Saya
mengirim cerita berikut ini ke panitia lomba Cerita Stasiun UI. Saat
menulisnya, yang memang kisah nyata, saya sendiri sulit percaya kalau semasa
kuliah saya sudah gila.
DUA tahun terakhir keberadaan saya di Universitas Indonesia, tahun 1991-1993, sebagai mahasiswa Jurusan Sejarah Fakultas Sastra UI atau FSUI (kini bernama Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI/FIBUI), saya lalui dengan tinggal di kos. Saya menempati kamar kosnya berdua dengan senior saya yang kala itu sudah lulus.
Kos saya terletak sekitar sepuluh meter dari Stasiun Universitas Indonesia. Bahkan saat itu nama gang di mana kos saya berlokasi adalah “Gang Stasiun UI”.
Pemandangan KRL Komuter Jabotabek berlalu lalang pun menjadi suguhan sehari-hari saya. Bunyi deru roda KRL yang lewat Stasiun UI menjadi “jam weker” saya setiap pagi, yang menguntungkan saya jika saya ada jadwal kuliah pagi. Kedekatan kos saya dengan Stasiun UI membuat saya merasa stasiun itu adalah “garasi kendaraan pribadi” saya, karena tiap kali saya ingin ke Jakarta atau ke Bogor, saya tinggal jalan kaki kurang dari dua menit dari kos saya ke stasiun itu. Tapi cerita seru yang ingin saya sampaikan bukan terkait perjalanan dengan KRL, melainkan yang berikut ini...
Saat itu, KRL terakhir lewat, seingat saya, jam 23.00. Selewat jam itu, bila kebetulan ada beberapa teman main ke kos saya, saya ajak mereka nongkrong di peron Stasiun UI, yang menyediakan bangku-bangku panjang. Teras di depan kamar kos saya terlalu sempit, lebih merupakan emperan, yang tidak bisa menampung banyak orang nongkrong, terlebih bila hujan.
Suatu saat, ketika jam sudah menunjukkan lewat pukul sebelas malam, enam teman kuliah tiba-tiba datang bertamu ke kos saya. Perkara menyuguhkan makanan tidak terlalu menjadi soal bagi saya, karena di seberang pekarangan kos saya ada warung makan milik seorang kakek Betawi yang pensiunan penjaga jalan lintasan (PJL) dan sebuah warung kopi, yang dijalankan penghuni bedeng di seberang kamar kos saya.
Tempat untuk nongkronglah yang menjadi kendala, tetapi jika saya ajak nongkrong di peron Stasiun UI yang sudah tutup pada jam tengah malam, akan kejauhan dari kedua warung tersebut. Bukannya apa, tapi malas saja jalan kaki bolak balik ke warung dan peron karena harus menyusuri sisi rel yang berlapis kricak, yang kadang menyebabkan kaki tersandung atau terpeleset.
Setelah menimbang-nimbang sejenak, saya mendapat ide yang rada gila: Meminjam dulu bangku peron Stasiun UI, mengangkutnya ke emperan depan kamar kos saya. Memang menyusahkan tapi cukup sekali jalan malam itu. Saya dan tiga teman saya pun melangkah menuju peron Stasiun UI, yang saat itu bisa diakses siapapun karena tidak dijaga petugas keamanan. Kami menggotong satu bangku ke kos saya. Saya bertekad akan mengembalikannya ke posisinya semula keesokan paginya sebelum KRL pertama lewat.
Keesokan paginya, saya buru-buru bangun tidur untuk menjalankan misi pengembalian bangku peron Stasiun UI, tapi akibat begadang semalaman bersama teman-teman, rupanya saya terlambat bangunnya. Sudah jam sembilan. Dan saya harus membatalkan misinya karena bangku itu sudah diduduki sejumlah mahasiswa yang sedang menunggu pesanan fotokopi dokumen mereka. Kamar di sebelah kamar kos saya memang dikontrak untuk kios fotokopi. Saya berdoa saat itu, semoga saja petugas Stasiun UI tidak menyadari berkurangnya jumlah bangku peron.
Misi pengembalian bangku peron baru berhasil
saya laksanakan malamnya, di waktu yang sama dengan ketika saya “meminjamnya”.©2025
Pondok Cabe,
Tangerang Selatan, 6 Agustus 2025
No comments:
Post a Comment