Wednesday, September 24, 2025

Irama Kereta Api

 





DI hari ulang tahun pernikahan kami ke-28 ini, saya tidak hanya melihat tahun-tahun yang berlalu. Saya melihat sebuah peta ratusan kilometer, yang dilintasi oleh cinta, semuanya diukur dengan panjang rel kereta api. Kami membangun awal hubungan kami di atas jembatan antara dua kota: Nana di Surabaya, dan saya di Jakarta. Selama tiga tahun delapan bulan, cinta kami adalah pelajaran tentang kesabaran dan keyakinan, sebuah percakapan yang berlangsung melintasi jarak lebih dari 780 kilometer.

Irama hidup saya sejak jadian dengan Nana pada 29 Januari 1994 adalah irama kereta api. Bunyi roda besi yang berderit dan berdentang di atas rel menjadi lagu yang akrab, sebuah serenade untuk perjalanan yang akan membawa saya kepada calon istri. Ada 15 perjalanan seperti itu, biasanya dengan KA Jayabaya Selatan, tetapi sesekali dengan KA Argo Bromo Anggrek, dan setiap perjalanan adalah sebuah ziarah ke dalam diri. Saya ingat rasa yang terbangkitkan dengan setiap sawah yang dilewati, setiap desa kecil yang melesat di jendela. Rasa itu adalah penawar untuk penantian yang sepi, janji bahwa di akhir perjalanan ini, wajah Nana akan menunggu saya. Setiap perjalanan terasa seperti babak baru, bukti komitmen kami, sebuah penolakan untuk membiarkan jarak menjadi kata terakhir.

Tapi perjalanan ke-16 berbeda. Ini bukan hanya kunjungan; ini adalah perjalanan menuju pengukuhan kami. Pada 18 September 1997, KA Bima membawa lebih dari sekadar hati saya yang merindukan. Saya membawa paman dan bibi saya, sepupu perempuan saya dan putrinya. Mereka memenuhi kereta dengan tawa dan obrolan, sebuah pesta perjalanan yang penuh harapan. Beberapa hari setelahnya, menyusuri rel di Lintas Utara Jawa, ada 14 anggota keluarga lainnya, semua melakukan perjalanan panjang untuk menyaksikan penyatuan kami. Kereta api, yang sering kali menjadi simbol perpisahan kami, kala itu menjadi wadah penyatuan dan perayaan.

Saat kereta api melaju ke Stasiun Surabaya Kota (Semut), jarak itu larut. Jarak 780 kilometer terasa sangat panjang, beban yang berat di hari-hari awal, tetapi pada saat itu, dengan keluarga kami mengelilingi kami, rasanya tidak ada apa-apa sama sekali. Sebenarnya, jarak tidak pernah sebanding dengan apa yang kami miliki. Cinta telah mempersingkat jalan dari Jakarta ke Surabaya, bukan dengan ukuran panjang, tetapi dengan membuat setiap kilometer terasa berharga untuk ditempuh. ©2025

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 25 September 2025

No comments: