Wednesday, May 26, 2010

Rumah yang Bisa Dibawa ke Mana-Mana

“Pikiran, seperti rumah, diisi oleh pemiliknya, sehingga jika hidup seseorang dingin dan hampa ia tidak bisa menyalahkan siapa pun kecuali dirinya.”
—Louis L’Amour (1908-1988), Bendigo Shafter



Setiap kali mendapat penugasan keluar kota atau keluar Pulau Jawa, seperti yang dua tahun belakangan ini saya terima, tak jarang saya membawa kopor besar, atau bila bukan kopor saya bawa satu tas ransel dan satu tas perjalanan (travel bag). Rasanya, saya ingin bawa banyak, yang saya pikir dapat membuat saya serasa di rumah di mana pun saya berada. Jika memungkinkan, ingin saya rasanya saya membawa rumah saya. Bagaimanapun, itu tidak mungkin, kecuali saya memang berniat pindah rumah.

Persoalan ketergantungan pada tempat menghinggapi siapa saja, saya kira. Orang-orang yang mudah dijangkiti kerinduan akan rumah (home-sick) sudah tentu akan mengalami masa yang sulit ketika mereka menjalani pekerjaan serupa saya, yang sebagai penulis wisata (travel writer) mesti sering berada jauh dari rumah demi merekam sudut-sudut indah dari tempat-tempat kunjungan wisata.

Ketergantungan pada tempat untuk melakukan sesuatu, atau sekadar menghuninya, bukan hanya simtom yang menyerang ‘orang rumahan’, melainkan juga para umat beragama dan pejalan spiritual. Umat beragama memang membutuhkan rumah ibadah dalam wujud lahiriahnya, meski itu tidaklah terlalu mengikat, mengingat tidak semua daerah di dunia ini mengakomodasi berbagai agama dengan rumah ibadah, sehingga para pemeluk agama diharapkan dapat bersikap fleksibel dalam hal ‘sembahyang di rumah ibadah yang berupa bangunan’.

Tetapi, para pejalan spiritual seharusnya sudah menafikan rumah/tempat khusus yang spesifik diperuntukkan bagi praktik latihan spiritual mereka. Nyatanya, tidak demikian. Seorang saudara Subud pernah bertanya dengan bingung pada saya, yang dari cerita saya ia tahu bahwa saya dapat melakukan Latihan Kejiwaan, praktik spiritualnya Subud, di mana saja, tanpa keterikatan ruang dan waktu. “Saya hanya bisa di Wisma Subud, Mas. Sulit berserah diri di luar Wisma,” ujar saudara ini. Dengan bercanda, saya menimpali, “Nggak apa-apa kok. Saya hanya bertanya-tanya, apa Tuhan hanya ada di Wisma Subud?”

Saya pernah menandai suami dari teman istri saya, yang dengan setengah memaksa mengajak saya salat di masjid di kompleks perumahan tempat tinggalnya. Bagi saya tidak jadi masalah, mau sembahyang di mana, tetapi bagi laki-laki itu, katanya, salat di masjid lebih afdol – lebih baik salat berjamaah, katanya, ketimbang sendirian. Hal itu menyebabkan saya mencari tahu apa alasannya. Rupanya, sebagaimana diisyaratkan oleh sahabat Umar ibn Khattab, salat berjamaah bertujuan untuk mempererat persaudaraan muslim serta melestarikan kerukunan. Nyatanya, sang suami dari teman istri saya itu usai salat tidak beramah-tamah dengan para peserta salat lainnya. Ia begitu saja meninggalkan masjid setelah menyalami orang-orang di sisi kanan dan kirinya, tanpa minat sama sekali untuk mengetahui kabar mereka, atau siapa mereka.

Di tengah kehidupan yang kian individualistis sekaligus terkotak-kotak serta tersebar (cluttered), upaya melestarikan kerukunan tidaklah mudah. Salah satu solusinya adalah mengumpulkan umat di tempat-tempat di mana mereka biasa berkumpul dan bertemu muka, yaitu rumah ibadah. Namun, daerah sekeliling (neighborhood) dewasa ini tidak sama dengan berabad-abad yang lalu, di mana manusia cenderung hidup di lingkungan bersama sejenisnya (dalam hal budaya dan tradisi). Kini, lingkungan tempat tinggal kita umumnya lebih majemuk penduduknya, dan belum tentu kita kenal dengan orang yang tinggal di blok yang berbeda walaupun di lingkungan yang sama. Momen untuk bertemu dengan banyak tetangga kita sekaligus, kalau bukan pada saat merayakan hari-hari besar keagamaan atau peringatan hari-hari nasional, ya di rumah ibadah.

Berkumpul di rumah ibadah dewasa ini seringnya dilakukan sekadar untuk menggugurkan kewajiban bahwa beribadah di bangunan yang diperuntukkan bagi hal itu merupakan hal yang baik dan afdol, sementara cita-cita akan kerukunan yang selaras sekadar dikantongi di benak. Orang yang merasa dirinya pembesar atau tokoh masyarakat tidak sudi jika duduk di barisan belakang; ia rela menyerobot hak orang lain demi duduk di barisan terdepan. Itu pun pilih-pilih siapa gerangan yang duduk di sisi kanan-kirinya; apabila tidak ‘setaraf’, ia tidak mau. Ia melakukan itu di rumah ibadah lahiriah, tak menyadari bahwa perbuatan semacam itu sama saja dengan mengotori rumah ibadah di dalam dirinya, yang dipercaya sebagai tempat bersemayamnya kekuasaan sejati yang melampaui kehidupan makhluk.

Rumah itu adalah rumah yang bisa dibawa ke mana-mana, tanpa susah-payah, tanpa beban sama sekali. Yang kebanyakan bagi kita menjadi beban justru adalah upaya untuk menjaganya agar tetap bersih. Rumah itu pula yang sejatinya menjadi tempat beribadah kita (baca: mengingat Tuhan). Ajahn Brahmavamso dalam salah satu ceramahnya yang terkompilasi dalam buku Hidup Senang, Mati Tenang (Jakarta: Ehipassiko Foundation, 2009) menganjurkan agar setiap kita (dalam ceramah itu ia berbicara kepada para penganut Buddhisme) mempunyai ruangan di dalam rumah kita di mana kita taruh semua arca Buddha, buku-buku serta cakram-cakram padat bermuatan ceramah, dan ruangan itu tidak dipakai untuk apa pun selain untuk bermeditasi.

Namun, kata bhiksu kelahiran Inggris yang aslinya bernama Peter Betts itu, ruangan-ruangan semacam itu berisiko menciptakan kemelekatan. Adalah lebih baik, sarannya, kita membangun rumah semadi di dalam diri kita sendiri, di hati kita. Artinya, kita bisa semadi di mana saja tanpa terikat pada ruang dan waktu, sebagaimana diajarkan para nabi dari agama-agama samawi, bahwa mengingat Tuhan mestilah menjadi bagian terpadu dari diri kita yang tak dibatasi oleh waktu maupun tempat. Kalaupun ada yang namanya ‘tempat’, yaitu di dalam diri kita yang merupakan rumah yang bisa dibawa ke mana-mana.©

No comments: