Thursday, December 13, 2018

Beroleh Khatir Ilham di Stasiun Kedungjati

Selfie saya di emplasemen utara Stasiun Kedungjati (KEJ, +36 mdpl) di Desa Kedungjati, Kecamatan Kedungjati, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah, pada 7 Februari 2016. Tampak di belakang saya, lokomotif CC206 dinas KA Semen Tiga Roda di Jalur 1 KEJ.


PADA hari Minggu, 7 Februari 2016, diantar oleh sepasang suami-istri anggota SUBUD Cabang Pati, saya dan istri berkesempatan mengunjungi rumah kelahiran Bapak Muhammad Subuh Sumohadiwidjojo, pendiri Perkumpulan Persaudaraan Kejiwaan SUBUD, di Kedungjati. Kedungjati adalah sebuah desa di kecamatan bernama sama, yang berada di wilayah administratif Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Desa Kedungjati adalah ibukota dari Kecamatan Kedungjati. Yang membuat saya sangat antusias adalah keberadaan stasiun kereta api warisan maskapai kereta api swasta Hindia Belanda, Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij (NISM), di desa tersebut.

Stasiun Kedungjati termasuk “Sepuluh Besar” stasiun tertua di Indonesia. Stasiun itu resmi dibuka pada tahun 1869, sekitar dua tahun sejak jalur kereta api pertama di Nusantara diresmikan, tetapi baru digunakan pada 1873. Stasiun tersebut adalah dampak dari dibangunnya jalur Semarang-Tanggung hingga Kedungjati pada 1867, serta Kedungjati-Ambarawa pada 1870, yang menyebabkan Desa Kedungjati menjadi titik keramaian dengan pertumbuhan sentra ekonomi yang pesat. Sebagai sebuah stasiun, Kedungjati bahkan memiliki posisi sangat strategis karena menjadi persimpang untuk jalur menuju Surabaya, Ambarawa, dan Vorstenlanden (Tanah-tanah Kerajaan, yaitu Yogyakarta dan Surakarta).

Berawal dari sebuah stasiun kecil dengan bangunan sederhana yang seluruhnya terbuat dari kayu jati, NISM melakukan pembenahan menyeluruh terhadap fisik Stasiun Kedungjati pada tahun 1907. Kayu jati sangat mudah didapat di daerah itu. Wilayah Kedungjati memiliki struktur tanah yang datar dan berbukit, sehingga tidak ada lahan persawahan, meskipun sumber air cukup berlimpah di sungai yang membelah Desa Kedungjati, yang bersumber dari Rawa Pening di Tuntang, Kabupaten Semarang. Alih-alih persawahan, dahulu terhampar ribuan hektar pohon jati di Kedungjati dan sekitarnya, dengan kualitas nomor satu. Keberlimpahan pohon jati itulah yang membuat daerah itu dinamai “Kedungjati”, yang bermakna kedung (lubuk/cekungan sungai) yang dikelilingi pohon jati.

Pembenahan yang dilakukan NISM pada tahun 1907 sama sekali mengubah wajah Stasiun Kedungjati. Konstruksi dari bangunan stasiun yang sebelumnya dari kayu jati diubah dan diperkokoh dengan batu bata yang diplester. Bagian peron ikut dibenahi, dengan penambahan overkapping (kanopi) dengan rangka baja dan beratapkan seng dengan tinggi 14,65 meter. Bentuk bangunan stasiun ini memiliki kemiripan dengan Stasiun Willem I di Ambarawa (diresmikan 21 Mei 1873) dan Stasiun Purwosari (1876) di Surakarta.

Stasiun Kedungjati, seperti Stasiun Ambarawa dan Purwosari, merupakan stasiun pulau. Konstruksi bangunannya, karena itu, berupa tiang-tiang baja yang menopang kuda-kuda atap. Di bawah atap besar ini terdapat ruang-ruang dinas dan pelayanan penumpang serta peron di kedua sisinya. Di emplasemen utara terdapat rel lintasan utama yang menghubungkan Semarang dengan Surakarta, sedangkan di emplasemen selatan terdapat dua jalur rel lintasan cabang menuju Ambarawa yang dinaungi overkapping kecil yang ditambahkan pada 1915.

Terletak hanya sekitar 50 meter dari rumah kelahiran Bapak Subuh, bubungan atap peron (overkapping) yang berwarna abu-abu dari Stasiun Kedungjati dapat saya lihat dari samping rumah tersebut. Saya sebelumnya tidak menandainya, tetapi setelah saya tanya ke penjaga rumah Bapak Subuh, yaitu Ibu Handono, di mana stasiun tersebut berada, beliau menunjuk ke bubungan abu-abu yang mencuat di atas atap-atap rumah penduduk, sambil berkata singkat, “Itu! Kelihatan dari sini.”

Maka saya pun bergegas menuju stasiun tersebut. Saya baru menandai, bahwa lahan dan bangunan di sisi timur rumah Bapak Subuh ditancapi papan penanda aset milik PT Kereta Api Indonesia (Persero), yang membuat saya menduga bahwa sebagian dari desa tersebut semasa Hindia Belanda merupakan kompleks bangunan fungsional NISM, mungkin untuk rumah dinas pegawai kereta api.

Jalan sempit menyerupai gang dengan deretan rumah di sisi kanan dan kirinya, di selatan rumah Bapak Subuh, saya lalui tidak lama setelah saya tinggalkan pekarangan rumah Bapak Subuh. Jalan itu tembus ke emplasemen utara Stasiun Kedungjati yang mewadahi tiga jalur rel dengan rel yang di tengah sebagai sepur lurus. Di selatan stasiun berbentuk pulau itu terdapat dua jalur rel, yang dipayungi kanopi peron mirip yang saya jumpai di Stasiun Purwosari.

Jalur 1 di sisi selatan Stasiun Kedungjati yang mengarah ke barat langsung menikung ke selatan, yang membentuk jalur kereta api yang dikenal sebagai Jalur Kedungjati-Secang. Jalur Kedungjati-Secang merupakan jalur bersejarah yang telah ditutup sejak tahun 1976. Di jalur ini kini yang aktif digunakan hanya petak Ambarawa-Tuntang dan Ambarawa-Bedono, yaitu oleh kereta api wisata yang berjalan reguler pada hari Sabtu, Minggu, dan hari libur nasional, serta dengan sistem sewa pada hari-hari lainnya.

Saat saya berkunjung pada 7 Februari 2016 itu, saya lihat jalur rel di sisi barat emplasemen selatan Stasiun Kedungjati belum tersambung, meskipun kericak sudah ditata dan bantalan rel beton sudah terpasang beberapa. Dan tidak ada pula pekerja-pekerja yang sedang bergiat memasang rel. Saya sempat mengira, mungkin karena hari Minggu mereka libur kerja. Namun rupanya aktivitas untuk reaktivasi jalur kereta api Kedungjati hingga Ambarawa sudah berhenti sejak awal tahun 2015.

Menurut Kompas.com tertanggal 16 Oktober 2017, mengutip Menteri Perhubungan, Budi Karya Sumadi, reaktivasi jalur kereta api bersejarah Kedungjati-Tuntang memiliki potensi masalah, terutama pembebasan lahan. Pasalnya, banyak lahan di sepanjang jalur kereta api ini masih dikuasai oleh masyarakat. Sebelumnya dikabarkan, proyek reaktivasi jalur kereta api Kedungjati-Tuntang mangkrak. Proyek reaktivasi jalur kereta api sepanjang 30 km ini bahkan belum jelas kapan akan dilanjutkan kembali, setelah tiga tahun tak terurus.

Arsitektur Stasiun Kedungjati sangat mirip dengan Stasiun Ambarawa dan Stasiun Purwosari yang dibangun pada masa yang sama. Perbedaan yang menonjol selain pada ukuran juga pada perletakan ruang tunggu kelas 3. Di Stasiun Kedungjati, letak ruang tunggu kelas 3 berada di depan pintu masuk berdampingan dengan loket penjualan tiket. Ini berbeda dari Stasiun Ambarawa dan Purwosari yang ruang tunggu kelas 3-nya berada di belakang, berdekatan dengan kamar mandi dan WC.

Dengan diluncurkannya KA Joglosemarkerto atau Loop Line Jawa Tengah pada 1 Desember 2018, Stasiun Kedungjati kian ramai lalu lintas kereta apinya. Stasiun ini menjadi salah satu persinggahan dari KA Joglosemarkerto, yang memungkinkan para pecinta sejarah perkeretaapian maupun bangunan tua dapat mempercepat ketibaan mereka di stasiun yang menjadi salah satu tujuan wisata sejarah itu.

Tujuan sebenarnya dari kunjungan saya dan istri ke Kedungjati pada 7 Februari 2016 adalah untuk melihat langsung rumah di mana Bapak Muhammad Subuh dilahirkan dan melakukan Latihan Kejiwaan bersama ketua Ranting SUBUD Kedungjati, namun saya mendapat bonus “khatir ilham” saat blusukan ke Stasiun Kedungjati yang sebelumnya hanya saya lihat di lembaran majalah dan buku sejarah perkeretaapian.©2018
                                                        

Jl. Kalibata Selatan II, Jakarta Selatan, 14 Desember 2018

No comments: