BARU-baru ini, seorang sahabat, rekan alumni Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia Angkatan 1987, yang kerap dilanda depresi, memposting yang berikut ini di linimasa Facebooknya:
Saya terinspirasi oleh postingannya, dan segera teringat pada suatu pengalaman pribadi saya.
Ada satu saudara Subud Cabang Jakarta Selatan yang mengalami gejala bipolar dan skizofrenia pasca ibunya wafat. Dia menyadari penyakitnya tersebut, tetapi alih-alih mengatasinya melalui penanganan psikologis dan medis—yang belum ada di Subud, dia tetap bersikeras untuk melakukan Latihan bersama seminggu dua kali di Hall Cilandak. Akibatnya, secara tidak sadar dia telah me-mixing Latihan dengan halusinasinya, yang menyebabkan ia tak malu mengekspresikan pengalaman delusionalnya ke publik.
Sejak mengenal saya tahun 2023 lalu (karena keisengan saya mengerjai dia di Facebook), dia malah maunya dekat dengan saya. Awalnya merasa risih, lama kelamaan saya memaknainya sebagai: “Oh, Tuhan sedang mengajari saya untuk bersabar.”
Dan ketika saya bersabar menghadapi saudara ini, perlahan-lahan dia pun mampu mengendalikan dirinya. Saya lantas teringat pada para pembantu pelatih di cabang asal saya, Surabaya, dimana mereka selalu berdiam diri dalam sabar dan ikhlas ketika melayani anggota yang sedang kacau sekalipun. Kebisuan para PP itu—dan bukannya berisik memberi nasihat atau perintah—selalu berhasil meredam kekacauan pikiran para anggota yang resah dengan segala masalah yang menimpa mereka.
Pengalaman ini lantas memberi saya kepahaman tentang hakikat dari ucapan “Al Fatihah untuk almarhum” seperti yang tren di kolom komentar di media sosial jika ada teman/kerabat kita yang sedang berduka atas kepergian anggota keluarganya. Jadi, Al Fatihah itu sejatinya ditujukan kepada yang berduka, bukan kepada yang meninggal. Ayat-ayat di dalam surat pertama Al Qur’an itu sebenarnya, jika dibaca, memberitahu kita bahwa di balik semua peristiwa ada Dia Yang Maha Mengatur, dan Tuhanlah sebaik-baik pemberi pertolongan.
Moral of the story: Kita seyogyanya memeriksa diri sendiri jika
menghadapi atau menyaksikan suatu peristiwa atau perilaku orang lain, alih-alih
menyudutkan atau menyalahkan peristiwa atau orang tersebut. Bisa jadi, itu cara
Tuhan untuk mengajari kita sintas dalam hidup ini.©2024
Pondok
Cabe, Tangerang Selatan, 23 Januari 2024
No comments:
Post a Comment