Wednesday, May 26, 2010

Tersesat ke Jalan yang Lurus

“Ilmu pengetahuan hanya dapat mengusulkan sebuah kebenaran, tetapi tidak akan pernah dapat mengklaim kebenaran.”
—Ajahn Brahm, bhiksu Buddhis dan sarjana Fisika Teori dari Universitas Cambridge, penulis buku laris Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya(Jakarta: Yayasan Karaniya, 2005)



Saya suka sekali melakukan perjalanan jarak pendek maupun jauh. Sebelum jalan, saya biasanya berkonsultasi pada peta, mencari alamat yang akan saya tuju. Itu pun tidak selalu banyak membantu. Selain nama jalan yang dicari tidak ditemukan, kadang ada nama jalan yang sama tetapi berada di dua wilayah yang berbeda. Bila sudah demikian, saya nekad meneruskan tekad saya untuk melakukan perjalanan itu. Bagi saya, melangkah dalam kegelapan ada serunya: saya jadi bisa mereguk banyak pelajaran-pelajaran berharga dan pengalaman yang bernilai.

Baru-baru ini, saya bahkan mendapatkan dari salah satu klien saya – yang merasa sangat berterima kasih atas arahan saya, sehingga ia memperoleh keuntungan dari pemasaran produknya – sebuah telepon seluler canggih yang dilengkapi kompas digital dan GPS (global positioning system). Meski begitu, saya tidak pernah memanfaatkannya. Saya lebih suka ‘bersesat-sesat dahulu, melesat pesat kemudian’, lantaran ketersesatan memberi saya banyak pengalaman berharga yang dapat menjadi petunjuk ke arah kelurusan.

Sebagai orang yang berkecimpung di bidang kreatif, saya mewajibkan diri saya sendiri untuk senantiasa waspada terhadap hal-hal di sekeliling saya, di mana pun saya berada. Saya tidak memasang kaca mata kuda atau bahkan menutup mata terhadap kenyataan-kenyataan yang ada. Setiap momen menjadi pembelajaran berharga jika kita mampu melihat dengan sadar serta hadir sepenuhnya saat itu. Inilah yang disebut cara hidup yang meditatif menurut tataran Buddhisme.

Saya ‘nyemplung’ ke dalam ranah Buddhisme sejak dua tahun belakangan ini. Tak sedikit cercaan dan hujatan yang saya terima dari saudara-saudara (yang tadinya) seagama (saya tidak menyebut ‘seiman’, karena iman adalah urusan hati yang hanya kita sendiri yang tahu) dengan saya. Mereka yang mengklaim agama mereka menjunjung tinggi toleransi beragama justru yang paling keras memurtadkan saya. Beruntung saya telah terbimbing oleh kekuatan dari kerelaan yang, pada gilirannya, memperjernih kesadaran saya serta kesediaan saya untuk memaafkan.

Banyak yang bilang bahwa saya telah tersesat. Iya, memang saya telah tersesat. Tetapi, itulah nikmatnya perjalanan itu; saya jadi memperoleh banyak hal di berbagai tingkatan. Hidup saya kian kaya dengan perolehan (gain) spiritual, intelektual maupun material. Iya, saya telah tersesat, tetapi tersesat ke jalan yang lurus, yaitu jalan yang meningkatkan kesadaran kita.

Seorang ustadz di Surabaya yang pernah saya temui dalam pencarian spiritual saya mengatakan bahwa yang dimaksud ‘jalan lurus’ mengacu pada lurusnya hati dan pikiran kita hanya kepada Allah semata. Persoalannya, sebagaimana dinyatakan dalam QS 2: 115, wajah Allah ada di arah ke mana kita menghadap, sehingga lurus dalam hal ini bukanlah seperti obyek elementer dalam geometri, yaitu garis yang menghubungkan dua titik dengan jarak yang terdekat dengan gradien yang sejajar, melainkan kelurusan secara mental kepada sasaran yang dituju, meski jalannya sendiri bisa berkelok-kelok, bergelombang atau menyerong.

Tak banyak yang menyadari bahwa dalam melakukan apa pun, termasuk menegakkan agama, kesadaran adalah jauh lebih utama daripada sekadar ikut-ikutan. Justru perilaku ikut-ikutan itulah yang dapat menyebabkan kita terpuruk ke dalam jurang kesesatan, di mana mata kita terbutakan oleh dogmatisme dan fanatisme tanpa tedeng aling-aling. Agama Islam saja mengajarkan umatnya untuk tahqiq (sadar, insaf) tinimbang terus-menerus taqlid (ikut-ikutan). Hilang agama Anda, jika Anda hanya tahu siapa yang Anda ikuti, tetapi tidak menyadari ke mana perjalanan atau sebuah proses yang Anda tempuh itu mengarah. Jadilah diri Anda sendiri, jangan jadi orang lain, begitulah kira-kira yang ditekankan ajaran yang mementingkan kesadaran di atas perilaku ikut-ikutan.

Saya menandai bahwa orang-orang yang telah berani menapaki kesesatan, menjejak jalan tanpa rambu, yang penuh onak dan wajah kehidupan yang menakutkan yang pada akhirnya menemukan jalan lurus mereka. Ada sebuah ungkapan anonim yang berbunyi: “Agama adalah untuk mereka yang tidak mau masuk neraka. Spiritualitas adalah untuk mereka yang telah melaluinya (neraka).” Pengalaman saya maupun sejumlah orang lainnya bertutur, memang kedalaman batin dapat disentuh oleh mereka yang telah melewati penderitaan berat bak neraka di dunia.

Kawan saya, seorang mantan pecandu narkoba, menemukan kasih Tuhan setelah sepuluh tahun mengakrabi narkoba. Ketika nyawanya akan meregang, ia memohon kepadaNya agar diberi kesempatan untuk bertobat. Kesempatan itu ia dapatkan dan kini ia rajin mendalami agama, bukan hanya untuk mengajak mereka yang masih terpikat narkoba untuk meninggalkannya, tetapi juga untuk menantang para ulama agar jangan sok tahu mengharamkan narkoba, tetapi tidak tahu di mana letak haramnya.

Semua ilmu – tak terkecuali ilmu agama – adalah laksana sebidang tanah yang menuntut untuk terus digali. Pada lapisan pertama, kita mungkin menemukan air. Di lapis kedua, bukan tak mungkin kita temukan minyak. Pada lapisan berikutnya mungkin ada emas. Jangan berhenti pada lapisan itu, karena siapa tahu di bawahnya kita akan menjumpai lapisan yang kaya unsur logam tertentu yang bisa membuat kita kaya-raya.

Tidak ada kebenaran yang mutlak; yang ada adalah kebenaran yang kita yakini secara pribadi dan subyektif (esoterik), yang tidak bisa dipaksakan pada orang lain. Semua manusia terlahir dengan sifat-sifat sekala (kasat mata) maupun niskala (tankasat mata) yang berbeda-beda, sehingga merupakan tindakan yang melawan hukum alam jika perbedaan-perbedaan itu dicoba untuk diberangus, dan manusia serta proses-proses kehidupannya dipaksa untuk diseragamkan.

Proses tumbuh-kembang kita merupakan perjalanan yang tidak selalu lurus (dalam konteks geometri) dan mulus. Justru dengan begitulah kita dapat mengenal kesejatian kita. Ketika kita mengklaim kebenaran, seketika itu pula kebenaran berhenti mengada! Kita akan berhenti mencari, ilmu pengetahuan akan berhenti berkembang, dan diri kita akan berhenti tumbuh. Jalan lurus yang menghampar di muka secara geometris akan mendorong kita berjalan di atasnya dengan kaca mata kuda, yang membuat kita lupa wajahNya ada di mana pun kita menghadap.©

No comments: