SEJUMLAH teman dan saudara Subud menganjurkan saya untuk mengirim “doa untuk Tera”, karena secara umum mimpi tiba-tiba itu (karena sebelumnya saya tidak pernah memikirkannya atau merindukannya, lantaran eksistensinya sudah benar-benar hilang sejak 35 tahun lalu) diartikan bahwa almarhumah minta didoakan.
Saya tidak tahu lagi cara mendoakan orang lain, baik masih hidup atau sudah mati, karena sebelum masuk Subud saya sudah berhenti beragama (dan kala itu, juga berhenti bertuhan), serta menafikan ritual-ritual atau tatacara agama. Sekarang saya hanya tahu Latihan, yang dalam sekuensnya akan membimbing saya untuk berdoa atau melakukan hal-hal lain sebagai sebentuk doa.
Nah, mumpung Rabu malam lalu, 3 September, merupakan jadwal Latihan di Pamulang, saya memanfaatkan kesempatan itu untuk bertanya kepada YM Bapak sebelum momen penenangan diri pra Latihan bersama, mengenai bagaimana “doa untuk Tera” yang sebaiknya saya lakukan.
Sepulang dari Wisma Barata, saya masih terpesona pada sangat kuatnya vibrasi yang saya rasakan, yang kemudian membawa saya ke suasana “menonton film” tentang masa lalu di kampus.
Baru keesokan harinya, jelang tengah malam, saya merasakan greget untuk menuangkan “doa untuk Tera”. Bukan dengan kedua tangan yang menengadah ke langit, bukan dengan komat-kamit dalam bahasa Arab atau serangkaian mantra sembahyang ala Hindu-Buddha. Melainkan dengan puisi, yang ketika menuliskannya terasa di saya seperti ucapan perpisahan yang layak dari seseorang yang berpuluh tahun tidak tahu bahwa perempuan, yang kepadanya dia memendam perasaan cintanya, telah pergi untuk selama-lamanya.
Usai menulis “Doa Untuk Tera”, saya merasakan
kepuasan yang mendalam, seakan almarhumah benar-benar berpamitan secara khusus ke saya. Puji Tuhan!
Doa Untuk Tera
Sayang, tidurlah dengan tenang
Dengarkan irama hatiku yang mengenang
masa lalu dimana kita bersua
Saling menyapa lewat mata
Kini, cintaku menemani istirahatmu
Karena kamu ada dalam diriku, jiwa menyatu
Kan kujaga kamu sepanjang waktu
Sayang, bagiku kamu tak berpulang
Hanya saja keberadaanmu tak terbilang
Kamu hanya melipir dari garis waktu
yang masih kususuri di setiap hariku
Ragamu telah larut dalam cahaya jiwa
yang menyinari jalanku ke Semesta,
dengan alunan kepasrahan sempurna
Sayang, tak usah lagi kamu ragu
Dalam tiadamu pun aku mencintaimu
Namamu terukir dalam baris tera
yang berjalin mesra takkan terlupa
Selamat tidur, Sayang, doaku takkan berhenti
mengiringi rehatmu yang abadi...
(Pondok Cabe, 4
September 2025, pukul 22.32 WIB)
Pondok Cabe,
Tangerang Selatan, 5 September 2025
No comments:
Post a Comment