SEPULUH tahun lalu, seorang konsultan kehumasan (public relations/PR) dikenalkan ke saya
selaku konsultan kreatif. Si konsultan PR ini rupanya kehabisan ide untuk personal branding seorang pensiunan
jenderal yang saat itu sedang mengetuai sebuah organisasi masyarakat (ormas).
Tujuan personal branding itu adalah
untuk memperkuat posisi sang purnawirawan seolah dia memang mumpuni dalam
memimpin ormas tersebut.
Saat itu, saya sedang mempelajari Teori Memetika,
sehingga saya membuatkan rekomendasi strategi branding yang intinya adalah diseminasi isu berplatform inovasi
terbaru di bidang yang dinaungi ormas tersebut. Tujuannya adalah menciptakan meme (replikasi gagasan) di benak publik
bahwa sejak dipimpin sang purnawirawan, ormas tersebut lebih inovatif dan
bersumbangsih bagi kemajuan bangsa.
Si konsultan PR berkomentar bahwa dia khawatir
kalau strategi yang saya rekomendasikan itu dijalankan akan ketahuan bahwa itu
tidak benar. “Sekarang kan masyarakat sudah pintar, Mas. Nggak gampang
dibohongin,” kata dia.
Saya ngotot, bahwa strategi itu akan berhasil,
entah bagaimana. Tapi si konsultan tidak mau ambil risiko. Ya sudah, take it or leave it!
Pada 27 Agustus 2015, saya terkoneksi lagi dengan
si konsultan PR. Dia tanya kabar saya, dan saya jawab, “Sangat baik, Mbak.
Apalagi saya jadi punya kesempatan untuk nyampein ke Mbak, bahwa masyarakat
ternyata nggak jadi lebih pintar sekarang. Buktinya, itu berita-berita miring
alias bohong di social media dengan
gampangnya diterima sebagai kebenaran umum. Coba tujuh tahun lalu Mbak terima
rekomendasi saya...”©2025
Pondok Cabe, Tangerang
Selatan, 27 Agustus 2025
No comments:
Post a Comment