KEPADA para yunior saya dari era pasca Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FSUI), saya selalu memberi tekanan dengan kebanggaan tertentu ketika ditanya saya angkatan berapa di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) UI: “Maaf, saya generasi FSUI, bukan FIB. Saya angkatan pertama Kampus Baru UI Depok... 1987!”
Saya lulus SMA pada 28 April 1986, ikut ujian Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (Sipenmaru) dan diterima di Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (FPIPS) Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Negeri Jakarta yang berkampus di Rawamangun, Jakarta Timur, bertetangga dengan Kampus UI Rawamangun. Jurusan Pendidikan Sejarah di FPIPS IKIP Jakarta (sekarang bernama Universitas Negeri Jakarta/UNJ) merupakan pilihan kedua saya di Sipenmaru, sedangkan pilihan pertama adalah Sastra Cina FSUI.
Sebagai pilihan kedua, saya sebenarnya ingin mengambil Hubungan Internasional di Universitas Gajah Mada atau Universitas Diponegoro, tetapi kedua orang tua saya tidak setuju, lantaran kuliah di perguruan tinggi negeri (PTN) di luar Jakarta menurut mereka biayanya akan sama saja dengan saya kuliah di perguruan tinggi swasta saat itu, dan orang tua saya tidak sanggup membiayainya. Jadi, tantangan saya untuk kuliah di PTN semakin berat karena kursi di dua PTN yang ada di wilayah Jabodetabek saat itu diperebutkan ratusan ribu peminat.
Karena saat itu saya mudah demam panggung bila harus bicara di depan umum, yang justru merupakan keharusan bagi guru, maka saya tidak betah kuliah di IKIP Jakarta. Selain itu, saya terdorong untuk ikut Ujian Masuk PTN (UMPTN) 1987 setelah melihat di buku Isian Rencana Studi (IRS) FSUI milik kakak saya (yang kuliah di Sastra Belanda FSUI Angkatan 1985) adanya matakuliah Sejarah Militer Dunia dan Sejarah ABRI di Jurusan Sejarah FSUI. Saya memang meminati sejarah militer sejak di bangku sekolah dasar.
Bila anak-anak UI sebelum Angkatan 1987 bedol desa dari Kampus UI Rawamangun ke Kampus UI Depok pada tahun 1987, saya malah lebih “sangar”: Pindah dari kampus IKIP Jakarta di Rawamangun ke Kampus Baru UI Depok. Karena saya berhasil lolos UMPTN 1987, diterima di pilihan pertama saya, Jurusan Sejarah FSUI. Jadilah saya bagian dari Angkatan 1987, angkatan babat alas Kampus Baru UI Depok yang diresmikan Presiden Soeharto pada 5 September 1987.
Tatkala saya menjejakkan kaki di Kampus Baru UI Depok untuk pendaftaran ulang mahasiswa baru pada 1987, saya mendapat kesan bahwa UI--yang dijenamai sebagai “Kampus Perjuangan Orde Baru”—saat itu sepertinya malah dianggap ancaman terhadap pemerintahan Orde Baru. Kesan itu timbul di diri saya setelah memperhatikan bahwa lokasi kampus barunya dikelilingi dalam radius tertentu oleh barak-barak TNI dan Polri.
Lokasi UI Depok kala itu juga mengesankan “terbuang” ke pinggir kota, di kawasan yang waktu itu lebih menyerupai kampung. Kos saya saja, yang berjarak sekitar 100 meter dari Jl. Margonda Raya, Depok, di tahun 1991-1993 masih dikelilingi kebun kosong dan jalan setapak yang malam hari rada gelap dan sunyi. Seingat saya, kali pertama UI memindahkan kampusnya ke Depok, sempat muncul kepanjangan plesetan dari DEPOK, yaitu DaErah Pinggiran Oentoek Kampoes.
Sekarang, di usianya yang 38 tahun Kampus UI Depok seperti kota mandiri dengan beragam fasilitas yang membuat mahasiswa betah di dalamnya. Tigapuluh delapan tahun yang lalu, meski menyandang nama besar UI, Kampus Depok seperti alas (hutan) yang baru dibabat—panas, berdebu, sedikit pohon dan kehijauan (karena itu, salah satu tugas mahasiswa baru FSUI saat itu adalah membawa bibit tanaman), sepi sekali saat malam serta angker. Kampus UI Depok selama masa kuliah saya di sana, tahun 1987-1993, lebih tepat disebut “tempat jin buang anak”.
Bagaimanapun, yang paling memberi kesan
mendalam kepada kami Angkatan Babat Alas Kampus UI Depok, terutama Jurusan
Sejarah FSUI, adalah kebersamaan yang solid, yang terawat hingga kini, baik
melalui Grup WhatsApp maupun reuni luring berkala. Mungkin karena merasa
senasib sepenanggungan sebagai kaum yang menghuni “tempat Soeharto buang anak
perjuangan Orde Baru” di sebuah kawasan seluas 103 hektar yang tadinya
perkebunan karet, kampung dan pemakaman umum itu.©2025
Pondok Cabe, Tangerang
Selatan, 5 September 2025

No comments:
Post a Comment