Tuesday, April 20, 2010

Tampil Baru Setiap Waktu

“Ada air mancur kemudaan: yaitu pikiran Anda, bakat Anda, kreativitas yang Anda bawa ke dalam hidup Anda dan ke dalam hidup orang-orang yang Anda cintai. Ketika Anda belajar untuk memanfaatkan sumber ini, Anda benar-benar telah mengalahkan usia.”
—Sophia Loren


Semasa masih menjadi mahasiswa Jurusan Sejarah Fakultas Sastra (FS; sekarang menyandang nama ‘Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya’, FIB) Universitas Indonesia (UI), saya pernah menjadi ‘joki’ ujian tengah dan akhir semester untuk matakuliah Bahasa Inggris A dan B untuk, utamanya, membantu para senior saya, yang jarak menuju toga sarjana mereka terentang kian panjang seandainya tidak bisa lulus matakuliah tersebut. (Rasanya, inilah pertama kalinya saya berterus-terang kepada publik mengenai kenakalan saya itu.)

Saat berperan sebagai joki, saya merasakan diri saya jauh lebih senior daripada kakak-kakak kelas saya yang angkatannya dua atau tiga tingkat di atas saya. Rasanya, dengan greget kesombongan, saya memiliki kelebihan atas mereka. Di antara para senior itu bahkan terdapat seseorang yang pernah mendaratkan kakinya yang berbalut sepatu boot Menwa (Resimen Mahasiswa) ke punggung saya, yang sedang berjongkok tak berdaya dalam acara inisiasi mahasiswa baru Jurusan Sejarah FSUI. Untuk urusan ujian bahasa Inggris, giliran ia yang mendatangi saya dengan muka memelas, memohon pertolongan saya agar ia terhindar dari dropout akibat tidak lulus matakuliah wajib itu.Wow, rasanya saya begitu berkuasa atas nasib senior saya. Ternyata senioritas tidak menjamin seseorang lebih pintar dari yuniornya. Para senior saya itu ‘kebetulan’ saja lebih dahulu masuk UI daripada saya, tetapi ditimbang dari kualitas pengetahuan saya melampaui mereka.

Bagaimanapun, dari pengalaman ini, saya memahami bertahun-tahun kemudian bahwa sesungguhnya dalam apa pun – utamanya dalam bidang-bidang akademik, spiritualitas, dan bahkan kehidupan – tidak ada yang namanya senioritas-yunioritas, tua atau muda. Setiap orang mengalami pertumbuhan; apakah pertumbuhan itu cepat atau lambat atau malah berhenti tergantung dari kesediaan kita untuk memaknai. Dengan kemampuan memaknai, yang didorong oleh cara hidup kita yang meditatif (sadar sepenuhnya), berlimpahlah kearifan yang menyiram kita. Kemampuan memaknailah, dan menjadi tecerahkan karenanya, yang membuat kita bisa tampil baru setiap waktu.

Seorang guru Zen menganalogikan pikiran kita dengan cangkir yang penuh dengan paradigma atau pengetahuan lama, yang jika dibiarkan akan mengental dan mampet, yang jika diisi lagi dengan air pengetahuan yang baru akan menyebabkannya luber, tumpah ruah, terbuang percuma. Sedangkan tanpa pernah diisi ulang, pikiran kita lambat-laun akan berkurang kemampuannya, menua dan layu.

Tampil baru setiap waktu dapat menghalau kesombongan atau ketakaburan dari diri kita. Sebagai manusia, kita memiliki keterbatasan: kita mungkin saja kaya pengetahuan, tetapi kita tak mungkin menguasai semua ilmu yang ada di muka bumi. Dan pengetahuan manusia memiliki kelemahan: ia mudah sekali menjadi ketinggalan zaman (obsolete), sehingga apabila Anda tidak memperbarui (upgrade) diri setiap waktu, Anda akan tergerus oleh zaman.

Saya pernah dilagaki klien saya untuk menunjukkan bahwa dirinya sangat memahami ilmu pemasaran – sebagai caranya untuk mementahkan rekomendasi strategi kreatif yang saya ajukan bagi produknya, dan mungkin juga untuk menciutkan keyakinan saya. “Anda harus paham dulu 4P-nya marketing mix. Anda tau kan 4P?” ujarnya dengan congkak.

“Tahu, Pak,” jawab saya, kalem. “ Itu adalah formula marketing mix dari Profesor Jerome McCarthy yang dicetuskannya tahun 1960 dan saya kira itu pola pikir pemasaran yang usang, karena mementingkan sudut pandang inside-out para pemasar yang mau mendikte konsumen. Saya adalah praktisi paradigma baru pemasaran dengan sudut pandang outside-in yang menitikberatkan pada kebutuhan dan keinginan konsumen.” Ini adalah cara saya yang bertele-tele untuk mengatakan pada klien belagu itu: “Kuno lu!”

Terlebih, adalah sangat konyol jika menganggap diri senior dalam hal spiritual. Jalan spiritual merupakan ranah yang sangat dinamis, dengan perjalanan naik-turun lewat selasar berkelok-kelok dan permukaannya bergelombang serta berlubang, yang jika tak hati-hati akan membuat kita terperosok ke dalamnya. Umur atau seberapa lama kita menempuh jalan spiritual tidak relevan sama sekali dengan pertumbuhan spiritual kita. Spiritualitas adalah mengenai tecerahkan setiap saat, tampil baru setiap waktu dalam kaitan dengan kearifan dan kebijaksanaan. Kita terdewasakan oleh hikmah-hikmah yang dipetik sepanjang perjalanan itu, alih-alih lantaran kita secara usia lebih tua atau sudah lebih dahulu menempuh perjalanan itu.

Tidak dipungkiri bahwa di jalan spiritual masih dapat dijumpai orang-orang yang menempatkan senioritas di atas kearifan. Meski sudah berspiritual sekian belas atau puluh tahun saja masih mudah marah lantaran dikritik atau diejek, mudah melambung karena disanjung, gampang tersinggung bila disenggol perasaannya – meski kenyataannya hal-hal semacam ini dapat mendongkrak kemampuan kita untuk memaknai, atau sekadar merasa bahwa sesama saudara di jalan spiritual tidak searas dengan dirinya lantaran dirinya ‘sudah spiritual’ sejak lama.

Dalam kacamata Buddha, orang-orang semacam ini melangkah di jalan spiritual tanpa kesadaran dan kehadiran yang penuh. Bagi orang-orang seperti itu, pengalaman spiritual merupakan terminal terakhir, bukan batu loncatan untuk mencapai stasiun hati berikutnya, berikutnya, dan berikutnya. Dan pada setiap stasiun kita akan selalu tiba dalam keadaan diri yang baru, kosong dari pengalaman dan pemahaman lama. Cangkir pikiran kita telah siap untuk dituangi kearifan baru setiap waktu.©

No comments: