MINGGU pagi hingga siang, 21 Januari 2024, saya bersama enam rekan alumni Jurusan Sejarah Fakultas Sastra (kini bernama Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya) Universitas Indonesia melakukan reuni kecil dengan mengunjungi dosen kami, yang kini berusia 85 tahun dan menderita dementia. Beliau tinggal di Perumnas Depok Utara, Beji, Depok, Jawa Barat.
Saat kami secara bergiliran
bersalaman dengan sang dosen, kami harus menyebutkan nama berulang kali, karena
beliau sudah lupa. Giliran saya menyalami beliau, barulah beliau berkata, “Ya,
saya ingat kamu! Kamu tidak berubah ya, masih sama seperti dulu ya ketika saya
masih mengajar.”
Saya berkata dalam hati, “Ini pasti karena Subud.”
Saat mengobrol dengan si dosen dan keenam rekan alumni lainnya, saya tiba-tiba teringat pada satu yunior kami, Hartadi Hamim namanya. Saya cukup akrab dengan Hartadi ketika kami masih kuliah dulu, dan saya tidak pernah bertemu dia lagi pasca reuni tahun 2009.
Setelah meninggalkan rumah si dosen, kami pergi makan siang di sebuah restoran. Saat menunggu kelima rekan saya (mereka naik mobil, sedangkan saya dan satu orang, Jaja namanya, naik sepeda motor) di pinggir jalan menuju restoran tersebut, seseorang menghampiri saya sambil mengulurkan tangan kanannya untuk menyalami saya. Dia berkata, “Masih ingat saya?”
Saya terkejut. Dia adalah Hartadi,
yang sebelumnya, di rumah dosen saya, mengisi ingatan saya. Pengalaman ini saya
ceritakan kepada rekan-rekan saya ketika kami menyantap makan siang di
restoran.
Saat berada di restoran tersebut, sol sandal di kaki kiri saya lepas. Tanpa sandal tersebut, tidak mungkin saya bisa mengendarai sepeda motor saya yang berkopling kaki. Saya meminta lem kepada pemilik restoran tetapi dia tidak memilikinya. Dengan sebelah kaki tidak bersandal, saya berjalan keluar restoran dan ajaibnya, saya menemukan kios perbaikan alas kaki tepat di sebelah restoran. Saya pun ke situ dan dalam kurang dari 15 menit sandal saya sudah diperbaiki solnya. Rekan-rekan saya, yang menyaksikan itu, berkomentar, “Kok bisa pas ya? Lu dua kali berturut-turut mendapatkan apa yang lu pikirkan.”
Dengan bercanda, saya
menjawab, “Itu karena gue Subud. Apa
pun yang gue pikirkan, selain uang,
selalu menjadi kenyataan. Karena itu, gue
nggak pernah lagi memikirkan keburukan atau hal-hal yang negatif. Gue takut semua itu menjadi kenyataan.”©2024
Pondok
Cabe, Tangerang Selatan, 21 Januari 2024
No comments:
Post a Comment