Saturday, January 13, 2024

Feodalisme dan Mental Inlander: Hambatan Komunikasi Masyarakat Indonesia

SAYA baru-baru ini mendapat permintaan bantuan dari Arsip WSA (WSA Archives) untuk mewawancarai para anggota senior Subud Indonesia dan menuliskan pengalaman mereka terkait Kongres Dunia 1971 di Cilandak. Proyek itu sudah berjalan sejak hampir enam bulan lalu, dan manajer proyeknya, Raquel Alcobia, dibantu Arsiparis WSA, Daniela Moneta, berupaya menghimpun kisah-kisah para anggota dari seluruh dunia. Mereka mengatakan bahwa para anggota asing itu sangat kolaboratif, sedangkan dari Indonesia tidak ada respons sama sekali.

Email dan WhatsApp sudah dikirim ke banyak anggota Indonesia, termasuk keluarga Bapak, untuk meminta kesediaan mereka diwawancarai (ketika Raquel sedang berada di Indonesia) dan dituliskan pengalaman mereka oleh tim Sejarah Subud. Namun, hingga tenggat waktu pertengahan Desember 2023 (karena mengejar registrasi Kongres Dunia Kalimantan 2024, pada 15 Januari 2024, dimana buku kompilasi kisah-kisah itu akan dibagikan sebagai cinderamata), tidak ada satu pun email dan pesan WhatsApp kepada anggota Indonesia yang dibalas.

Raquel dan Daniela pun bertanya ke saya: Apakah karena budaya atau pendidikan atau apa, yang menghalangi orang Indonesia berkomunikasi secara terbuka?

Saya tidak tahu jawaban pastinya, dan Raquel serta Daniela memahami ketidaktahuan saya, karena menurut mereka saya dibesarkan dalam dua budaya. Mereka memilih untuk meminta bantuan saya karena saya melewati masa kecil di Eropa, yang artinya saya menjiwai dua budaya, Timur dan Barat, sehingga tidak mengherankan bila saya bisa berkomunikasi secara terbuka, dengan pikiran yang terbuka, dan tulus, sebagaimana yang mereka amati pada postingan-postingan saya di grup Facebook “Subud Around the World” dan “For Subud Members Only”.

Untuk kelancaran pelaksanaan proyek Sejarah Subud di Indonesia, saya menggandeng para anggota Pemuda (Youth) Subud Komisariat Wilayah (Komwil) III DKI Jakarta dan IV Jawa Barat. Untuk itu, dibuatkan grup WhatsApp (WAG) dan saya minta tiap anggota WAG untuk berbagi update apa pun terkait pekerjaan ini, ada masalah apa dan bagaimana solusinya. Sama saja dengan yang tua-tua, yang muda-muda pun public shy, tidak pernah membagi update apa pun di WAG, dan bila ada masalah atau tidak mengerti, masing-masing menghubungi saya melalui jalur pribadi alias japri, dan bukannya di WAG.

Saya pun membagi penasaran saya kepada dua saudara Subud yang secara akademik bergelut dengan ilmu komunikasi. Saya meminta pendapat keduanya, menurut pengamatan masing-masing, mengapa ada hambatan-hambatan komunikasi seperti di atas? Paling tidak, saya bisa menjelaskan ke Raquel dan Daniela, apa halangan berkomunikasi (dan berkoordinasi) masyarakat Indonesia, sehingga lain kali mereka tahu apa yang harus dilakukan jika “berurusan” dengan orang Indonesia.

Saudara Subud #1, seorang anggota Cabang Jakarta Selatan yang kini bermukim di Amerika Serikat, mengajar Ilmu Komunikasi di Universitas Florida dan baru diangkat menjadi pembantu pelatih untuk Grup Subud Gainesville pada November 2023 lalu, melalui WhatsApp pada 10 Januari 2024 menjawab pertanyaan saya, sebagai berikut:

“Hi, Mas [Arifin], terima kasih atas pertanyaannya yang mendetail. Dari disertasi saya, inilah salah satu temuan kunci dari masyarakat Indonesia: Ada kesan yang dalam bahasa Belanda disebut mental “Inlander” (pribumi atau warga asli), [yang] tidak menerima negara dan bangsanya sendiri. Ini terkait dengan rasa rendah diri akibat penjajahan selama berabad-abad. Ini merupakan trauma antargenerasi. Jadi, solusi yang diusulkan para responden adalah bahwa Indonesia harus memutuskan untuk menjadi lebih percaya diri, dan untuk berkomunikasi dengan lebih baik, dan lebih berani.

Keberanian berbicara dan berkomunikasi sangat dibutuhkan di Indonesia. Apalagi di kalangan yang berpengalaman sekalipun, ada satu lapisan budaya, yaitu pakewuh, atau sungkan. Nah, kebayang kan, yang percaya diri dan terdidik aja suka masih sungkan (karena takut dianggap sombong), tapi bayangkan yang rendah diri terus sungkan pula. Habis deh, mingkem semua!

Jadi, masyarakat Indonesia perlu lebih banyak lagi yang seperti Anda sebenarnya, lebih berani berkomunikasi dan tidak takut salah. Orang Indonesia suka kecil nyali karena takut salah, takut gagal, takut dibilang ini dan itu, padahal hajar saja, langsung tabrak lari. Toh Pak Subuh juga begitu. Bapak tidak perlu izin siapa pun. Bapak blak-blakan saja. Pak Subuh juga mau pengikutnya untuk punya sikap yang sama sebenarnya. Dan kita bisa. Kita hanya perlu berani, dan sedikit gila.”

Speak your mind even if your voice shakes.”

~Maggie Kuhn

Saudara Subud #2, seorang perempuan anggota Cabang Jakarta Selatan juga, yang berprofesi dosen di Fakultas Ilmu Komunikasi di sebuah universitas swasta di Jakarta, yang pada Februari 2024 mendatang akan dikukuhkan sebagai guru besar, melalui WhatsApp pada 10 Januari 2024 menjawab pertanyaan saya, sebagai berikut:

“Menurut saya, ada beberapa hal yang memengaruhi ‘keengganan’ orang-orang Subud Indonesia (yang tua dan muda) dalam berkomunikasi. Antara lain, budaya di internal Subud yang cenderung masih ‘feodal’ dan menganggap penting senioritas.

Hal ini yang membuat para sesepuh ‘merasa’  mereka lebih tinggi dan penting sehingga kalau mau minta pendapat mereka, kita harus unggah-ungguh lebih dulu.

Sementara mereka yang muda, merasa kurang nyaman dan khawatir kalau pendapat mereka tidak sesuai dengan orang lain yang mungkin lebih senior dan khawatir disalahkan jika apa yang mereka sampaikan berbeda dengan yang lain. Hal ini juga tidak terlepas dari tidak biasanya berbeda pendapat di kalangan Subud.

Semua cenderung harus ‘seragam’, sehingga jika berbeda menjadi ‘aneh’. Sementara, hampir semua orang tidak mau dibilang ‘aneh’.

Hal ini yang membuat terjadinya communication apprehension (CA; ketakutan komunikasi) di kalangan anak-anak muda Subud. Untuk itu, mereka merasa lebih baik menghindar atau cuek sekalian.

Ini Mas, pendapat saya yaa.”

Dengan dua pendapat pakar ini, saya jadi memutuskan untuk bersabar menjalani peran menjembatani kesenjangan budaya yang menyebabkan komunikasi dan koordinasi sulit berkembang di Subud.©2024

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 13 Januari 2024

No comments: