Wednesday, May 26, 2010

Memukul Angin

“Demikianlah halnya dengan aku. Aku tidak berlari tanpa tujuan,
dan sebagaimana dalam pertandingan tinju, aku tidak memukul angin.”
—1 Korintus 9:26



Mengharapkan semua orang menyukai kita tentu tidak mungkin. Setiap orang punya preferensi sendiri-sendiri terhadap orang lain yang dipilihnya sebagai teman atau relasi. Dan preferensi itu, biasanya, didasarkan atas sejumlah kriteria, yang tak jarang bersifat subyektif, atau bahkan tanpa alasan sama sekali.

Betapa pun kita berusaha keras menjadi orang yang memenuhi ‘kriteria standar kebaikan dan kesalehan’ tidak dengan sendirinya menjamin kita bakal disukai atau diterima semua orang. Itu adalah kenyataan hidup yang harus kita terima. Keuntungannya, hal itu dapat mendorong kita untuk senantiasa menerapkan sikap rendah hati. Sikap ini, yang dapat memampukan kita untuk merengkuh nilai-nilai welas asih, dapat membuat kita laksana angin yang hanya membuat orang-orang yang melayangkan kemarahan atau kebenciannya kelelahan menyerang kita, lantaran hanya mengenai angin.

Sepanjang lima belas tahun karir saya di industri komunikasi pemasaran tak sedikit saya menghadapi makian dari klien-klien yang tidak puas dengan pekerjaan saya atau sekadar mencari-cari kesalahan saya, atau sikap antipati rekan-rekan kerja yang mengincar kedudukan saya, atau semata tidak menyukai saya tanpa alasan yang jelas. Kalau saya menanggapi itu semua dengan emosi tentu hati saya bakal termakan habis. Makan hati sangat menyakitkan sekaligus melelahkan. Biarlah saya menjadi angin, yang bergeming ketika disandung dan nggak ngaruh saat disanjung. Semua menjadi tiada seiring saya menjadi angin. Biarkan cacian maupun pujian bablas saat menerobos angin. Saya tetap bergeming.

Saya pernah menjadi seperti orang-orang seperti itu – para pemukul angin. Benar-benar pengalaman yang melelahkan, karena orang yang menjadi sasaran saya, baik saat bertatap muka maupun di belakangnya, melenggang santai saja, seolah tak peduli dirinya dihantam kritik, cacian, gosip, fitnah, dan hal-hal buruk lainnya. Toh, akhirnya, dia lebih sukses (apa pun makna kata tersebut) daripada saya dan bahagia. Di situlah saya menginsafi bahwa dengan menjadi angin, yang tidak bisa digenggam apalagi dipukul, jauh lebih menyejukkan, baik bagi diri sendiri maupun orang lain.

Saya pernah bekerja dalam satu tim dengan seorang pengarah seni (art director) yang sangat pendiam dan kaku, nyaris tidak pernah tersenyum. Status sebagai freelancer memaksa saya harus bekerja sama dengan siapa saja, tanpa pilih-pilih. Masa kerja tim yang dibatasi hanya selama berlangsungnya pekerjaan membuat saya tak punya waktu untuk menjalin pertemanan atau mengakrabkan diri dengannya. Saya lebih mementingkan pekerjaan itu dapat tuntas, klien puas, dan bayaran saya impas. Saya tidak terlalu terusik dengan sikap si pengarah seni yang sedemikian rupa.

Namun, di luar keadaan semacam itu, sikap-sikap ‘yang bertentangan’ dengan kehendak saya mendorong saya untuk melakukan introspeksi diri. Tidak selalu keburukan yang sejatinya kita miliki kita sadari. Seringnya malah kita harus bercermin pada sikap dan perilaku orang lain terlebih dahulu untuk menyadari sikap dan perilaku kita sendiri. Melalui introspeksi yang kontemplatif, kita dapat menerima kenyataan diri kita dengan besar hati, legawa dan ridha.

Tak jarang saya menjumpai orang-orang yang betapa pun saya berusaha melunakkan hati mereka, menyenangkan mereka, tetapi mereka tetap tidak mau berelasi dengan saya. Sejumlah teman saya masa sekolah dahulu, atau bekas rekan kerja, atau bahkan saudara Subud sekali pun (saya tidak tahu, apakah lantaran itu mereka masih layak disebut ‘saudara’), misalnya, menolak mengkonfirmasi saya sebagai teman Facebook mereka. Ada yang mungkin merasa dirinya tidak se-level dengan saya lagi, atau pura-pura tidak kenal, atau bahkan jual mahalgara-gara salah mengartikan move saya (dianggap naksir; uniknya, saya justru lebih sering mengalaminya dengan perempuan Indonesia, sedangkan dengan wanita Barat biasa-biasa sajatuh).

Saya menjadi angin saja; apa pun yang menjadi alasan mereka, saya tetap menghormati mereka dan tidak perlu saya risaukan. Menjadi angin yang mengalir lancar, mengarus mulus, mengembuskan kedamaian di hati. Biasanya, sikap angin menjadikan kita sosok yang bersinar di tengah dunia yang kelam dilalap konflik dan kebencian yang mengada dalam hubungan antar-manusia.©

No comments: