesta pernikahan putranya, Ben. Michael telah melewati momen-momen di mana ia seharusnya menyaksikan anak-anaknya tumbuh dewasa. Ayah Michael meninggal tanpa ia tahu bagaimana. Juga bagaimana istrinya yang cantik akhirnya menikah dengan musuh bebuyutannya. Michael melakoni hidupnya secara sepintas lewat alat itu, sehingga ia kehilangan momen-momen berharga dalam hidupnya. Semua gara-gara ia menampik proses tumbuh dan berkembang yang mesti dijalaninya sebagai manusia.

Film itu, saya kira, juga meledek mereka yang menyia-siakan hal-hal yang paling esensial dalam hidup demi sesuatu yang semu, seperti karier yang hebat, harta yang berlimpah, dan jabatan. “Semua itu hanya sereal jagung, Michael,” kata Morty saat Michael terkapar menjelang ajal.

Hari Minggu, 19 Juli, usai rapat Pengurus Nasional PPK Subud Indonesia di Sekretariat, Wisma Indonesia, Kompleks Wisma Subud, Jalan RS Fatmawati 52, Jakarta Selatan, saya bersama sembilan saudara Subud saya mengunjungi saudara Subud yang sejak pertengahan tahun 2007 menderita sakit parah akibat diabetes. Bersamaan dengan sakit yang dideritanya, usaha soto mi serta Indomaret yang kini dikelola putra-putranya berkembang cukup pesat. Saudara Subud saya ini adalah pensiunan direktur utama sebuah perusahaan yang bergerak di bidang pengalihdayaan (outsourcing).

Kadang disela tangis, ia berkisah tentang dirinya, keluarganya dan hidupnya sejak ia didera sakit. Hartanya, yang dikumpulkannya dari jabatannya dahulu maupun dari bisnis-bisnisnya sekarang, terkikis untuk membiayai cuci darahnya lima hari sekali. Penyakit kronis yang dideritanya bukan satu-satunya kedukaan yang dialaminya sekarang ini, tetapi juga konflik dengan anak-istrinya. Bagaimanapun, ia menginsafi semua itu sebagai kasih-sayang Tuhan atas dirinya. Tak mau ia melewati momen itu. “To everything, give thanks,” ujarnya, mengutip kata-kata yang juga menjadi pedoman hidup salah seorang saudara Subud yang kemarin itu turut mengunjungi saudara Subud yang sedang sakit.

Pulang dari rumah saudara Subud itu, saya merenung di kamar. Tiba-tiba, saya mendapat kepahaman; secara rasa, hilang ketakutan saya akan kematian, lantaran hal itu adalah kehendak Tuhan yang tidak bisa disangkal. Yang saya takutkan adalah ketika saya mati nanti saya tiba-tiba sadar bahwa saya belum melakukan banyak hal bermakna dalam hidup ini. Saya pun tepekur ke dalam doa yang khidmat, “Ya Tuhan, janganlah Engkau membiarkan aku menjadi orang yang melakoni hidup secara sepintas.”©


Jakarta, 20 Juli 2009

No comments: