Wednesday, December 5, 2018

Jiwa Ke Jiwa


PADA tahun 2005—saya tidak ingat tanggal dan bulannya, tapi sepertinya Maret, saya dalam keadaan antara tidur dan sadar melihat siluet seorang pria tua dari arah kasur yang saya tiduri di rumah kontrakan saya di Jl. Margodadi III, Surabaya, Jawa Timur. Waktu itu jam dua dinihari.

Siluet itu dapat saya lihat karena meski kamar saya gelap, pintu kamar biasa saya biarkan terbuka dan di pojok depan kamar mandi, yang letaknya di sebelah kamar tidur saya, terpasang lampu neon yang saya biarkan menyala sepanjang malam.

Batin saya dan pria itu seperti tersambung dan segera saya dapat mengenali bahwa beliau adalah Om Amen, adik kandung dari almarhum ibu saya, yang tinggal di Medan, Sumatera Utara. Dalam dialog jiwa ke jiwa antara saya dan paman saya tersebut, beliau berpamitan; beliau juga mengatakan, “Nanti kita ketemu lagi ya, To. Om pergi dulu.” Siluet itu pun sirna dari pandangan saya, dan saya kembali tidur.

Ketika saya terbangun paginya, ponsel saya berbunyi. Kakak kandung saya di Jakarta mengabari bahwa Om Amen telah meninggal dunia pada jam dua dinihari. Persis pada saat siluet sosok paman saya itu muncul di kamar saya. Saya pun bercerita ke kakak saya, bahwa pada jam itu, antara mimpi dan kenyataan, saya didatangi Om Amen untuk berpamitan. Pertanyaan kakak saya: “Lho, kamu kan nggak dekat dengan Om Amen, kok Om Amen pamitan ke kamu?!”

Saya juga tidak mengerti mengapa begitu.

Entah dalam mimpi atau melalui keadaan-keadaan nyata, saya kerap berhubungan jiwa ke jiwa dengan orang yang sudah atau akan meninggal, entah itu masih famili saya atau orang lain yang tidak sedarah. Ketika Mas Adji, cucu tiri dari Bapak Muhammad Subuh Sumohadiwidjojo, meninggal pada Februari 2005, saya yang sedang duduk di depan komputer di kantor saya tiba-tiba merasa tidak enak badan. Saya gemetar, serasa mau mati, dan tiba-tiba ada sesuatu di dalam diri saya yang serasa keluar dari badan saya, langsung melesat pergi. Saya mendapat pengertian bahwa ada seorang saudara SUBUD telah pergi untuk selamanya. Beberapa menit kemudian, pembantu pelatih daerah SUBUD Cabang Surabaya, Pak Soejanto Luwihardjo menelepon saya, memberitahu tentang wafatnya Mas Adji.

Perihal pengalaman jiwa ke jiwa dalam kaitan dengan paman saya di Purwokerto, yang menghendaki masuk SUBUD pada tahun 2007, pernah saya publikasikan di blog ini dengan judul “Kebenaran Latihan Kejiwaan SUBUD yang Saya Terima” (klik http://kriyashakti.blogspot.com/2018/09/kebenaran-latihan-kejiwaan-subud-yang.html). Paman itu dan kemudian paman lainnya (adik kandung ayah saya juga) di Purwokerto, yang meninggal pada 3 September 2007, saya rasakan proses kepulangannya ke alam keabadian. Om Darno, begitu saya memanggilnya, sedang dalam keadaan kritis, ketika sepupu saya di Purwokerto menelepon saya yang sedang berada di Ungaran, Jawa Tengah, dalam rangka acara Konsolidasi Pemuda SUBUD Indonesia, pada 1-2 September 2007, menginformasikan hal itu dan meminta saya menunda kepulangan ke Jakarta dan agar kembali ke Purwokerto pada hari itu juga.

Karena bingung dan grogi, saya kemudian mengajak satu saudara SUBUD, yang juga menginap bersama saya di rumah seorang pembantu pelatih SUBUD Ranting Ungaran, untuk menemani saya melakukan Latihan Kejiwaan di ruangan di rumah tersebut yang memang diperuntukkan para anggota Ranting Ungaran berlatih kejiwaan. Dalam Latihan Kejiwaan itu, saya merasakan sesuatu keluar dari diri saya, dan saya merentangkan kedua lengan ke atas dan mendongakkan kepala saya, seraya berucap “inna lilahi wa inna ilaihi roji’uun”. Saya tidak mengerti mengapa, tapi perasaan saya tidak enak. Usai Latihan, saya segera memeriksa ponsel saya—mungkin ada SMS masuk atau miscall. Tidak ada apa pun di layar ponsel saya yang menginformasikan adanya SMS atau miscall, tapi mata saya sempat melihat jam menunjukkan pukul 09.33 WIB.

Sepuluh menit kemudian, sepupu saya menelepon saya lagi. Kali itu untuk memberitahu bahwa Om Darno sudah pergi untuk selama-lamanya. “Jam berapa?” tanya saya.

“Jam sembilan lewat tiga puluh tiga menit, Mas,” jawab sepupu saya.

Jawaban itu membuat saya merinding. Saya merasa, Latihan Kejiwaan yang saya lakukan tadi telah menjadi “jembatan” bagi paman saya untuk kembali kepada Sang Pencipta.

Segera setelah mendapat telepon tersebut, saya menelepon pemilik rumah, Mas Susilo Haksoro namanya, yang sedang mengantar Koordinator Pemuda SUBUD Indonesia ke Bandar Udara Ahmad Yani Semarang dan sesudah itu akan ke Stasiun Semarang Tawang untuk memesan tiket KA Argo Bromo Anggrek buat saya pulang ke Jakarta malamnya. Saya menelepon Mas Susilo untuk membatalkan pemesanan tiket kereta api, karena saya toh harus kembali ke Purwokerto menumpang bus. Beberapa hari sebelum acara Konsolidasi Pemuda SUBUD Indonesia digelar di Bandungan, Ungaran, saya memang sedang berada di Purwokerto dalam rangka pengukuhan satu saudari SUBUD dari Cabang Purwokerto menjadi gurubesar Universitas Jenderal Soedirman, dan saya sengaja terus tinggal di Purwokerto karena lebih dekat ke Ungaran.

Mas Susilo beserta istrinya, Mbak Dini, tiba kembali di rumah dengan membawa tiket bus Lorena jurusan Purwokerto yang berangkat jam 12.00 WIB, dan sejumlah oleh-oleh untuk saya bawa ke Purwokerto. Saya tiba di Purwokerto tidak lama setelah magrib. Di rumah duka, saya berjumpa dengan kakak dan adik saya, sepupu-sepupu, dan ipar-ipar saya yang baru tiba di Purwokerto dengan bermobil. Satu sepupu saya berujar, “Mas Anto kok selalu kebetulan ya ada di tempat saat Om Darisan dan saat Om Darno meninggal.” Saya hanya tersenyum—karena juga tidak mengerti mengapa bisa begitu. Kebetulan saya tidak percaya “kebetulan”. Mungkin karena hubungan jiwa ke jiwa, di mana jiwa paman-paman saya berkoneksi dengan jiwa saya.

Seorang pembantu pelatih sepuh SUBUD Cabang Jakarta Selatan, almarhum Pak Djoko Mulyono, pernah berbagi pengetahuan ke saya, bahwa jiwa orang yang akan meninggal sudah terlebih dahulu meninggalkan tubuh orang tersebut. Yang masih tinggal pada orang itu adalah akal pikir dan nafsunya, karena akal pikir dan nafsu adalah dua unsur niskala pada diri manusia yang paling sulit berserah diri. Jiwa yang sudah meninggalkan wadahnya akan berhubungan dengan jiwa-jiwa yang utama (yang sudah terbuka dan menerima bimbingan kekuasaan Tuhan), yang belum tentu dari kerabat orang tersebut.

Kebenaran dari apa yang disampaikan almarhum Pak Djoko itu ke saya, saya alami pada hari Jumat, 30 November 2018 lalu. Sepulang dari menengok adik ipar saya yang sedang kritis, almarhum Riza Aulia bin Achmad Kamal (14 April 1968-2 Desember 2018), saya menuju Tebet untuk memenuhi jadwal Latihan Kejiwaan rutin tiap Jumat malam di kediaman pembantu pelatih daerah (PPD) Cabang Jakarta Selatan, Mas Luthfie Hadiyin, di kompleks perumahan Regensi Tebet Mas, Jakarta Selatan. Saat penenangan diri, saya berucap “inna lilahi wa inna ilaihi ro’jiuun” serta mendaraskan puji dan puja kepada Allah Swt, seperti layaknya tahlilan. Lalu, ketika masuk ke momen Latihan Kejiwaan, saya terus mendaraskan puja dan puji seperti sebelumnya, dengan rasa perasaan yang dipenuhi kedamaian dan kesukacitaan. Rasanya ringan dan melayang.

Kemudian, saya “melihat” (menyaksikan dengan rasa diri) sosok adik ipar saya mengulurkan tangan kanannya ke saya untuk bersalaman, dan kemudian ia terbang menuju lingkaran cahaya putih yang berangsur-angsur melebar, ke mana ruh adik ipar saya masuk dan menyatu dengan semesta alam. Saat itulah, saya merasa pasti, dalam beberapa hari lagi Riza akan meninggalkan dunia fana ini. Ia mengembuskan napas terakhir pada 2 Desember 2018, pukul 12.50 WIB, di rumahnya. Saya tidak seberapa dekat dengan almarhum semasa hidupnya, tapi rupanya hubungan jiwa ke jiwa antara almarhum dan saya lebih dekat daripada yang dapat dijangkau akal pikir siapa pun.©2018


Jl. Kalibata Selatan II, Jakarta Selatan, 5 Desember 2018

No comments: