Monday, December 17, 2018

Tuhan yang Bukan Meme


BARU-baru ini, saya mendengar tentang satu anggota SUBUD yang tidak pernah lagi muncul di Wisma SUBUD Cilandak atau di kelompok SUBUD mana pun lantaran kecewa pada Tuhan. Dia kecewa pada Tuhan karena dianggapnya Tuhan tidak mengabulkan permohonannya akan kehidupan yang lebih baik.

Karena kecewa pada Tuhan, ada orang yang meninggalkan SUBUD. Ketika saya kecewa pada Tuhan, saya tinggalkan Tuhan, bukan SUBUDnya. SUBUD adalah saya, saya adalah SUBUD. Dan di SUBUD saya ketemu Tuhan yang bukan meme agama.

Kebanyakan orang—sebagian terbesar malah—mengenal Tuhan dari gagasan yang menyebar dari satu orang ke orang lain dalam sebuah budaya, atau “meme”. Meme tidak menawarkan kebenaran indrawi, melainkan hanya kepuasan akal pikir yang pada gilirannya membangkitkan sensasi merasa paling benar agamanya, dan akhirnya menimbulkan sikap tidak toleran terhadap yang tidak sejalan dengan pemikirannya. Meme memang virus yang persebarannya lewat persepsi yang dibangun di pikiran. Pikiran manusia memiliki kelemahan, yaitu terlalu cepat menyerap informasi, bahkan yang palsu sekalipun. Karena itu, orang yang telah berbekal ilmu yang mempelajari meme, disebut memetika, tidak mudah termakan berita hoax.

Di dunia Barat, agama-agama besar telah ditinggalkan umatnya sejak 20 tahun yang lalu, karena terumpan rayuan gerakan Era Baru (New Age) yang menawarkan experiential religiosity (ER) atau keberagamaan berdasarkan pengalaman keilahian langsung yang menghormati ranah pribadi, bukan kepercayaan kolektif yang berkiblat pada pengalaman satu orang (nabi atau utusan Tuhan).

Meskipun mengandung konsep keberagamaan atau religiusitas, ER tidak masuk ranah agama. Ia adalah pengalaman indrawi akan hal-hal yang diyakini memiliki daya ilahiah yang melampaui eksistensi manusia. Ada yang menyebut itu Tuhan, daya hidup, kesadaran agung, sang cahaya, atau apa pun yang ingin Anda sebut.

ER tidak seragam; ia beragam, yang membangun keimanan seseorang berdasarkan pencerahan pribadi yang esoteris (hanya dipahami oleh yang bersangkutan). Karena itu, ER bersifat pribadi, tidak kolektif sebagaimana agama-agama yang dikenal selama ini. Tidak ada ajaran yang baku; satu-satunya tuntunan adalah yang diterima seseorang melalui “suara batin” atau tanda-tanda niskala (tak tampak) yang hanya dapat dipahami secara pribadi.

Di ranah ER ini, saya menghirup udara segar, setelah sekian lama sesak napas akibat ketumpatan ritual agama yang tak bermakna. Saat saya dibuka untuk menerima kontak Latihan Kejiwaan, saya serasa seperti ditarik secepat kilat dari ruang sempit di tengah panas gurun pasir dan dipindah ke ruang beratap langit berlantai bumi di lereng gunung yang berkabut dingin, di mana embusan angin meninggalkan embun yang memuaskan dahaga pencarian akan kesejatian diri. Di ruang tak berdinding dan tanpa batas waktu itu, saya menari penuh sukacita mengikuti irama bimbingan rasadiri yang telah berkontak dengan kesadaran agung, sang Kenyataan Tertinggi, Tuhan yang bukan meme. Segala kecewa atau sakit dalam rasa perasaan melebur dalam cinta. Cinta yang tak bertepi.

Terima kasih, Tuhan. Terima kasih, Bapak.©2018


Jl. Kalibata Selatan II, Jakarta Selatan, 18 Desember 2018

No comments: