Sunday, May 30, 2010

SEDETIK KEMUDIAN

“Ketika kita melihat jauh ke dalam, kita memahami keseimbangan sempurna kita. Tidak ada ketakutan akan siklus kelahiran, kehidupan dan kematian. Karena bila Anda berada di saat ini, Anda pun abadi.”
—Rodney Yee, instruktur Yoga dari Amerika Serikat



Waktu baru menjadi mahasiswa di Jurusan Sejarah FSUI (Fakultas Sastra Universitas Indonesia, yang sekarang menjadi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, FIB), saya dan teman-teman kuliah saya diberitahu oleh salah seorang dosen dalam suatu kuliah pengantar, bahwa sedetik yang lalu pun sudah bisa disebut ‘masa lalu’, alias sejarah. Dalam tata bahasa Inggris, penyebutan kata kerja yang baru lewat sedetik sudah menggunakan bentuk lampau (past tense).

Dengan kata lain, kajian sejarah sebenarnya bukan cuma peristiwa kehidupan yang telah lapuk termakan zaman dan berdebu, yang dikenal sebagai Tempo Doeloe. Peristiwa kehidupan yang masih kinclong pun, bila sudah lewat, walau cuma sedetik, sudah bisa disebut sejarah.

Sementara itu, menurut kepahaman saya, sedetik kemudian adalah masa depan, yang kita tidak punya pengetahuan tentangnya. Kawan saya suatu ketika mengungkapkan kekhawatirannya terkait apa yang bakal dialaminya atau dihadapinya lima sampai sepuluh tahun dari hari itu. “Kenapa lu cemasin apa yang bakal terjadi ama lu di masa depan? Lha, sekarang aja lu kagak tau kan sedetik kemudian lu bakal ngalamin apa?” kata saya. Kawan saya tertegun mendengar pernyataan saya. Saya sendiri ngeri membayangkan ‘sedetik kemudian’ itu. Pikiran bahwa sedetik kemudian nyawa saya dicabut, misalnya, ternyata cukup mengganggu saya. Saya tidak bisa lain daripada berserah diri dengan sabar, ikhlas dan tawakal menghadapi ‘waktu di depan’ yang tidak bisa saya perkirakan apa maunya.

Pengalaman nyeleneh itu membawa pengertian pada diri saya mengenai petuah bijak Sang Buddha untuk hidup pada saat ini, hadir sepenuhnya untuk hari ini, bukan mempermasalahkan masa lampau atau merisaukan masa depan. Hidup pada saat ini artinya kita tidak berangan-angan, atau hidup pada masa lampau berdasarkan pengalaman dan kejadian-kejadian yang sudah berlalu. Bila kita pernah melewati pengalaman indah, itu sudah terjadi dan sudah kita nikmati (kalau belum pun, tidak usah disesali). Lebih baik mensyukuri saat ini. Tetapi banyak dari kita yang memilih untuk menutup pandangan kita dan memilih untuk hidup di masa lalu atau hidup di masa depan yang penuh ilusi.

Pesan dasar dari buku Eckhart Tolle, The Power of Now – Pedoman Menuju Pencerahan Spiritual (Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer, 2007) adalah bahwa modus kesadaran kita dapat ditransformasikan. Kunci untuk terbebaskan dari pikiran yang egois, dengan segala konsekuensinya, adalah dengan menjadi sangat sadar akan saat ini, atau, seperti sering disebut oleh Tolle, ‘Saat Sekarang’.

Tolle menganjurkan agar kita memberlakukan tiga hal pada diri kita agar dapat mencapai Saat Sekarang, yaitu Keterhubungan (connectedness) dua arah antara diri kita dengan Eksistensi (atau Tuhan, atau apa pun yang Anda yakini) serta dengan makhluk-makhluk lainnya;Penerimaan (acceptance) akan kehidupan sebagaimana adanya pada saat ini, tanpa disertai penlabelan atau penghakiman. Tolle juga menganjurkan penyerahan diri kepada keadaan Saat Sekarang – berserah diri adalah menerima saat ini tanpa syarat dan tanpa penolakan. Berserah diri, kata Tolle, murni merupakan fenomena batin, yang dapat mengubah sikap kita sehingga kita dapat menerima keadaan-keadaan sebenarnya saat ini. Maka kita akan dapat bertindak secara positif untuk mengubah situasi yang sedang berjalan, dan tindakan positif semacam itu cenderung lebih efektif daripada jika dilakukan dengan amarah, frustrasi atau resistensi yang penuh keputusasaan; Kegembiraan Mengada (the joy of being) – alih-alih menderita terdapat kedamaian, keheningan dan kegembiraan. “Segera setelah Anda menghargai Saat Sekarang, seluruh rasa tidak bahagia dan perjuangan luruh, dan hidup mulai mengalir dengan kegembiraan dan ketentraman,” tulis Tolle dalam bukunya.

Masa lalu adalah pembelajaran untuk memandu perjalanan kita di masa sekarang. Sedangkan masa depan seyogianya menjadi sekadar arah harapan kita, yang harus disikapi dengan bijaksana, diperkuat oleh kesadaran untuk menyerah dengan sabar, ikhlas dan tawakal. Kita takkan pernah tahu apa yang akan terjadi di masa depan, meski kita dibekali dengan ramalan yang dijamin kejituannya. Merupakan kegiatan yang buang-buang waktu dan energi saja memikirkan kita menjadi apa atau akan mengalami bertahun-tahun ke depan, sedangkan untuk menebak apa yang akan terjadi sedetik kemudian saja kita tak mampu. “Lu bisa jamin sedetik dari sekarang lengan lu nggak digigit nyamuk?” imbuh saya, memberi contoh kepada kawan tadi. Meski saat itu ruangan di mana kami berada banyak nyamuknya, lengan kiri kawan saya yang saya jadikan contoh tidak dihinggapi nyamuk. Sebaliknya, ia malah menempeleng pipinya sendiri, lantaran menjadi landasan empuk bagi satu nyamuk gemuk.

Kejadian itu mengisyaratkan bahwa apa yang terjadi di waktu yang belum tiba berada di luar jangkauan kita. Jadi, mengapa harus dirisaukan? Hidup saja untuk saat ini, detik ini. Nikmati yang diterima, seiring rasa syukur lantaran napas Anda masih berembus saat ini.©



Memperingati Hari Tri Suci Waisak 2554 BE/28 Mei 2010

No comments: