Wednesday, May 5, 2010

Tanda Tanya BESAR

“Anak-anak mulai bersekolah sebagai tanda tanya dan keluar sebagai titik.”
Neil Postman (1931-2003), ahli teori media, kritikus budaya dan pendidik


Semasa masih kelas satu sekolah menengah pertama (SMP), saya memendam pertanyaan tentang siapakah sebenarnya setan itu sehingga ia mendapat konsesi dari Tuhan: alih-alih dibuang ke neraka lantaran tak mau sujud kepada Nabi Adam ia malah diperkenankan menggoda manusia sampai hari kiamat. Pertanyaan itu tetap saya pendam, tidak pernah saya lontarkan baik kepada guru agama (Islam) di sekolah maupun guru mengaji yang seminggu sekali datang ke rumah untuk mengajar saya dan saudara-saudara saya membaca Al Qur’an – dengan tekanan bahwa membaca Al Qur’an saja sudah cukup untuk membuka pintu surga.

Saya tidak pernah melontarkan pertanyaan yang cukup sensitif itu mengingat teman-teman saya saja diperintahkan untuk menerima mentah-mentah apa yang diajarkan guru. Tepat kata Roger von Oech dalam halaman 16-17 dari bukunya, Whack: Pukulan untuk Merangsang Kreativitas dan Ide Baru (Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer, 2008): “Banyak sistem pendidikan kita merupakan ‘tebak apa yang dipikirkan guru’. Banyak di antara kita yang telah diajar bahwa gagasan terbaik ada dalam benak orang lain.”

Tidak saja dalam agama, dalam lain-lain bidang kehidupan kita cenderung memilih ‘cara yang mudah dan aman’ dalam melakoninya. Akibatnya, kita menjadi pribadi yang sukanya ikut-ikutan, alih-alih merengkuh kesadaran. Kesadaran dalam berpikir dan bertindak penting untuk membuat kita paham makna dan tujuan/manfaat dari apa yang kita pikirkan atau kerjakan.

Kesadaran tidak lahir serta-merta dan dalam sekejap. Ia ditelurkan melalui proses pengembangan pengetahuan yang berawal dari tidak tahu, lalu bertanya, kemudian dipraktikkan, jika perlu ditanyakan lagi, barulah diperoleh pengetahuan. Tetapi prosesnya sendiri tidak sekali jalan, melainkan seperti siklus yang terus berputar-putar, sehingga pengetahuan yang kita peroleh akan senantiasa terbarui (up-to-date).

Pikiran dan tindakan yang berlandaskan pengetahuan itu membuahkan kebenaran. Tetapi kebenaran tidak bisa diberlakukan secara merata ke semua orang. Dan kebenaran adalah air yang mengalir, bukan air yang dibendung di dalam waduk, hingga diyakini sebagai sesuatu yang mutlak dan kekal. Keyakinan adalah penjara, kata filsuf Jerman, Friedrich Nietzsche (1844-1900). Keyakinan beku atas suatu kebenaran menghentikan pencarian kita akan yang Sejati. Kita berhenti berproses dan akhirnya mati dalam kebodohan.

Dalam beberapa kasus, kita perlu menantang aturan, ujar Roger von Oech dalam bukunya tadi. Kebenaran dan kemapanan yang melingkupinya juga perlu didobrak. Itulah bagian dari proses pertumbuhan kita secara mental dan spiritual. Jangan menerima apa pun mentah-mentah, biarpun yang menyampaikan adalah orang (yang dianggap) suci, yang mengaku pernah menyentuh wajah Tuhan. Para utusan Tuhan di masa lalu saja merupakan sosok-sosok pendobrak kemapanan agar dapat percaya sepenuhnya, seperti yang dicontohkan oleh Nabi Musa.

Kemapanan harus ditantang, karena kemapanan menciptakan keterlenaan, memunculkan orang-orang yang terbuai di zona kenyamanan. Kritisisme kita akan mati dibuatnya. Wawasan sulit berkembang dan kita akan jalan di tempat. Dengan mudah, kita akan berpelukan dengan sikap diri yang fatalistik (yang sangat pasrah dalam segala hal, merasa dikuasai oleh nasib dan tidak bisa mengubahnya). Semua kemajuan dalam peradaban merupakan ‘akibat’ dari orang-orang kreatif yang berani meruntuhkan tembok-tembok kukuh kemapanan, baik kemapanan dalam berpikir maupun dalam tindakan.

Waktu saya pertama kali masuk Subud, kepada saya diterangkan bahwa Latihan Kejiwaan Susila Budhi Dharma (Subud) berasal dari Tuhan. Jika saya terima perkataan itu mentah-mentah, saya malah akan berhenti tumbuh. Dalam prosesnya, sebagaimana orang kreatif yang mengembangkan kemampuan kreatifnya dengan menantang aturan, kebenaran dan bahkan keyakinan dirinya sendiri, saya pertanyakan, apakah benar Latihan Kejiwaan Subud berasal dari Tuhan? Bilamana Tuhan tidak benar-benar ada? Bagaimana saya (atau para anggota Subud lainnya) tahu apakah Muhammad Subuh (pendiri perkumpulan persaudaraan kejiwaan Subud) berkata benar atau tidak? Seandainya saya tidak percaya Tuhan, apakah saya masih layak berlatih kejiwaan? Dan lain-lain.

Intinya, pertanyakan segala sesuatu, jangan terpenjara oleh keyakinan, apalagi keyakinan yang dibangun oleh pihak lain. Jadilah tanda tanya besar setiap saat. Itu membuat kita tidak saja menjadi kreatif tetapi juga lebih bijaksana dalam menyikapi hidup. Filsuf Jerman lainnya, Arthur Schopenhauer (1788-1860), yang terkenal dengan pesimisme ateistiknya, mengatakan, “Sebuah kebenaran harus melewati tiga tahap: 1) ditertawakan, 2) ditentang habis-habisan, dan yang 3) diterima.” Berpegang teguh pada kemapanan, tanpa pernah mempertanyakannya, akhirnya bisa saja membawa kita ke jalan buntu.©

No comments: