Thursday, August 21, 2025

SENJA UNTUK IRANIA - Sebuah Cerita Pendek


Catatan: Cerita ini hanya fiksi belaka, meskipun menampilkan beberapa hal nonfiksi terkait kehidupan saya. Cerita ini merupakan ekspresi kreatif saya saat brainstorming dengan diri sendiri, semacam pelatihan untuk saya yang saat ini tengah menulis sebuah novel.


AKU melihatnya pertama kali di peron Stasiun MRT Bendungan Hilir. Duduk sendirian dalam balutan cod overall denim dengan kaus dalaman hitam, memanggul ransel biru tua yang tampaknya membebani punggungnya. Aku menebak-nebak apa gerangan yang mengisi ranselnya itu. Tapi kemudian kutepis pikiran itu, dan beralih memfokuskan perhatianku pada sosok mungil dengan rambut ponytail itu.

Aku memperkirakan usianya sekitar 25 atau 27 tahun. Ia berkacamata dan kulitnya jenis olive skin, yang membuat wajahnya memancarkan kecantikan yang eksotik.

Aku memberanikan diri duduk di bangku yang ia duduki sendirian, dalam jarak tidak menempel tapi juga tidak terlalu jauh, agar suaraku tidak tenggelam dalam hiruk-pikuk para calon penumpang MRT yang tumpang tindih dengan suara announcer stasiun dari pengeras suara. “Ke Blok M, Mbak?" tanyaku dengan suara agak tercekat, tertahan oleh perasaan waswas kalau ia tidak akan menanggapiku.

Ia menoleh ke arahku dan senyumnya memunculkan lesung pipi yang membuat kecantikannya semakin membuat napasku sesak. “Oh, nggak, Mas. Saya turun Lebak Bulus,” ucapnya dengan suara yang renyah. “Kalau Masnya ke mana?”

“Lebak Bulus?! Wow, sama doong,” kataku. Waswasku sudah sirna ditelan senyum gadis itu. “Kabarnya ada gangguan listrik di Bundaran HI, keretanya nggak bisa jalan.”

“Oh gitu? Kok nggak diumumin ya?” tanyanya lagi, kembali menoleh kepadaku.

“Sudah tadi diumumin... sebelum Mbaknya datang.”

Gadis itu mengembuskan napas panjang, pipinya mengembang saat ia melakukannya. “Wah, bakal kemaleman deh sampai rumah.”

Aku melirik jam di layar ponsel cerdasku. Jam 19.15. Aku sudah hampir dua jam menunggu MRT Bundaran HI-Lebak Bulus di peron Bendungan Hilir. Gadis itu lumayan baru beberapa belas menit. Aku harus berusaha agar kehadiranku di sebelahnya tidak membuat ia bosan menanti momen keberangkatannya.

“Maaf, kalau saya kepo,” kataku kemudian. “Mbak kerja di mana?”

“Kantorku di Sahid Sudirman Center,” jawabnya, tak memerinci di perusahaan apa.

“Lhoo, satu bangunan dengan kantor saya doong,” kataku. “Saya di lantai enam, perusahaan tambang batu bara.”

“Aku di lantai empat, Mas,” ucapnya lagi. Setiap kali ia berbicara kepadaku, ia menoleh ke arahku. Tanda bahwa ia menaruh minat untuk mengobrol denganku. “Masnya engineer?”

“Oh bukan, saya di divisi CSR... Dikontrak dua tahun sebagai konsultan sustainability communications,” jelasku. “Wah, kita satu bangunan tapi ketemunya kok di peron ini.”

Gadis itu tertawa, kali ini tidak menoleh ke arahku, tapi dapat kulihat dari samping deretan gigi putihnya dan sepasang bibirnya yang indah. Tawanya lepas dan renyah.

Sesaat obrolan kami menjeda. Aku menenangkan diri, mencoba merasakan energi gadis itu. Aku merasakan bahwa ia ingin mengobrol lebih lama. Maka kucoba pendekatan yang lebih akrab.

“Mbak... Mbak siapa, namanya? Mau nggak kalau kita nunggu di Tomoro sambil ngopi?”

“Irania... Nama saya Irania. Mas?”

Dia tak menjawab ajakanku untuk menunggu di Tomoro Coffee yang ada di area Stasiun MRT Bendungan Hilir, membuatku agak kecewa. Tapi kemudian ia menoleh kepadaku dan mengangguk dengan mimik lucu.

“Boleh, Mas... Mas siapa?”

“Saya Arifin,” jawabku sambil bangkit dari atas bangku peron. Hatiku bersorak. Gadis itu ramah, bukan tipe yang gampang berprasangka buruk terhadap kenalan baru, tapi sikap dan perilakunya justru membuatku menaruh respek padanya.

Irania kemudian perlahan bangkit dari duduknya. Berdiri di hadapanku dengan badan tegak, baru aku tahu bahwa tingginya sedikit di atas dadaku. Kami kemudian berjalan beriringan ke Tomoro Coffee.

Vibe di stasiun ini benar-benar rush hour, orang lalu lalang dengan cepat, ada yang lari-lari. Sedangkan aku sendiri selalu berusaha lebih cepat tiba agar tidak terburu-buru dan bisa lebih santai. Dan spot Tomoro coffee di dalam stasiun MRT ini betul-betul membuat saya lebih santai di antara pejuang-pejuang rupiah yang commute melalui stasiun ini. Untuk kopinya sendiri konsisten, rasanya enak seperti di gerai-gerai lainnya, cappuccino-nya memang sudah menjadi favoritku.

Kami memilih meja di dalam Tomoro Coffee yang berpendingin udara serta tidak terlalu berisik. Aku memesan dua gelas minuman panas--cappuccino untukku dan kopi gula aren untuk Irania.

Sambil sesekali menyeruput minuman masing-masing, kami larut dalam obrolan ringan. Irania mengesankan pribadi yang humoris sekaligus cerdas. Sesuai pekerjaannya sebagai Junior Assistant Manager di Departemen General Affairs sebuah perusahaan penyedia layanan solusi data dan informasi.

Obrolan kami terpotong oleh pengumuman bahwa MRT Bundaran HI-Lebak Bulus akan memasuki Stasiun MRT Bendungan Hilir. Kami pun meninggalkan Tomoro Coffee dan kembali berjalan beriringan ke peron. Sambil melangkah, kami masih bertukar cerita. Salah satu ceritanya, entah sengaja atau keceplosan, mengungkapkan bahwa ia berumur 28 tahun—tidak jauh beda dari dugaanku—dan merupakan anak sulung dari dua bersaudara dengan adiknya adalah laki-laki.

Di dalam MRT yang mulai berjalan, dengan gerbong dijejali banyak penumpang yang membuat kami hanya bisa berdiri dalam jarak cukup rapat, kami masih terus mengobrol. Aku menawarkan diri untuk membawakan ranselnya yang tampaknya cukup berat, tetapi Irania menolak dan sebaliknya ia memindahkan ranselnya ke depan dadanya, mungkin khawatir jadi sasaran pencopet.

Ketika ia memindahkan ranselnya ke depan dadanya, gerakannya sempat menyingkapkan kalung yang ia kenakan di balik cod overall-nya, yang memberitahuku bahwa ia beragama Katolik. Aku Islam, tapi golongan yang tidak taat alias Islam KTP. Aku memilih untuk mengidentifikasi diriku sebagai “anggota Subud yang inklusif”, alih-alih muslim. Kalung salib yang dikenakan Irania, karena itu, tidak menyurutkan tekadku untuk mengenal lebih jauh gadis itu. Bahkan aku tidak akan menarik diriku jika Tuhan menghendaki aku berjodoh dengannya. Agama tidak menjadi pertimbanganku dalam memilih calon pendamping hidupku.

Turun di Stasiun MRT Lebak Bulus, Irania segera mengeluarkan ponselnya, hendak memesan ojek daring. Tetapi kemudian ia tampak ragu, karena kawasan Lebak Bulus sedang diguyur hujan. Sambil mengeluarkan ponselku sendiri, aku bertanya pada Irania, “Pulangnya ke arah mana?”

Ia menoleh padaku dengan wajahnya yang agak memucat, mungkin lelah. “Cireundeu, Mas.”

“Lho, kok satu jalan dengan saya!” kataku dengan nada tersentak dan kuperlihatkan tampilan pesanan taksi daring di layar ponselku. “Saya Pondok Cabe.”

Wajah Irania sekejap berseri-seri, menghapus pucatnya. Tatapan matanya penuh harap—mengharap ajakanku untuk bareng di taksi daring pesananku, mungkin. “Mau bareng?” tanyaku.

“Wah, saya nggak mau merepotkan Mas Arifin,” katanya. “Nanti saya ikut bayar setengahnya ya.”

Aku menegaskan padanya, diiringi senyum dan mimik kesungguhanku, bahwa keikutsertaannya sama sekali tidak merepotkan dan bahwa ia tidak perlu membayar setengahnya.

“Sebagai sesama warga Tangsel harus saling membantu,” candaku.

Irania duduk di jok tengah taksi daring pesananku, pas di sebelahku. Pendingin udara di dalam taksi sangat dingin, membuatku berkhayal mendekap erat gadis itu. Bukan sebagai ekspresi seksual, tapi lebih sebagai kepedulianku kepada sesama manusia.

Obrolan kami semakin akrab dan hangat selama perjalanan menembus hujan deras di dalam taksi daring. Jalanan cukup macet, tetapi untungnya sopir taksi tidak mengeluh apalagi mengumpat—semacam tanda bahwa ia menghendaki penumpangnya segera memutuskan untuk turun, sehingga tidak mengusik keakraban kami.

Menyadari keakraban itu, aku memberanikan diri meminta nomor WhatsAppnya. “Siapa tahu kita bisa pulang bareng lagi kayak tadi,” gurauku sembari memberi alasan mengapa aku menanyakan nomor WhatsAppnya. Irania dengan ramah memberinya padaku, dan aku misscall ponselnya untuk memberinya nomorku.

“Arifin siapa lengkapnya, Mas?” tanya Irania. Dia beralasan bahwa di daftar Kontak di ponselnya ada beberapa nama Arifin. “Biar nggak ketuker.”

“Arifin Dwi Slamet,” jawabku. Aku mengeja “Dwi Slamet” untuknya. Giliran aku ingin meminta nama lengkapnya, ternyata nomor yang diberikannya tadi sudah ada identitasnya: E. Irania Andari. Karena gadis itu Katolik, aku menerka dalam hati bahwa “E” mengacu pada “Elizabeth”. Mungkin benar, mungkin juga salah. Bisa juga Ellen atau Elena, seperti beberapa teman perempuanku di masa lalu yang beragama Kristen. Tapi, ah sudahlah, nanti-nanti juga ketahuan apa kepanjangan “E” di depan nama Irania Andari.

Satu jam setelah naik dari depan Stasiun MRT Lebak Bulus, taksi daring yang mengangkut kami tiba di depan sebuah rumah. Rumah yang tidak terlalu besar, bertembok warna pink pastel. Irania membuka pintu mobil dan hendak turun ketika aku mencegahnya, “Masih hujan, Ir. Pakai topi saya nih.”

“Gerimis, Mas. Nggak apa-apa, aku bisa lari sebentar ke teras,” kata Irania bersikukuh. Ia tetap turun dari mobil, menggunakan ranselnya untuk melindungi kepalanya dari terjangan air hujan. Ia mengucapkan terima kasih dan menyampaikan sebuah pesan singkat yang membuat dadaku bergemuruh: “Keep in touch, ya Mas Arifin!”

Aku melongo melihat gadis itu menutup pintu mobil dan bergegas memasuki pekarangan rumahnya serta berjinjit dalam langkah-langkah cepat ke teras. Ia masih sempat membalikkan badannya untuk memberi lambaian yang manis kepadaku. Oh my, mengapa rasaku kini melambung?

“Pacarnya, ya, Mas?” kata sopir taksi daring diiringi tawa yang lucu.

“Bukan... Teman kerja,” jawabku. Tapi batinku lantas melantunkan doa, semoga... Entahlah, aku belum berani sejauh itu.

Sampai di rumah, aku mandi dan siap-siap terjun ke kasur. Bayangan wajah Irania mengisi benakku malam ini. Aku melalui pergolakan sejenak: Apakah Irania sudah punya pacar? Mana mungkin gadis secantik dia belum punya pacar? Aku mengafirmasi diriku bahwa dia masih jomblo. Entah mengapa, kebanyakan teman perempuanku yang non muslim berstatus jomblo. Mungkin mendapatkan jodoh laki-laki muslim lebih mudah daripada laki-laki yang seagama, tapi sebaliknya laki-laki muslim mensyaratkan pacarnya harus muslim atau, kalau non muslim, paling tidak bersedia masuk Islam ketika akan menikah.

Dan kebanyakan perempuan Katolik yang kukenal, secinta apapun dia pada pacarnya, tidak akan menomorduakan Tuhannya. “Ah,” batinku, “beruntunglah perempuan Katolik yang mendapatkan aku sebagai pacar atau calon suami, karena aku bukan tipe laki-laki muslim yang mengutamakan agama dalam perjodohan. Sebagai anggota Subud, aku terbiasa dalam lingkungan yang multikultural dan lintas agama. Di ranah rasa, toh semua terasa sama saja.”

Lelah membuatku akhirnya lelap. Tidur pulas yang sempat diwarnai mimpi indah bersama Irania Andari.

*********

PAGI, aku bergegas siap-siap berangkat kerja. Pikiranku yang dipenuhi harapan untuk bisa bertemu Irania, entah di Stasiun MRT Lebak Bulus, Bendungan Hilir, atau lobi Sahid Sudirman Center, mengalahkan keinginanku untuk sarapan terlebih dulu. Tak seperti biasa, aku menggunakan sepeda motorku sendiri ke Stasiun MRT Lebak Bulus, dimana kuparkir di penitipan motor.

Aku tak melihat Irania di peron keberangkatan MRT arah Bendungan Hilir. Harapanku belum pupus, masih ada kemungkinan aku berjumpa dia di Stasiun MRT Bendungan Hilir atau lobi Sahid Sudirman Center. MRT pagi itu, jam 06.03, sudah dijejali penumpang, tapi aku beruntung mendapat kursi kosong sebelah pintu. Kupejamkan mataku, sebuah kebiasaan sejak aku dibuka di Subud. Dengan memejamkan mata aku dapat meraih keheningan, meski di luar diriku berisik. Sebuah tepukan di lututku membuatku membuka mata. Senyumku melebar, menyaksikan gadis berlesung pipi dengan senyum yang sampai ke matanya yang ditamengi kaca itu. “Irania!” kataku, nyaris berseru keras.

“Aku mencari Mas tadi di Lebak Bulus,” katanya polos. “Kupikir masih di rumah.”

Kepolosannya membuatku tidak menahan diri untuk bercerita yang sebenarnya. “Aku juga tadi mencari-cari kamu, Ir. Aku susuri sepanjang peron, siapa tau kamu ada di situ.”

Irania tersenyum dengan keterusteranganku. Tampaknya ia terkesan dengan usahaku untuk bertemu dengannya. Aku sontak berdiri dan mempersilakan Irania mengambil kursiku. Awalnya ia menolak, namun aku memaksanya. Apalagi ia tampak kerepotan membawa ransel berat di depan dadanya.

Sepanjang perjalanan MRT itu, kami mengobrol dan tak sadar saling menatap. Ada perasaan damai di diriku dengan hanya menatap mata gadis itu. Aku menawarkannya untuk nanti makan siang bareng di Sahid Food StrEAT. Irania menyambut tawaranku dengan senang.

*********

MINGGU demi minggu berlalu, tak terasa sudah dua bulan berjalan sejak pertemuan dan perkenalan pertama kami. Hampir tiap hari kerja kami bertemu di Stasiun MRT Lebak Bulus atau Bendungan Hilir atau lobi Sahid Sudirman Center, atau sama sekali tak berjumpa seharian, tetapi obrolan-obrolan singkat mewarnai layar ponsel kami melalui pesan WhatsApp.

Obrolan kami akrab dan selalu hangat, berbagi cerita kehidupan kami masing-masing. Irania tak segan bercerita bahwa tiap Minggu pagi ia bersama orang tuanya dan adiknya serta tantenya pergi ke gereja. Akupun tak menutupi bahwa aku aktif di Subud, dan hari Minggu pagi kadang aku ke Wisma Subud di Jl. RS Fatmawati, Jakarta Selatan. Irania sepertinya sangat nyaman dengan aku. Begitu pula aku.

Suatu hari, sebelum berangkat kerja aku mengirim pesan WhatsApp kepada Irania. Lama sejak terkirim, pesan itu hanya centang satu. Aku mulai gelisah, berpikir macam-macam, yang menurunkan antusiasmeku untuk segera berangkat kerja. Tapi aku paksakan diri. Mungkin ponsel Irania ketinggalan di rumah, pikirku, tapi jam masih terlalu pagi untuk dia berangkat kerja. Mungkin dia sudah bosan berteman denganku... Ah, tidak mungkin, selama ini hubungan kami baik-baik saja.

Aku tidak menjumpainya di peron Stasiun MRT Lebak Bulus maupun Bendungan Hilir. Dengan langkah gontai bercampur rasa kecewa, kuberjalan memasuki lobi Sahid Sudirman Center dan menunggu sejenak hingga sepuluh menit sebelum jam kerja dimulai. Sosok Irania tak tampak, suara khasnya pun tak terdengar di antara para karyawan yang mulai ramai lalu lalang di lobi.

Di sela-sela jam kerja, aku permisi kepada manajer CSR perusahaan tambang, yang mengontrakku sebagai konsultan, bahwa aku mau membeli kopi. Aku melontarkan berbagai alasan ketika sang manajer mengusulkan agar office boy saja yang kusuruh untuk membelikan. Padahal sebenarnya aku turun ke lantai empat, melangkah ke lobi kantornya Irania.

Resepsionis di meja penerima tamu tersenyum ramah padaku. Tampaknya ia ingat siapa aku, karena aku pernah beberapa kali mengantar Irania kembali ke kantornya usai makan siang bersamaku. “Nyari Irania, ya?” kata si resepsionis.

“Iya, Mbak,” kataku. “Maaf kalau mengganggu di jam kerja, tapi saya ingin tanya, apakah dia masuk kerja?”

“Oh, belum tau, ya?” kata si resepsionis, memperlihatkan mimik mengasihani diriku. “Irania masuk rumah sakit... Infeksi lambung, kata dokternya.”

Aku tak menutupi keterkejutanku. “Hah?! Masuk rumah sakit?! Kenapa dia nggak ngabari saya?” Sesaat aku sempat merasa malu, karena merasa diriku seolah berhak diberi tahu. “Memangnya kamu siapanya dia, Arifin?!” batinku.

“HP-nya rusak, Mas. Nggak sengaja jatuh ke got depan rumahnya,” jelas si resepsionis. “Lagi ultah, lha kok HP rusak dan masuk rumah sakit pula!”

“Irania ultah hari ini, Mbak?” tanyaku, kaget.

“Iya. Lho, Masnya nggak dia kasih tau?”

Lagi-lagi aku membatin, “Memangnya siapa aku sampai dia harus memberi tahuku tanggal ulang tahunnya?”

Aku minta informasi lebih lanjut kepada si resepsionis perihal di rumah sakit mana, kamar nomor berapa, Irania dirawat. Resepsionis menuliskannya di secarik kertas Post-It yang kemudian ia sodorkan kepadaku. Aku mengucapkan terima kasih padanya berkali-kali sambil menyeret diriku meninggalkan lobi kantor itu.

Aku kemudian turun ke lobi Sahid Sudirman Center, kupesan ojek daring menuju ke toko Erafone di Plaza Semanggi untuk membeli ponsel Samsung Galaxy A16, seperti yang dipakai Irania selama ini. Setelahnya, aku menuju toko Hallmark untuk memesan bungkus kado yang cantik serta kartu ucapan yang manis. Setelah itu, aku kembali ke kantorku, melanjutkan pekerjaanku hingga tiba jam pulang.

Aku memesan taksi daring menuju RS Puri Cinere di mana Irania dirawat. Jantungku berdebar setibanya aku di depan pintu kamar rawatnya. Aku mengintip melalui jendela persegi panjang vertikal pada daun pintu kamar rawat, kulihat sesosok perempuan paruh baya bergaun sederhana duduk di kursi di samping ranjang pasien yang tertutup tirai. Aku tidak bisa melihat Irania—mungkin ialah yang berbaring di ranjang itu.

Kugeser pintu kamar rawat, terdengar sedikit deritan pelan, yang membuat perempuan paruh baya itu menoleh kepadaku. Sebelum sempat ia berucap, aku mendahuluinya, “Maaf, Bu. Benar ini kamarnya Irania Andari?”

Perempuan paruh baya itu mengangguk sambil tersenyum dan kemudian berdiri dengan kedua tangannya menyambut jabatan tanganku. Ia mengajakku menemui Irania, yang sedang duduk di ranjang pasien dengan kedua kakinya berselonjor. Wajahnya pucat tetapi kecantikannya tak sirna. Ia terkejut melihatku. “Mas Arifin?!” ucapnya dengan suara serak.

Aku tersenyum dan menyalaminya. Irania terus menatapku sambil melongo. Ia tak menyangka aku akan menjenguknya, karena ia tak sempat memberi tahuku perihal sakitnya maupun kenyataan bahwa ia harus dirawat di rumah sakit sebagai akibatnya.

Perempuan paruh baya itu, yang ternyata adalah ibu dari Irania, mempersilakan aku duduk dan ia permisi untuk meninggalkan kamar karena mau membeli makan malam untuk dirinya sendiri. Aku sempat menawarkan diri untuk membelikannya, tetapi ia menolak dengan halus dan berkata, “Irania akan lebih senang kalau Mas yang menemaninya.”

“Mama apa siiih!” sahut Irania dengan muka memerah. Aku tertawa, begitu pula ibunya.

Sepeninggal ibunya, kami lama terdiam, saling memandang. Kami tak sanggup berkata-kata, tapi aku tak tahan dengan kebekuan itu, mengingat selama ini kami selalu saling bercerita ceplas-ceplos. Aku pun memecah kebekuan itu, “Aku dapat info dari resepsionis kantor kamu, Ir. Aku tadi pagi WA kamu, tapi centang satu terus. Dan aku cari-cari kamu di Stasiun Lebak Bulus dan Bendungan Hilir. Kok kamu nggak ada. Aku cemas... mikirin kamu, Irania.”

Irania kemudian menceritakan kronologisnya hingga ia akhirnya masuk rumah sakit. Aku mendengarkan dengan saksama hingga mendapat kesimpulan dari ceritanya bahwa ia seharian lupa makan lantaran begitu banyak pekerjaan yang menuntut penyelesaian segera serta dua kali berturut-turut menghadiri rapat dengan klien yang memakan waktu lama.

“Masak sih kamu sampai lupa makan?!” kataku berkomentar. Ada tekanan pada nada bicaraku, yang mengesankan aku marah sekaligus cemas. Aku sangat peduli padanya, entah itu tanda aku mencintainya atau bagaimana. Irania pun memandangku dengan jenis pandangan seorang perempuan yang terpesona pada perlakuan laki-laki pujaannya.

“Nggak ada yang ingetin sih,” gurau Irania, tapi aku menangkap nada menggoda di sana. Suatu kode keras yang masih harus kupecahkan artinya.

Aku pun tidak rikuh untuk membalas godaannya. “Oh, mau aku ingetin setiap hari? Setiap jam? ‘Irania, jangan lupa makan!’. Hanya pacar yang mau kayak gitu...”

Irania tertawa kecil, merasa geli. Matanya mengerut. Hatiku berdebar. Ada dorongan kuat di dalam diriku untuk menyatakan perasaanku yang sebenarnya pada Irania. Ya, aku yakin... aku yakin aku mencintainya. Tapi aku takut, jika ia tak merasakan hal yang sama, pertemanan hangat yang selama ini kurasakan bersamanya akan berakhir. Aku memang bukan tipe orang yang lantas menjauh manakala cintanya ditolak, tapi aku yakin hubungan pertemanan kami tidak akan sama lagi.

Aku menarik napas panjang dan mengembuskannya sayup-sayup. Kupejamkan mataku untuk menenangkan diri dan menerima Latihan Kejiwaan, agar keberanianku, perasaan nothing-to-lose, terpumpun. Sesudah itu, seketika mulutku berucap dalam kalimat yang tertata rapi—seperti selama ini bila aku berbicara dalam keadaan terbimbing, “Irania... Aku nggak tau kenapa aku begitu peduli kamu... Maafkan aku... aku nggak ingin pertemanan kita rusak karena apa yang akan kukatakan ini...”

Aku mengambil sela, mencoba menyerap reaksi Irania. Dia hanya diam terpaku, mendengarkan dengan saksama. Dia menanti ucapanku dengan khusyuk.

“Aku mencintai kamu...,” kataku pelan, menelan ludah dan teriring ragu. “Mungkin itu yang menjelaskan mengapa aku begitu sedih begitu tau kamu sakit sampai harus dirawat di rumah sakit... Ingin aku ingetin kamu setiap hari untuk jaga kesehatan, jaga diri... tapi siapalah aku ini.”

Aku merasakan tangan Irania yang hangat menyentuh lembut lenganku yang kutaruh di kasur ranjang pasien, di sebelah badannya. Punggung tangan Irania yang menyentuhku dibalut plester yang menahan erat jarum infus. “Mas Arifin... Aku pengen nangis dengernya... Belum pernah ada cowok yang begitu perhatian padaku. Perhatian Mas bahkan melebihi pacar...”

“Bo... bo... bolehkah aku jadi orang yang ingetin kamu setiap hari untuk jaga kesehatan, jangan telat makan, jaga diri...?” ucapanku terbata-bata tapi perasaanku kuat.

“Mas, kalau nggak ngrepotin, bolehkah aku juga punya perasaan yang sama terhadap Mas?” kata Irania pelan. Ia sepertinya yakin pada perasaannya sendiri. Aku menatap matanya yang mulai berkilau. Aku menyentuh pipinya perlahan dan kucondongkan kepalaku ke depan, hingga bibirku mengecup lembut keningnya.

Setelah kujauhkan wajahku, aku dapat melihat pancaran matanya mewakili rasa bahagianya. Kurasa kesembuhan pun mulai menjalari tubuhnya.

Malam itu, aku dan Irania resmi menjadi sepasang kekasih.

“Tapi HP-ku rusak gegara kecebur got,” kata Irania. “Nanti gimana Mas Arifin WA aku?”

Aku menggenggam tangan Irania yang tidak ditusuk jarum infus. Kutatap matanya dan kuucap dengan pasti, “Selamat ulang tahun, Yanya.” Panggilan “Yanya” begitu saja terlintas di benakku, yang membuatku memastikan bahwa itulah panggilan sayangku untuk Irania. “Semoga usia 29 membuat Yanya makin sehat lahir dan batin.”

Sebelum Irania sempat berkata apa-apa, aku merogoh ranselku, dan mengeluarkan paper bag mungil. Kuulurkan paper bag itu kepada Irania, yang memperlihatkan wajah tercengang. Ia membukanya dan mengeluarkan sebuah kotak dalam bungkus kado bermotif ilustrasi anak perempuan berrambut ponytail dan berkacamata dengan ukuran yang kebesaran. Aku memilih bungkus kado itu karena gambar sosok anak perempuan dengan kacamata kebesaran itu mengingatkanku pada Irania. “Apa nih, Mas Arifin?”

“Buka aja, Yan...”

Ia membuka bungkus kadonya dengan sangat hati-hati. Wajahnya tiba-tiba ceria. “Ya Tuhan... Mas nggak perlu repot-repot, kan bukan salah Mas kalau HP-ku rusak.”

“Gimana lagi aku bisa ingetin Yanya supaya jangan lupa makan, kalau Yanya nggak ada HP?” kataku, tergelak.

Irania menjulurkan satu lengannya, tanpa kata menyatakan keinginannya agar aku memeluknya. Aku memeluknya perlahan, badan kami tidak sampai bersentuhan, dan kucium lembut keningnya. “Cepat sembuh ya, Yan,” kataku begitu melepas pelukannya. “Yan”, dari Yanya, terdengar seperti “Yang” dari Ayang, panggilan mesra kepada pacar. “Aku pulang dulu ya... Yanya istirahat yang cukup, minum obatnya dan patuhi kata dokternya. Besok sore, pulang kerja, aku akan ke sini lagi.”

Irania menyentuh pipiku tanpa berkata-kata, tapi tatapan matanya dalam. Pada saat aku hendak meninggalkan kamar rawatnya, pintu sudah duluan membuka. Ibunya masuk, menenteng kantong kresek, mungkin berisi makanan. Ia menampakkan wajah memohon dengan iba ketika aku minta diri. Sepertinya ia senang dengan hadirnya aku dalam hidup putrinya.

*********

IRANIA lahir di Jakarta pada 9 Mei 1997, duapuluh tahun setelah aku turun ke dunia. Ayahnya, seorang pelaut yang bekerja di sebuah maskapai pelayaran niaga, sedang mengarahkan kapal tanker yang dinakhodainya melalui Selat Hormuz di sisi pesisir Iran, ketika ia mendapat kabar mengenai kelahiran putri pertamanya. Nama negara di mana bagian dari Selat Hormuz berada adalah yang pertama muncul di benaknya ketika memikirkan, di sela kesibukannya mengarahkan kapal, nama buat bayi yang lahir dari rahim istrinya. Ditambah “ia” yang dicomot dari nama negara asalnya. Andari adalah kata dari bahasa Italia yang bermakna “perjalanan”, terinspirasi dari perjalanan melalui laut yang sedang dilakukan ayahnya.

“Irania mendapat nama baptis Elizabeth,” tutur ibunya kepadaku ketika aku mengantar pacarku dan keluarganya ke gereja. Benar dugaanku ketika kami baru berkenalan, bahwa inisial “E” di depan namanya mengacu pada Elizabeth.

Irania diperbolehkan pulang dari rumah sakit seminggu setelah malam aku menyatakan cinta padanya. Ia terlihat lebih sehat, enerjik dan ceria, pasti oleh energi cinta kami. Sejak resmi berpacaran, rute perjalananku ke dan dari kantor mencakup jalan di mana rumah pacarku beralamat. Kini kami tak perlu lagi saling mencari dengan harap-harap cemas di peron Stasiun MRT Lebak Bulus, Bendungan Hilir atau lobi Sahid Sudirman Center. Kini kami berjalan beriringan, saling menguatkan.

Pola pacaran kami bernuansa kakak-adik, sahabat, teman berbagi cerita dan canda. Kedekatan kami sedemikian biasanya hingga teman-temannya maupun teman-temanku tidak mengira kami pacaran. Aku pun memperlakukan Irania dengan respek dan santun. Kami jarang berpegangan tangan atau saling merangkul layaknya sepasang kekasih jika di depan umum. Ciuman pertama kami juga terjadi ketika usia pacaran kami genap satu tahun. Hanya sekali itu, selanjutnya amat jarang terjadi. Ciuman itu meneguhkan keseriusan kami dalam menjalani hubungan yang kami cita-citakan untuk berlanjut hingga ke pelaminan.

Suatu hari, Irania mengajakku makan malam di sebuah kafe yang bersuasana romantis. Saat itu malam Minggu, jadwal tetap aku mengapelinya. Kami tergolong jarang bermalam Minggu di luar rumahnya, karena aku senang melewati malam khusus bagi para kekasih itu justru bersama keluarganya. Ayah-ibunya menyambut baik hubunganku dengan putri mereka, meski mereka tahu bahwa agamaku berbeda dari agama mereka. Tampaknya mereka yakin kalau aku takkan menuntut putri mereka berpindah ke agamaku. Mereka juga tahu kalau aku anggota Subud, sebuah perkumpulan spiritual yang inklusif, walau mereka tak paham benar apakah Subud itu.

Sejak berangkat dari rumah, selama perjalanan ke kafe di kawasan Cipete, Jakarta Selatan, itu, Irania tampak murung, sedikit bicara, menekan perasaannya, seperti memendam sesuatu. Begitu tiba di kafe, kami memesan minum dulu. Irania ingin membicarakan sesuatu yang tampaknya serius, dan ingin momen itu tidak diusik oleh kesibukan menikmati makanan.

“Mas Arifin...,” mulai Irania dengan nada datar. Ia menahan tangis, terlihat dari raut wajahnya. “Sudah lebih dari setahun kita jalan ya. Sayangku pada Mas sudah sangat kuat, aku nggak... nggak... nggak sanggup kalau harus kehilangan kamu, Mas.”

Aku tersentuh dengan sikapnya. Aku pun tak sanggup menanggung beban kehilangan perempuan yang sangat kucintai ini. Mungkin aku akan mati perlahan atau bunuh diri jika Irania hilang dari kehidupanku. Aku menggenggam kedua tangannya erat dan melepasnya sejenak ketika pelayan datang menghidangkan minuman pesanan kami. Di usianya yang kini 30, Irania terlihat lebih dewasa dan matang daripada umumnya perempuan-perempuan seusianya. Selain itu, pertama kali kukenal dia, Irania memang merupakan pribadi yang bijaksana, yang dapat dengan baik mengimbangiku yang lebih tua duapuluh tahun darinya.

Irania selanjutnya mencurahkan keresahan hatinya yang belakangan mendadak muncul, melihat perkembangan hubungan kami yang kian mendalam. Ia rupanya khawatir apabila kami harus berpisah lantaran perbedaan agama. Air matanya berlinang saat ia menyatakan isi hatinya yang resah, membuatku semakin erat menggenggam tangannya sebagai sebentuk penglipuran.

“Yanya,” ucapku ketika Irania tak sanggup lagi berkata-kata. Pipinya dibasahi air mata, dan ia menggigit bibir bawahnya sebagai upaya menahan isakan tangis. “Aku ingin Yanya tau... Sejak pertama aku menyatakan cintaku pada Yanya, aku sudah memastikan diriku bahwa pada akhirnya kita akan menikah. Aku... aku... aku ingin menikahi Yanya, kapanpun Yanya siap. Dan sementara itu, mungkin Yanya nggak tau kalau aku mempersiapkan segalanya untuk itu sejak kita jadian. Aku sudah mempertimbangkan banyak hal, termasuk menabung khusus untuk kita pergi ke Singapura atau Hongkong di mana pernikahan beda agama diakui. Aku ingin Yanya tau itu... dan juga bahwa aku nggak akan meninggalkan Yanya untuk alasan apapun juga.”

“Gimana dengan orang tua Mas, apa mereka mau nerima putra mereka menikah dengan cewek beda agama?” kata Irania di sela isakannya.

“Di agamaku, laki-laki tidak perlu izin dari orang tuanya untuk menikah. Aku hanya perlu restu, tapi kalaupun tidak direstui aku... aku nggak ragu untuk melanjutkan niatku menikah sama Yanya.”

“Aku nggak mau Mas dalam posisi sulit karena aku,” kata Irania, menyeka matanya yang masih terus meneteskan air. “Tapi... tapi... aku nggak bakal kuat kalau Mas ninggalin aku.”

Aku mengelus tangan kanan Irania, dengan harapan akan memberinya kekuatan. “Sayang... lihat aku... Jangan menangis ya, Sayang. Yanya cukup meyakini cinta kita. Yanya nggak perlu meresahkan gimana-gimananya aku nanti dengan keluargaku. Biarlah itu menjadi tanggung jawabku. Tuhan Maha Tahu bahwa niatku untuk menikah dengan Yanya adalah untuk tujuan yang baik. Tuhan nggak pernah mengotak-ngotakkan ciptaanNya dalam agama. Dia adalah Yang Maha Pengasih dan Dia selalu memberi jalan kepada manusia yang berserah diri, dengan perasaan sabar, tawakal, ikhlas dan berani.”

Irania menatapku lama. Ia takjub dengan kata-kataku. Aku sendiri tidak memikirkan kata-kata itu, mereka terucap sendiri melalui mulutku yang tidak dikendalikan akal pikirku. Aku merasakan ucapanku itu layaknya aku saat melakukan Latihan Kejiwaan Subud. “Pejamkan mata Yanya, tarik napas dalam-dalam dan embuskan perlahan, Sayang,” bisikku kepadanya.

Pacarku itu melakukan persis yang kupinta darinya. Mataku memandanginya lekat-lekat. Aku merasakan getaran halus, seperti aliran listrik berkekuatan rendah, mengarus dari diri Irania ke diriku melalui tangan kami yang saling menggenggam. Aliran listrik itu terasa bergerak bolak-balik, dari Irania ke aku dan kembali ke dia. Ketika ia membuka matanya, air mata telah reda, wajahnya bercahaya, dan bibir ranumnya tampak segar.

“Apa yang Yanya rasakan sekarang?” tanyaku berbisik. Aku segera tersadar bahwa aku mungkin telah membuka keinsafan dirinya, suatu proses yang di Subud disebut “pembukaan”, yang seharusnya dilakukan orang yang disebut helper yang berjenis kelamin yang sama dengan orang yang dibukanya.

“Kok aku merasa... ber... beda. Seperti dilahirkan kembali...,” ucap Irania lirih.

“Puji Tuhan... Kurasa, Yanya telah disentuh kasih sayangNya,” gumamku. Kuperhatikan Irania yang sekarang berbeda dengan Irania beberapa belas menit lalu. Ia kini lebih tenang, lebih meresap semua rasa jiwa, rasa hati dan rasa pikiranku. Ia telah menyatu denganku. “Aku mencintaimu, Yanya. Hanya itu yang penting untuk Yanya rasakan!”

*********

HARI Minggu pagi itu, kuantar Irania ke gereja. Hanya dia, sedangkan orang tua, adik dan tantenya sudah ke sana lebih dulu dan sudah pulang. Selama misa, aku menunggu di luar, meskipun aku tidak keberatan jika dipersilakan menemani pacarku mengikuti prosesi doa dan ritual-ritual lainnya dari agamanya. Manusia Subud bisa cepat beradaptasi di berbagai lingkungan yang berbeda dari lingkungan asalnya. Tetapi hari itu, Irania minta pengertianku untuk tidak menemaninya selama misa, karena ia ingin khidmat berdoa.             

Usai misa, pacarku keluar dari bangunan gereja dengan wajah sumringah. Ia menghampiriku yang sedang duduk di bangku kayu yang biasanya diduduki tukang parkir di pekarangan gereja. Ia mengusap-usap kepalaku dengan gemas. “Sekarang, aku pengen ke tempat Mas biasa datengin kalau Minggu,” ujarnya.

Sudah sejak pekan lalu, tiba-tiba Irania menyatakan keinginannya menemaniku ke Wisma Subud. Apakah ia mau ngandidat atau tidak, Irania tidak memastikannya, dan aku juga tidak mau memaksanya. Anggota Subud tidak boleh memaksa atau menuntut siapapun juga untuk masuk Subud, sebagaimana lazim dilakukan oknum-oknum dalam agama-agama.

“Yanya tunggu sini dulu ya,” kataku ketika kami tiba di kompleks Wisma Subud. Kuajak pacarku ke sebuah kafe di dalam kompleks, memesan untuknya minuman dingin dan camilan, dan kutinggal dia untuk pergi melakukan Latihan terjadwalku. Baru saja aku melangkah keluar pekarangan di muka kafe, kulihat Irania sudah mengobrol akrab dengan dua wanita paruh baya yang juga sedang nongkrong di kafe itu. Aku tersenyum simpul, merasa bangga memiliki pacar cantik yang pandai bergaul dan mudah beradaptasi dengan lingkungan baru.

Sekembalinya di kafe itu, pasca Latihanku, aku menemui Irania sedang mencamil kentang goreng yang ia cecah ke wadah kecil berisi mayonaise. Belum sempat aku duduk di hadapannya di meja kafe, salah satu dari dua wanita yang duduk di meja lainnya dan yang tadi sempat bercengkerama dengan Irania saat aku hendak Latihan, berseru, “Mas Arifin, ajak tuh pacarnya ke WI. Dia pengen ngandidat!”

Wanita yang berseru kepadaku itu mengenalku dan aku mengenalnya pula. Dia sudah lebih lama di Subud daripada aku, dan memiliki kepekaan rasa diri yang tajam. Dia sepertinya telah menerawangi Irania ketika tadi mereka mengobrol. Aku menoleh ke Irania. “Sayang, beneran mau ngandidat?”

“Menurut Mas gimana?” tanya pacarku balik. “Aku sih siap.”

Aku menatapnya lama. Entah apa yang aku pertimbangkan. Aku senang kalau pacarku masuk Subud, sehingga kencan kami bukan hanya saat perjalanan ke dan dari kantor, saat mengapelinya malam Minggu, tetapi merambah pula ke bagian paling penting dari kehidupanku sebagai individu: Latihan Kejiwaan Subud!

“Oke deh,” kataku kemudian, dengan suara yang mengandung keyakinan. "Ayo, ikut aku ke Wisma Indonesia di belakang sana."

Tak ragu, Irania langsung berdiri, mengikuti langkahku setelah sebelumnya permisi kepada kedua wanita di meja yang lain, dan mengucapkan terima kasih atas saran mereka agar pacarku itu masuk Subud.

*********

“AKU merasa dilahirkan kembali!” seru Irania begitu keluar dari ruangan di mana ia dibuka. Pipinya basah oleh air mata. Salah satu helper wanita yang mengikuti pacarku di belakangnya berucap, “Selamat ya, Liz. Ini baru awal dari sebuah perjalanan. Semoga Liza rajin Latihannya.”

Irania mengangguk sambil tersenyum lebar kepada helper wanita itu. Tiga helper lainnya hanya menyalami pacarku. Aku tertegun saat mendengar mereka semua menyebut nama baptis pacarku. “Liz? Liza?” ucapku heran. "Memang pernah ada yang manggil Yanya dengan nama baptis Yanya?"

Ya, ada doong. Guru-guru SMA-ku manggil aku Elizabeth. Teman-teman SMA-ku semuanya manggil aku Liz,” kata pacarku sambil membenahi pakaiannya yang agak kusut, mungkin disebabkan oleh gerakan-gerakan dinamis saat ia dibuka. “Tapiii... Mas Arifin aja yang boleh manggil aku Yanya.”

Iya, deeehh,” gurauku seraya mencubit pelan lengan atas pacarku. Aku lalu mengajaknya meninggalkan Wisma Subud menuju gerai Dunkin’ Donuts di dekatnya, di Jl. RS Fatmawati. Minggu siang yang panas mendorong kami untuk memuaskan dahaga dengan minuman dingin dan empat bomboloni khas Dunkin’.

Saat sudah duduk berhadapan di salah satu meja yang tersedia di gerai Dunkin’ Donuts, dan setelah masing-masing kami menenggak minuman, aku mencegah Irania mengambil sepotong bomboloni. “Tunggu dulu, Sayang. Aku ingin Yanya baca ini dulu.”

Aku mengulurkan kertas pink dari bahan daur ulang dalam keadaan terlipat kepada pacarku. Ia membuka lipatannya dan membaca isinya dengan tatapan mata yang mengisyaratkan kecermatan. Sebuah puisi, ciptaanku sendiri, terbaca olehnya...

Senja Untuk Irania

Untukmu, Elizabeth Irania Andari,

Kutemukan puisi ini dalam bingkai senja,
sama seperti cahaya yang memeluk hangat punggungmu di sana
Begitulah caramu masuk dan menerangi jiwa

Di balik kacamata bening itu, kulihat dunia,
penuh tawa yang renyah dan harapan yang nyata
Jemarimu yang menyisir pelan ujung rambutmu
adalah isyarat sederhana yang menenangkan kalbuku

Duapuluh tahun mungkin menjadi bentang waktu,
angka yang menjadikanmu adik, dan aku kakakmu
Namun di antara peran itu, kita adalah sahabat,
dua jiwa setara yang terikat erat
Aku membimbing bukan karena lebih tua,
aku hanya berjalan di sisimu, menjaga nyala cinta

Tangan kita mungkin menengadah pada waktu yang tak sama
Doaku mengalun di heningnya sajadah,
sembahyangmu teduh di bawah naungan salibNya
Kita menatap langit yang satu, dari dua jendela iman yang berbeda
Namun di ujung setiap pinta, bibir kita sama-sama mengucap kata “Amin”,
menyatukan harapan pada Tuhan yang sama-sama kita yakini Maha Pengasih

Maka biarlah cinta kita menjadi bukti,
bahwa hormat adalah fondasi sejati
Kita tak saling meminta untuk berubah, hanya saling menerima seutuhnya,
membangun istana di tengah perbedaan yang indah

Teruslah tersenyum seperti ini, Irania
Karena dalam satu senyummu itu, kutemukan alasan dan arah,
untuk percaya pada masa depan yang kita eja bersama
Rumah kita, yang atapnya adalah kasih dan tiangnya adalah penghargaan...

- ADS –

Irania mengangkat wajahnya dan menatapku dengan pandangan yang menyiratkan ketakjuban. Namun, sebelum ia sempat berucap, kutampilkan di hadapannya sebuah kotak mungil berlapis beludru biru muda—warna kesukaan pacarku. Kubuka tutup kotak itu, yang menyuguhkan sesuatu yang membuat Irania menaruh telapak tangan kanannya di depan mulutnya sebagai ungkapan keterpesonaan. Sebuah cincin berwarna rose gold dengan potongan yang sempurna nan indah. 

“Elizabeth Irania Andari... maukah kamu menjadi istriku?” ucapku pelan tapi bernada kuat.

Sepasang mata indah di balik kacamata itu meneteskan air mata bahagia. Senyum manis yang menunjukkan lesung di pipinya mengiringi anggukan kepalanya.©2025

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 21-22 Agustus 2025

No comments: