Monday, September 14, 2020

Integritas Sebagai Orang Subud

 SEMALAM (14 September 2020) hingga dini hari, 15 September 2020, tadi, saya berada di teras rumah Pak Harris Roberts, salah satu pembantu pelatih Subud Cabang Jakarta Selatan yang berkebangsaan Amerika, di kompleks Wisma Subud Cilandak, ditingkahi hujan deras yang menambah keasikan mengobrol. Kopi dan rokok ikut menemani.

Pak Harris mengungkapkan apa yang membuat beliau begitu mencintai Bapak Muhammad Subuh. Yaitu sikap Bapak yang apa adanya, jujur dan tidak menahan diri untuk mengatakan apa yang harus dikatakan. Bapak tidak—meminjam idiom bahasa Inggris yang digunakan Pak Harris—“sell his soul to anyone” (tidak menjual jiwanya kepada siapa pun, artinya tidak membiarkan diri diperbudak kehendak orang lain), sehingga selalu bebas dari kekangan apa pun.

Memang, di akhir ceramah atau obrolan, kisah Pak Harris, Bapak selalu minta atau mohon dimaafkan atas kata-kata beliau yang membuat para pendengar tidak berkenan. Kebanyakan kita tidak berkenan terhadap kenyataan diri kita sendiri, apalagi diungkapkan oleh orang lain.

Mendengar cerita Pak Harris itu, saya merenungkan apa yang sudah lewat, apa yang saya alami: Kita umumnya membiarkan diri terkekang pada aturan (dalam buku Varindra Vittachi, disebutkan Bapak bercerita tentang aturan: Dibuat oleh manusia tapi manusia kemudian menghamba pada aturan dan tidak mampu mengatasinya), pada penilaian orang lain, pada kehendak kita sendiri untuk jaga image (ja’im), serta ketakutan-ketakutan lainnya yang mengada-ada. “Saudara masuk Subud untuk mengenal diri sendiri, menjadi diri sendiri,” kata Pak Harris mengutip Bapak. Kalau para pembantu pelatih dewasa ini membidahkan ucapan Bapak menjadi “untuk menjadi orang baik”.

Tidak sedikit orang yang katanya sudah menerima Latihan Kejiwaan, yang katanya hakikat itu, dalam diskusi terbuka di media apa pun menyatakan “No comment deh”. Bisa jadi karena takut ditantang balik oleh orang yang “tersenggol” oleh komentarnya, atau takut dipandang berbeda dan nyeleneh, atau takut dianggap tidak bersusila, berbudhi dan berdharma. Sikap “no comment” sesungguhnya menandakan bahwa kita tidak memiliki integritas, tidak mampu menjadi diri sendiri.

“Menjadi diri sendiri” tidak ada hubungannya dengan menjadi bebas sekehendak hati. Menjadi diri sendiri, kembali dikutip Pak Harris dari Bapak, datang dengan tanggung jawab. Jadi, bila menyatakan “No comment deh” artinya kita tidak siap bertanggung jawab. Dan perilaku tidak bertanggung jawab sama sekali tidak mencerminkan orang Subud.©2020


Tangerang Selatan, 15 September 2020

No comments: