Tuesday, December 4, 2018

Mengharumkan Kubur


TANGGAL 2 Desember 2018, bertepatan dengan hari ulang tahun saya, adik ipar saya mengembuskan napas terakhir pada pukul 12.50 di atas ranjang di rumahnya. Ditunggui istri, kedua putra dan putrinya, serta saudara-saudara kandungnya, adik ipar saya meninggal karena penyakit kanker nasofaring stadium akhir yang dideritanya sejak Februari 2018.

Almarhum dimakamkan keesokan harinya, tanggal 3 Desember 2018, di Tempat Pemakaman Umum Pondok Petir, Depok, Jawa Barat. Saya menyaksikan seluruh prosesi pemakamannya, mulai dari menurunkan jenazah yang telah dikafani ke liang lahat hingga para tukang gali menimbun kembali liang kubur dengan tanah, dan keluarga inti serta kerabat menaburkan bunga di atas gundukan tanah merah nan basah yang telah menutup liang kubur.

Saat kedua anak-anak almarhum menaburkan bunga di pusara ayah mereka, saya mendapat kepahaman tentang apa makna hal tersebut. Menaburkan bunga di pusara memang bagian dari tradisi masyarakat, yang tidak ada dalam ajaran agama. Mungkin hanya sebuah tradisi masyarakat Jawa atau kepercayaan mistik Jawa (Kejawen), untuk mengharumkan tanah kubur. Tapi saat menyaksikan prosesi tabur bunga ke atas makam adik ipar saya itu, saya beroleh kepahaman berikut ini.

Tabur bunga ternyata melambangkan atau merepresentasi suatu nasihat kepada yang masih hidup, terutama anak-anak dari orang yang telah meninggal, bahwa tugas mereka adalah mengharumkan kubur orang tuanya. Secara etimologi, “kubur” berasal dari kata bahasa Arab “kufur” yang merupakan kata kerja (verba), yang berarti “menanam” atau “memendam”.

Dalam kaitan tulisan saya ini, hakikat dari menanam bukanlah “meletakkan jenazah di dalam tanah”, melainkan “mencamkan di dalam diri” anak-anak dari orang yang telah meninggal, bahwa tugas mereka selanjutnya adalah mengharumkan nama orang tua mereka yang telah tiada. Bukan dengan taburan bunga-bunga cantik nan harum, melainkan dengan perbuatan dan perkataan yang baik. Karena, bagaimanapun, anak-anak direlasikan langsung oleh masyarakat kepada orang tua mereka. Bila anak dari seseorang bernama Syamsudin, yang sudah meninggal, berbuat jahat di lingkungan tempat tinggalnya, maka masyarakat setempat pun akan menilai, “Wah, itu anaknya Pak Syamsudin kok jahat ya? Padahal ayahnya sendiri tidak demikian.” Anak yang berbuat jahat, ayahnya yang telah meninggal dibawa-bawa.

Saya memujikan Tuhan untuk bimbinganNya atas pengetahuan mengenai tindakan simbolik “mengharumkan kubur” ini. Sayangnya, saya tidak dapat, atau belum diberiNya kesempatan untuk, menyampaikan hal ini kepada kedua anak almarhum adik ipar saya. Semoga di lain kesempatan saya dapat melakukannya.©2018


Jl. Kalibata Selatan II, Jakarta Selatan, 4 Desember 2018

No comments: