Saturday, December 29, 2018

Setrum Persaudaraan

Saat Kelompok SUBUD Tebet bersilaturahmi ke Wisma SUBUD Bogor pada 25 Desember 2018.


SEBAGAI sebuah perkumpulan, adalah lazim bila persaudaraan kejiwaan Susila Budhi Dharma (SUBUD) mengadakan kongres nasional dan dunia. Perkumpulan Persaudaraan Kejiwaan (PPK) SUBUD Indonesia rutin menyelenggarakan kongres nasional dua tahun sekali. Dalam kongres, anggota, melalui pengurus cabangnya masing-masing mencalonkan kandidat ketua umum, yang akan memimpin pengurus nasional PPK SUBUD Indonesia selama satu periode (dua tahun).

Di kongres juga digelar sidang-sidang yang membahas program-program organisasi, kepembantupelatihan, dan kepemudaan, yang akan diputuskan oleh kongres untuk dilaksanakan selama dua tahun kepengurusan dari ketua umum yang terpilih.

Bagaimanapun, sebagian besar peserta Kongres Nasional SUBUD Indonesia datang untuk acara-acara kejiwaannya, seperti gathering dengan sesama anggota dan pembantu pelatih, ceramah dan/atau testing dari Ibu Rahayu, ataupun sekadar temu kangen dengan saudara-saudara sejiwa yang terpisah jarak yang jauh. Acara kejiwaan, formal maupun nonformal, di ajang Kongres Nasional mampu men-charge anggota dengan semangat baru yang tak terlupakan sepanjang hayat, karena bersama-sama para anggota menjadi sebuah gardu listrik yang memberi daya setrum yang menggelorakan semangat batin, yang pada gilirannya mengaktifkan sisi lahiriah kita.

Ceramah-ceramah Bapak Subuh di sejumlah kongres nasional SUBUD di berbagai negara Eropa sepanjang tahun 1970 mengkritisi sangat kurangnya porsi kejiwaan dibandingkan porsi organisasi atau kepengurusan pada perhelatan anggota SUBUD. Rupanya, kongres nasional ala SUBUD seharusnya menjadi ajang kejiwaan bagi.anggota untuk mengisi baterai dirinya dengan setrum persaudaraan yang terbangkitkan melalui acara tersebut, dan bukan ajang pengurus dalam rangka menata organisasi. Inilah yang membedakan organisasi SUBUD dengan organisasi pada umumnya.

Degradasi kongres nasional SUBUD—dari ajang kejiwaan menjadi acara pengurus—juga menimpa Indonesia, dari mana SUBUD berasal. Pembahasan anggaran dasar dan rumah tangga tak berkesudahan dan bursa pencalonan ketua umum mengingatkan anggota SUBUD akan nuansa kongres partai politik. Dan jangan dikira politik uang tidak ada dalam pencalonan ketua umum organisasi kejiwaan ini. Para anggota yang datang untuk aspek kejiwaannya malah disandangi status "penggembira", seakan tidak penting apakah mereka hadir atau tidak.

Kenyataan ini telah mendorong para anggota SUBUD Indonesia, khususnya, yang berasal dari budaya yang kental tradisi silaturahminya, berinisiatif sendiri membangkitkan setrum persaudaraan dengan melakukan kunjungan-kunjungan sosial ke berbagai cabang SUBUD di seluruh negeri.

Sebagaimana yang saya alami berkali-kali, setrum persaudaraan menyengat sekujur diri saya hanya melalui pertemuan kasual dengan saudara-saudara sejiwa dalam suasana yang santai. Pertemuan itu tidak perlu mewah, dengan hidangan ala kadarnya, dan di tempat yang sederhana. Kadang tanpa perlu mengobrol, setrum tersebut membangkitkan kesadaran akan kedekatan dan keselarasan, suatu rasa damai tak terbatas, suatu perasaan kuat meskipun sedang menderita. Keberadaan setrum itu membuat anggota SUBUD betah berlama-lama bersama saudara sejiwa.

Bila dalam jarak yang jauh saja—lintas benua, sebagaimana yang saya alami—setrum persaudaraan dapat dirasakan sengatannya, apalagi dalam jarak yang dekat. Tidak perlu bersusah-payah ke kongres nasional di tempat yang jauh, memakan biaya yang tidak sedikit, serta besar porsi urusan keorganisasiannya.©2018


Aeon Mall, Bumi Serpong Damai, Tangerang Selatan, 29 Desember 2018

No comments: