FEBRUARI 1993, saya menyatakan cinta pada seorang cewek yang kepadanya saya telah melakukan pendekatan selama hampir dua tahun. Begitu memang sifat saya, tidak setengah-setengah bila memperjuangkan sesuatu/seseorang. Dia menolaknya dengan alasan “belum mau pacaran”.
Jawabannya yang terasa ganjil tersebut membuat saya tidak menyerah pada penolakannya. Saya terus mengejarnya, terutama karena ingin tahu alasan sebenarnya. Bagaimanapun, melengkapi penolakannya, dia minta saya tidak menghubunginya lagi maupun datang ke rumahnya—yang justru sering saya sambangi sebelum saya mendapatkan keberanian untuk menyatakan isi hati.
Saya mengutus sahabat saya untuk menyampaikan kado ulang tahun dari saya buat si cewek, yang tanggalnya bertepatan dengan Hari Valentine. Saya menunggu di pos keamanan keliling (Poskamling) di kompleks perumahan di mana cewek itu beralamat. Saya menunggu sampai lebih dari satu jam, hingga sahabat saya muncul. Dia mengajak saya pulang dan menolak menceritakan apa yang terjadi, meski saya mendesaknya.
“Nggak mungkin lo satu jam di rumahnya kalau nggak terjadi apa-apa. Masak ngasih kado doang sampai lama gitu?!” desak saya. Lokasi Poskamling itu hanya sekitar 200 meter dari rumah si cewek, sehingga tidak masuk akal bila sahabat saya membutuhkan waktu lama untuk berjalan kaki dari Poskamling ke rumah si cewek pergi-pulang.
Sahabat saya menunda hingga sekitar tiga hari kemudian untuk menceritakan ke saya apa yang sebenarnya terjadi di rumah si cewek. Dia menceritakannya ketika saya berada di kamar kos saya di Gang Stasiun UI (kini bernama Jl. Sawo), di kawasan Pondok Cina, Kecamatan Beji, Kota Depok, sekitar 20 meter dari Stasiun Universitas Indonesia. Saat itu, saya sendirian menempati kamar kos itu, semenjak teman sekamar saya yang juga senior saya di Jurusan Sejarah FSUI pindah ke Aceh dalam rangka pekerjaannya.
Apa yang dipaparkan sahabat saya membuat hati saya benar-benar patah hingga hancur berkeping-keping. Bila itu dikatakan si cewek, maka dia adalah makhluk paling kejam di dunia. “Anto orangnya baik... sangat baik malah. Tapi dia nggak punya masa depan, dia nggak ada tanggung jawab... nggak jelas,” kata sahabat saya menirukan kata-kata si cewek.
Kontan saya histeris dan mengamuk, membanting barang-barang yang ada di kamar kos itu. Saya juga menyatakan ingin bunuh diri. Sahabat saya berusaha keras mencegah saya. Dia juga mengajak sahabat saya lainnya menemani saya malam itu di kamar kos saya. Semua benda tajam mereka singkirkan untuk menghindari kemungkinan saya akan menggunakannya untuk mengakhiri hidup saya.
Seperti psikolog, kedua sahabat saya memberi penghiburan kepada saya, yang sepanjang malam hingga dini hari terjaga untuk mencurahkan semua isi hati saya. Marah, menangis, marah lagi, menangis lagi, begitu terus. Saya bahkan mendiskusikan rencana saya untuk memakai jasa dukun untuk menyantet si cewek. Kedua sahabat saya mendengarkan dengan sabar. Mereka mengiyakan semua yang saya katakan.
Ketika akan ke kamar mandi, yang terletak terpisah dari bangunan yang mengatapi deretan lima kamar kos, satu sahabat saya mengawal saya—dia khawatir saya akan bunuh diri di kamar mandi. Saat itu, hujan deras disertai badai petir. Keluar dari kamar mandi, saya berdiri mematung cukup lama di bawah guyuran hujan. Saya berharap disambar petir, bila bunuh diri itu dosa. Tetapi sahabat saya keburu menarik saya ke bawah atap bangunan kamar kos.
Keesokan harinya, kedua sahabat saya berhasil membujuk saya untuk pulang ke rumah orang tua saya. Nenek saya dari Medan (ibunya ibu saya) sedang berada di Jakarta, menginap di rumah orang tua saya, sehingga suasananya lumayan ramai. Tetapi di tengah keramaian itu saya hanya duduk diam, diajak bicara pun saya merespons seadanya. Mata saya memandang kosong.
Lalu saya tergerak untuk menelepon teman kuliah saya yang spesialis perdukunan. Saya menyampaikan niat saya untuk menyantet si cewek. Teman saya bilang, itu mudah sekali tetapi ia mengingatkan bahwa saya akan menanggung konsekuensi yang berat dari perbuatan menyantet orang. Masih tersambung dengan teman saya, dan masih memegang gagang telepon, saya kemudian histeris, karena kehabisan akal untuk membalas sakit hati saya. Dalam keadaan itu barulah saya minta pertolongan dari ibu saya. Saya berteriak di antara derai air mata, “Ma! Tolong saya, Ma! Saya nggak kuat!”
Malam itu, ibu dan nenek saya menguatkan saya dengan nasihat-nasihat. Intinya, saya harus menjadi orang yang sukses dalam apapun yang saya lakukan dan lebih mencintai diri sendiri. “Jangan beri 100% cinta kamu ke orang lain. Beri 99% untuk kamu sendiri, sisanya untuk orang lain,” kata nenek saya, menasihatkan. “Supaya nggak ada yang bisa menyakiti kamu lagi.”
Seiring waktu, saya melupakan kejadian menyakitkan itu, terutama karena saya dihadapkan pada tanggung jawab terkait penyelesaian kuliah saya di Jurusan Sejarah FSUI. Tahun 1993, saya telah memasuki semester terakhir masa kuliah saya, sehingga perhatian saya total terfokus ke urusan perkuliahan. Di bulan Juli saya menghadapi sidang skripsi, dan diwisuda pada 28 Agustus 1993. Dengan bantuan dari sahabat pena saya di Surabaya, pada Oktober tahun itu saya diperkenalkan ke sahabatnya, yang segera membuat saya jatuh cinta. Sahabatnya itulah yang kini menjadi istri saya. Kami resmi jadi kekasih pada 29 Januari 1994 dan menikah tiga tahun dan delapan bulan kemudian.
Ketika Facebook mulai marak, pada tahun 2009, saya bertemu kembali dengan cewek yang sempat membuat saya nyaris bunuh diri 16 tahun sebelumnya. Selain saling menyapa biasa, dia meminta alamat email saya, karena dia ingin menceritakan apa yang seharusnya ia sampaikan ke saya 16 tahun yang lalu.
Dalam emailnya, ia menyatakan bahwa ia tahu betapa sakitnya hati saya pasca penolakan itu, dan bahwa ia menyesali kenyataan mengapa ia tidak jujur memberi tahu saya apa alasan sebenarnya. Dia minta maaf berkali-kali ke saya dalam email itu dan bahwa ia juga memohon ampunan Tuhan Yang Maha Esa karena telah menyakiti perasaan orang yang begitu baik ke dia.
Jadi, alasan sebenarnya adalah bahwa dia dalam posisi bermusuhan dengan orang tuanya karena sesuatu dan lain hal (dia berpesan ke saya agar saya tidak menceritakan detailnya ke orang lain), sehingga merasa bahwa siapapun cowok yang jadi pacarnya atau bahkan suaminya akan mengalami hal yang merugikan hubungan dia dan pacarnya/suaminya ke depannya. Ia terlalu mengasihi saya sehingga ia takkan membiarkan saya mengalami kerugian itu, dan yang pasti orang tua saya tidak akan menyetujui calon anaknya adalah pribadi yang memusuhi orang tuanya sendiri. Saya selalu mengingat nasihat ibu saya: “Jangan berhubungan dengan perempuan yang tidak menghormati orang tuanya sendiri. Dia pasti juga tidak akan menghormati orang tua kamu.”
Email yang sangat panjang itu saya balas dengan beberapa baris kalimat saja: “Sudahlah, tidak perlu minta maaf. Itu masa lalu... sudah 16 tahun yang lalu. Saya sudah memaafkan masa lalu dan melanjutkan perjalanan hidup saya, bersama wanita yang ditakdirkan menjadi jodoh saya.”
Moral dari kisah ini: Tidak perlu berkecil
hati dengan apapun yang kita hadapi di suatu ketika. Waktu yang akan bercerita
mengapa kita harus melaluinya.©2025
Pondok Cabe, Tangerang
Selatan, 30 Agustus 2025
No comments:
Post a Comment