Tuesday, April 20, 2010

Terpenjara Oleh Kata-Kata

“Dalam doa, lebih baik memiliki hati tanpa kata-kata daripada memiliki kata-kata tanpa hati.”
—Mahatma Gandhi


Suatu hari, bertahun-tahun silam, ketika saya masih bekerja di sebuah biro iklan di Surabaya, saya datang ke kantor dengan tergopoh-gopoh. Saya berhasrat sekali untuk bercerita pada art director di kantor tentang pengalaman spiritual (pengalaman remeh tetapi membawa pencerahan pada diri saya secara spiritual) yang saya jumpai dalam perjalanan saya dari rumah ke kantor. Si art director sedang berada di belakang komputer ketika saya menghampirinya, seraya berkata, “Aku tadi dapat mukjizat—“

Tak dinyana, perkataan saya langsung dipotongnya sambil memperlihatkan wajah tak senang. “Mukjizat hanya berlaku untuk nabi, Mas,” sergahnya. “Kalau untuk kita bukan mukjizat.” Ia tidak menjelaskan lebih lanjut apa kata yang tepat untuk menggambarkan keajaiban yang saya alami barusan – mungkin ia lupa atau memang tidak tahu apa ‘kata ganti awam’ untuk ‘mukjizat’ yang konon hanya bagi nabi. Bertahun-tahun kemudian, saya baru diberitahu, oleh orang yang berbeda, bahwa kata ganti ‘mukjizat’ untuk yang bukan nabi adalah ‘maunat’. Tetapi pengalaman di Surabaya itu membuka kesadaran saya bahwa keberagamaan dari sebagian (besar) kita ternyata terpenjara oleh kata-kata.

Dalam realita, ungkap Lama Surya Das, dalam Awakening to the Sacred: Menggapai Kedalaman Rohani dalam Kegalauan Hidup Sehari-hari (Jakarta: Gramedia, 2002), semua kata yang mengacu pada praktik-praktik spiritual adalah terjemahan yang lemah dari bahasa universal roh.

Saya pernah mendengar bahwa bahasa Arab merupakan ‘bahasa yang paling tepat’ untuk mendefinisikan dan mendeskripsikan konsep ketuhanan yang rumit; gagasan keilahian yang gaib, sarat makna yang sangat esoteris (dipahami oleh segelintir orang terpilih yang memiliki pengetahuan atau minat khusus). Tetapi, itu pun tidak mendatangkan jawaban-jawaban yang pasti atas persoalan-persoalan keagamaan, sehingga bermunculanlah tafsir-tafsir, yang bukannya menciptakan harmonisasi, malah menyuratkan pertentangan. Pasalnya, kata-kata dalam bahasa Arab tidak bisa serta-merta memiliki padanan kata yang baku dalam bahasa-bahasa asing lainnya. Sebabnya, bahasa Arab memiliki konjugasi (tasrif), di mana satu kata bisa mempunyai hingga seribu arti.

Kata ‘khatam’, misalnya, selain berarti ‘terakhir’ atau ‘penutup’, juga berarti ‘penyelamat’, ‘pemberi persetujuan’, ‘sepakat’, ‘yang membenarkan’, ‘cap’, ‘stempel’ dan lain-lain. Tak mengherankan, jika sepanjang sejarah Islam sejak wafatnya (atau ada kata lain yang lebih mulia untuk menggambarkan ‘mati’) Nabi Muhammad, kaum muslim sendiri terus memperdebatkan tentang apakah beliau nabi yang terakhir (khatam) atau nabi yang membenarkan (khatam) kitab-kitab terdahulu – sehingga ada kemungkinan Tuhan Yang Maha Bisa mengutus nabi-nabi selanjutnya. Perdebatan semacam ini, hanya gara-gara kata, tak jarang menimbulkan pertikaian berdarah.

Dalam obrolan yang tidak serius dengan seorang sahabat di jalan spiritual, saya pernah melontarkan permenungan: “Kalau kita berdoa pada Sumber Ilahi tanpa menyebut namaNya, atau menggantinya dengan sebutan yang nggak ada artinya, seperti, misalnya myem-myem-myem, akankah Ia mengabulkan doa kita?” Lalu, tanpa menunggu jawaban sahabat tadi, saya berdoa dengan hati tanpa kata-kata, melainkan memvisualkan diri saya menjadi orang yang selalu diberkahi kekayaan intelektual. Niat bangkit oleh tindakan saya ini, pikiran menggerakkan dan energi mengalir. Doa saya tidak bergantung pada kata-kata. Dan apa pun bahasa yang kita gunakan, doa adalah bahasa umum jiwa. Dalam prosesnya, doa yang saya lantunkan dalam hening sepi tanpa kata-kata itu membuahkan realisasi dari apa yang saya pohonkan kepada Sumber Ilahi Tanpa Nama itu.

Salah seorang bibi saya, yang kepadanya saya ceritakan pengalaman saya yang pada suatu malam membekap pocong di tempat tidur, yang saya kira bantal guling, menasihati saya bahwa seharusnya saya mengumandangkan serangkaian kata-kata bahasa Arab, yang menurut beliau merupakan ‘doa anti makhluk halus’. Wah, sejak kapan doa menjadi mantra? Dengan sopan saya katakan pada beliau, “Saya malah bilang ke pocongnya: ‘Dasar jin kunyuk! Pergi lu!’ Dia pun pergi, Tante.”

Suatu ketika, saya membaca Ayat Kursi hingga 1.000 kali. Bukan jaminan, rupanya, hal itu akan menyingkirkan makhluk-makhluk dari dunia lain, sebab nyatanya pada hitungan ke-850 sesosok makhluk berbadan hijau menyala dengan bola mata merah dan berdarah-darah duduk di sebelah kanan saya, menatap saya dengan bola matanya yang menyeramkan sementara mulutnya berucap Ayat Kursi. Semakin saya berusaha menamengi diri dengan Ayat Kursi, semakin nyata dan jelas kehadiran si makhluk. Matanya kian tajam menatap saya. Namun ketika saya berhenti berucap Ayat Kursi, dan membenamkan diri dalam hening penyerahan diri, si Hijau perlahan-lahan memudar dan akhirnya lenyap. Saat itulah, saya beroleh kepahaman: Jangan percaya pada kata-kata. Percayalah pada pertolongan Sang Pencipta, yang kepadaNya tidak terentang jarak ruang, waktu, dan kata-kata.

Kata-kata punya kekuatan hanya di alam lahiriah. Di alam batiniah, kata-kata hanya menjadi penghalang kontak kita dengan Sumber Ilahi (apa pun yang Anda yakini). Bagaimanapun, pada banyak kasus di alam lahiriah pun kata-kata seringkali malah membuat pemerian apa pun menjadi dangkal. Dalam hal ini, ketika kata-kata digunakan untuk menjangkau rasa/emosi. Rasa bisa menjangkau kata-kata, bukan sebaliknya. Karenanya, sufi-sufi mistik, seperti Jalaluddin Rumi dan Rabi’ah al-Adawiyah (yang dinarasikan oleh sufi lainnya, Farid al-Din Attar), mengungkapkan kecintaan mereka pada Yang Ilahi lewat representasi syair yang sarat metafora dan simbolisasi.

Ekspresi perasaan tidak terwakilkan oleh kata-kata, melainkan oleh tindakan. Dunia spiritual adalah ranah niskala (abstrak) yang kemanfaatannya baru bisa dimanifestasi lewat amal perbuatan atau tindakan nyata. Duduk diam, tidak melakukan apa-apa, bukanlah ekspresi spiritual. Kesadaran juga sulit dibangunkan lewat cara yang pasif ini. Aktivitas spiritual bersifat proaktif dan partisipatif, agar dengan begitu pelaku tersadarkan, dan kemudian, dalam prosesnya, menjadi tercerahkan.

Berbagai gerakan spiritual, karena itu, dalam lakunya memadukan sisi spiritual yang niskala dengan sisi material yang sekala (konkret, menghasilkan kemanfaatan). Kaum pejalan spiritual maupun umat beragama yang menafikan tindakan nyatalah yang biasanya terpenjara oleh kata-kata; yang tidak terbuka untuk memahami dan menerima orang-orang yang menggunakan kata-kata yang berlainan untuk menggambarkan konsep-konsep yang esensinya sama.©

No comments: