Monday, December 17, 2018

Icip-Icip


LATIHAN Kejiwaan memberi pelatih (dalam bahasa SUBUD berarti “orang yang berlatih kejiwaan”) banyak sekali “icip-icip" berupa kesaktian atau kemampuan yang menurut logika tidak mungkin dicapai seseorang dengan mudah, atau melampaui kebiasaan dan kebisaan orang biasa. Karena bersifat icip-icip maka kesaktian tersebut tidak bertahan lama. Bagaimanapun, sifat atau bentuk kesaktian tersebut berganti-ganti seiring seorang pelatih menekuni Latihan Kejiwaan.

Tidak jarang seorang pelatih kejiwaan terpedaya oleh icip-icip tersebut; ia merasa telah sampai pada suatu aras (level) yang lebih tinggi daripada pelatih-pelatih lainnya. Padahal SUBUD tidak mengenal jenjang; seorang pelatih yang baru dibuka (pertama kali menerima kontak Latihan Kejiwaan) dapat saja lebih maju kejiwaannya daripada pelatih yang sudah puluhan tahun berlatih kejiwaan.

Saya mengenal satu saudara SUBUD yang terpedaya oleh icip-icip. Merasa dirinya maju secara akademis (penyandang gelar magister dari sebuah perguruan tinggi terkemuka di Pulau Jawa) dan mampu membuat orang lain tenteram dengan perkataannya, dia membukai para wanita usia lanjut yang tergabung dalam majelis taklimnya. Padahal dia belum menjadi pembantu pelatih—suatu tugas yang dibebankan kepada seorang anggota yang telah berlatih minimal tujuh tahun dan disukai para anggota lainnya karena pembawaannya yang mampu ngemong dan mengayomi.

Untuk tertib organisasi, hanya pembantu pelatih yang diberi tugas untuk membuka kandidat (calon anggota SUBUD) dan mendampinginya selama hal itu diperlukan. Dan orang yang berminat masuk SUBUD harus melalui masa orientasi atau “masa tunggu” selama tiga bulan. Selama masa tunggu itu, seorang kandidat mendapat penerangan dari pembantu pelatih mengenai asas dan tujuan SUBUD, mengenai berbagai aspek kejiwaan dan keorganisasian SUBUD. Bukan tugas yang ringan, karena tanpa penerangan dan pendampingan yang memadai, menurut yang saya saksikan, banyak anggota akhirnya meninggalkan SUBUD.

Nah, saudara SUBUD ini merasa mampu membuka orang, tetapi ujung-ujungnya kelabakan ketika harus mendampingi para wanita usia lanjut yang ia buka—tanpa penerangan yang cukup—mengalami kebingungan. Utamanya, karena Latihan Kejiwaan mereka dibungkus dengan pengajian (dan pengkajian) syariat Islam, sedangkan SUBUD bukan agama, tidak memiliki ajaran serta tidak berteori. SUBUD adalah bakti kepada Tuhan Yang Maha Esa yang bersifat eksperiensial, atau mengalami langsung keilahian pada diri masing-masing orang.

Alhasil, saudara SUBUD itu meminta saya untuk memberi penerangan lanjutan kepada para wanita usia lanjut tersebut. Saya mau asal saya boleh menjadi diri sendiri, tidak harus mengutip dalil-dalil dari Al Qur'an atau berlagak ustad, supaya diterima para anggota majelis taklim yang dipimpin saudara SUBUD itu. Dia setuju, walaupun sempat mendesak saya agar membekali diri dengan satu-dua ayat dari Al Qur'an. Saya menolak, karena masuk SUBUD adalah tentang menjadi diri sendiri, bukan menjadi orang yang disukai menurut nilai-nilai orang lain.

Demi menjaga kesejatian saya (menjadi diri sendiri, apa adanya), saya pun muncul di acara pengajian dengan pakaian kesukaan saya: kemeja lengan pendek yang bagian bawahnya saya biarkan menggantung di luar celana, dan sepotong celana jeans belel. Pokoknya, jauhlah dari citra seorang ustad. Sebelum tampil di hadapan 50an anggota majelis taklim yang rata-rata sudah sepuh, saya menenangkan diri, sepenuhnya berserah diri kepada bimbingan Tuhan.

Lalu, mulailah saya bicara. Saya bercerita tentang berbagai pengalaman kehidupan saya setelah menerima Latihan Kejiwaan. Tidak terselip satu pun ayat suci di antara penceritaan saya. Semua mengalir sebagaimana adanya. Saya merasa ucapan saya dibimbing—begitu lancar, tanpa keraguan atau kelupaan. Tetapi yang ajaib, yang saya yakini sebagai bimbingan Tuhan, pada sesi tanya-jawab, para anggota majelis taklim membenarkan cerita-cerita saya dengan dalil-dalil dari Al Qur’an yang mereka sampaikan kalimat-kalimatnya dalam bahasa Arab yang fasih serta terjemahannya. Tanpa saya lengkapi dengan ayat-ayat suci, sebagaimana yang diharapkan saudara SUBUD tadi pada saya, ternyata audiens sendiri yang melengkapinya.

Begitu pun, para anggota majelis taklim itu menobatkan saya sebagai ustad yang hebat, sampai mereka tak segan untuk bergiliran mencium tangan saya ketika momen berbagi pengalaman itu sudah selesai. Maha Besar Tuhan dengan segala firmanNya, yang Dia salurkan melalui ucapan saya.©2018


Jl. Kalibata Selatan II, Jakarta Selatan, 18 Desember 2018

No comments: