![]() |
Irsyad Mohammad berdiri diapit oleh saya dan Farhan Muhammad Aditomo (Sejarah FIBUI 2015). |
SENIN, 18 Agustus 2025, saya bersama tiga saudara Subud Cabang Jakarta Selatan menghadiri acara peluncuran dan bedah dua buku puisi esai karya Irsyad Mohammad. Sang penulis adalah yunior saya di Program Studi (Prodi) Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIBUI) Angkatan 2014. Saya mengenalnya pertama kali pada bulan Desember 2022, ketika ia mewawancarai saya untuk posisi editor lepasan di perusahaan di mana ia menjabat sebagai Manajer Operasionalnya.
Buku-buku yang ditulisnya masing-masing berjudul Sejumlah Puisi Esai Kontemporer yang Luput dari Jantung Sejarah dan Lima Saksi Reformasi Denny JA dalam Atas Nama Cinta (2025). Acaranya berlangsung di Al-Zastrouw Library/Ada Kopi Satu Lagi di Jl. Mangga, Taman Serua, Cisarua, Depok, Jawa Barat, pada siang hingga sore hari. Sejumlah penggiat sastra dan sarjana sejarah dari FIBUI turut menghadirinya. Ada pembacaan puisi-puisi esai karya Irsyad sebelum acara utama, yaitu bedah buku, dimulai.
Meskipun saya alumnus Fakultas Sastra UI (kelak menjadi FIBUI), saya tidak terlalu menyukai puisi. Di almamater saya, puisi adalah makanan sehari-hari, terutama bagi mahasiswa Prodi-Prodi Sastra dan Bahasa. Salah satu teman kuliah saya seangkatan di Jurusan Sejarah bahkan adalah putri sulung penyair besar Indonesia, Sapardi Djoko Damono. Namun semua itu rupanya tidak terlalu berpengaruh bagi saya. Bagaimanapun, kadang, saya menulis puisi sebagai wahana ekspresi bila saya jatuh cinta atau mengalami ketakjuban spiritual, atau mengungkapkan suatu penerimaan kejiwaan yang sulit saya jelaskan secara prosa.
Usai acara tersebut dan setelah kembali ke Rumah Wing Bodies Subud Indonesia di kompleks Wisma Subud Cilandak No. 22C, saya memposting beberapa foto dari acara tersebut ke yunior saya di Prodi Sejarah FIBUI Angkatan 2004 yang juga anggota Subud Jakarta Selatan, Sulaiman namanya. Dalam pandangannya, ia merasa belum ada anggota Subud yang menjadi penyair. Menurutnya, pemusik, pelukis dan penari cukup banyak di Subud, tetapi penyair belum ada.
Dalam pesan WhatsAppnya, ia menulis:
“Iya, penulis sangat banyak. Padahal, dalam tradisi sejarah para spiritualis, mereka umumnya membuat syair. Dulu, 2016, saya baru ingat, ada sastrawati senior Dyah Hadaning masuk Subud pada usia 75 tahun. Jadi, pas sudah tua Subudnya. Dia sudah meninggal dunia pada 2021 dalam usia 81 tahun.”
Saya menerka-nerka, mengapa penyair jarang atau tidak ada di Subud. Ketika saya mencari tahu lewat Google Gemini, apakah sebenarnya penyair itu—yaitu orang yang menulis puisi atau syair. Mereka menggunakan bahasa dengan cara yang kreatif dan imajinatif untuk mengekspresikan gagasan, emosi, dan pengalaman. Penyair sering menggunakan teknik seperti rima, meter, dan citraan untuk menciptakan karya yang unik dan berkesan—tiba-tiba saya menerima pengertian dari dalam, mengapa penyair sulit eksis di Subud.
Pengertian itu saya tulis dalam pesan
WhatsApp saya ke Sulaiman:
“Mungkin karena dengan Latihan Kejiwaan bahasa kita menjadi sederhana, jarang menggunakan metafora atau simbolisme.”
Selama ini, setiap kali menjelaskan hal-hal terkait kejiwaan kepada kandidat atau anggota, secara lisan maupun tulisan, saya menerima bimbingan yang berwujud kata-kata yang membumi, mudah dipahami oleh lawan bicara saya. Pemikiran para anggota Subud yang sudah mendalam Latihannya umumnya realistis, tidak berlebihan, dan tidak terjebak dalam khayalan atau harapan yang tidak realistis. Mereka memiliki pandangan yang jernih tentang situasi dan mampu mengambil keputusan yang tepat.
Mereka juga tidak terputus dari kenyataan. Mereka memahami nilai-nilai dasar kehidupan dan tidak kehilangan kontak dengan realitas sosial, lingkungan, dan budaya mereka. Hal ini disebabkan, menurut pemahaman saya berdasarkan berbagai pengalaman kejiwaan yang pernah saya lalui, oleh karena orang yang sudah menerima Latihan Kejiwaan berada dalam kondisi penuh kesadaran, baik secara lahiriah, emosional, maupun mental. Ini berarti hadir sepenuhnya pada saat ini, tanpa terlalu larut dalam imajinasi.
Bukan berarti anggota Subud tidak ada yang
menulis puisi, tetapi puisi-puisi karya orang yang sudah menerima Latihan
Kejiwaan umumnya ditulis dalam bahasa sederhana, bahasa yang mudah dipahami
oleh siapa saja, dan bukan bahasa representasi yang sarat simbolisme
(penggunaan simbol untuk menyampaikan makna yang lebih dalam dari sekadar arti
harfiahnya). Karena yang utama adalah vibrasi energi Latihan yang menyeruak
keluar dari puisi tersebut. Seindah-indahnya diksi yang digunakan dalam puisi,
jika tidak ada “isi” tidak akan dapat dirasakan keindahannya. Atau paling
tidak, hanya terasa di alam akal pikir, tidak sampai merasuk ke jiwa.©2025
Pondok Cabe,
Tangerang Selatan, 18 Agustus 2025
No comments:
Post a Comment