KETIKA tengah menulis skripsi—sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sastra (S.S.) di Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia (seiring perubahan nama menjadi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya/FIB, gelar S1-nya pun jadi Sarjana Humaniora atau S.Hum.)—antara tahun 1992 hingga 1993, saya kerap menyambangi perpustakaan di Museum ABRI Satria Mandala, Jl. Gatot Subroto, Jakarta Selatan. Kepala perpustakaannya waktu itu seorang perwira menengah TNI Angkatan Udara berpangkat Mayor.
Mengetahui bahwa saya menulis skripsi bertema sejarah militer (peperangan gerilya dan anti gerilya) yang terinspirasi oleh buku mahakarya Kapten (purnawirawan) Sir Basil Henry Liddell Hart, si Mayor menyatakan kekagumannya. “Bukunya sulit dimengerti. Saya di Seskoad (Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat) dulu dapat ringkasannya. Hanya perwira tempur yang jenius, para ahli strategi hebat, yang bisa mengerti pemikiran Liddell Hart,” katanya.
Karena itu, si Mayor terperangah ketika saya mengungkapkan bahwa hingga saat itu saya sudah membacanya tiga kali. Terlebih-lebih saat saya menjabarkan secara panjang lebar teorinya tentang strategi “pendekatan tidak langsung” (indirect approach). “Anda seharusnya mengajar di Sesko atau Lemhanas,” kata si Mayor, memuji kefasihan saya dengan pemikiran-pemikiran pensiunan perwira pertama Angkatan Darat Inggris yang oleh John F. Kennedy dijuluki “seorang kapten yang didengar para jenderal” itu.
Sir Basil Henry Liddell Hart (31 Oktober 1895-29 Januari 1970), lebih dikenal sepanjang karirnya sebagai Kapten B. H. Liddell Hart, adalah seorang perwira pertama Angkatan Darat Inggris, sejarawan militer, dan ahli teori militer. Diberhentikan dengan hormat dari ketentaraan Inggris karena terluka dalam Pertempuran Somme (1 Juli-18 November 1916), Prancis, di Perang Dunia I, ia kemudian mendedikasikan diri untuk kajian strategi militer. Ia menulis serangkaian sejarah militer yang terbukti berpengaruh di kalangan ahli strategi. Dengan alasan bahwa serangan frontal pasti akan gagal dan menimbulkan banyak korban jiwa, sebagaimana kesaksiannya dalam Perang Dunia I, ia merekomendasikan “pendekatan tidak langsung” dan mengandalkan formasi lapis baja yang bergerak cepat.
Pendekatan tidak langsung adalah strategi militer yang dijelaskan dan dicatat oleh B. H. Liddell Hart setelah Perang Dunia Pertama. Pendekatan ini merupakan upaya untuk menemukan solusi terhadap masalah tingginya tingkat korban di zona konflik dengan tingginya rasio kekuatan terhadap ruang, seperti di Front Barat di mana Liddell Hart pernah bertugas. Strategi ini mengharuskan pasukan untuk maju ke lini yang paling sedikit perlawanannya.
Meskipun Liddell Hart awalnya mengembangkan teori tersebut untuk infanteri, kontaknya dengan Mayor Jenderal J. F. C. Fuller membantunya mengubah teorinya menjadi lebih mengarah pada tank atau peperangan mekanis (mechanized warfare). Pendekatan tidak langsung akan menjadi faktor utama dalam perkembangan Blitzkrieg—perang kilat Jerman Nazi di Polandia, 1 September 1939, yang diarsiteki Jenderal Heinz Guderian.
Seringkali disalahpahami, pendekatan tidak langsung bukanlah pendekatan yang menentang pertempuran langsung; teori ini masih didasarkan pada idealisme Carl von Clausewitz tentang pertempuran langsung dan penghancuran kekuatan musuh dengan senjata. Kenyataannya, teori ini merupakan upaya untuk menciptakan doktrin remobilisasi peperangan setelah kebuntuan strategis yang memakan banyak korban akibat Perang Dunia Pertama.
Ditanya
oleh satu anggota muda Subud Indonesia baru-baru ini—yang karena penasaran juga
ingin meminjam buku Strategy-nya
Liddell Hart milik saya, apakah strategi pendekatan tidak langsung bisa diterapkan
dalam pemasaran dan bisnis, saya menjawab, “Kamu bahkan bisa memakainya untuk
menggaet cewek.”©2024
Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 3 Januari 2024
No comments:
Post a Comment