Tuesday, April 20, 2010

Mengintip Diri Sendiri

“Lebih baik dibenci karena diri Anda yang sebenarnya daripada dicintai karena diri Anda yang bukan sebenarnya.”
—Andre Gide (1869-1951), pemenang Nobel Sastra tahun 1947


Saya punya bakat yang rada menyebalkan, yaitu mampu melihat atau merasakan kehadiran makhluk halus. Saking seringnya saya berjumpa sosok-sosok menyeramkan itu sampai saya sempat berpikir bahwa mereka merefleksikan diri saya. Entahlah. Namun, yang saya sadari kemudian adalah bahwa meski wajah atau profil mereka menyeramkan, sampai sekarang yang paling sulit saya pandang adalah diri saya sendiri.

Perasaan saya campur-aduk kalau melihat diri sendiri, sehingga dalam banyak kesempatan yang saya lakukan hanya sebatas mengintip, sehingga diri saya pun tidak pernah terungkap secara utuh bagi diri saya sendiri.

Pada 23 Februari 2009, saudara saya di jalan spiritual, yang sehari-harinya berkecimpung dalam pembinaan mentalitas kewirausahaan, memperkenalkan saya pada suatu peranti lunak bernama IML (Institute for Motivational Living) DISCinsights Personality Profile Report. Peranti itu diciptakan oleh Dr. William M. Marston, salah seorang psikolog terkemuka abad ke-20 yang terkenal karena menciptakan tes tekanan darah sistolik dalam suatu upaya untuk mendeteksi kebohongan, yang menjadi salah satu komponen dari alat poligraf modern – mesin pendeteksi kebohongan yang dipakai kepolisian untuk memeriksa tersangka pelaku kejahatan.

Dibarengi rasa penasaran yang selalu hinggap pada diri saya apabila dihadapkan pada hal-hal baru, saya pun mencoba peranti lunak tersebut, yang telah di-install di laptop saudara tadi. Peranti itu bermuatan sistem pengujian dengan lebih dari seratus pertanyaan dengan pilihan jawaban berganda yang harus kita tandai yang paling benar menurut kita. Setiap pertanyaan diberi batas waktu untuk menjawab hingga tidak lebih dari sepuluh detik. Lewat dari waktu itu, secara otomatis pertanyaan tersebut terkunci, sehingga kita tidak bisa memberikan jawaban. Hal ini menyebabkan kita cenderung memberikan jawaban-jawaban spontan tanpa peluang untuk mempertimbangkan atau memikirkan jawaban (premeditated answer) yang ‘terkesan baik’.

Ini berbeda dengan tes-tes psikologi yang dilakukan secara tertulis dan dilanjutkan dengan wawancara, dengan durasi menjawab lebih lama (satu jam) untuk seluruh pertanyaan, yang sama dari waktu ke waktu. Peserta yang pernah mengikutinya, seperti saya ketika diharuskan perusahaan tempat saya bekerja untuk menempuh tes semacam itu pada bulan Juli 2003, yang bagi saya merupakan kali yang kedua, akan dapat merekayasa jawabannya. Semua jawaban yang saya berikan saat itu merupakan rekayasa, sehingga, sebagaimana dugaan saya sebelumnya, si psikolog tepesona dan menyimpulkan bahwa diri saya baik-baik saja (baca: memenuhi kriteria standar perusahaan).

Dengan tes DISC tadi, semua pertanyaan serba baru, dalam bahasa Inggris yang simpel, dan setiap pertanyaan dibatasi waktunya. Kemungkinan kita merekayasa jawaban kecil sekali. Akurasinya konon mencapai 99,99%. Setelah semua pertanyaan dijawab – atau, paling tidak, disodorkan ke saya, jawaban-jawaban diproses dalam beberapa menit dan kemudian kesimpulannya, yaitu gambaran mengenai profil kepribadian saya, disajikan di depan saya. Kesimpulannya sebagian begitu mengejutkan sampai saya tidak berani membacanya saat itu. Paling banter, saya intip sebentar untuk kemudian saya lupakan. Pribadi saya, yang dalam tolok ukur norma umum bakal dinilai negatif, menampilkan wajah yang lebih menyeramkan daripada wajah-wajah makhluk halus yang pernah saya lihat selama ini.

Tetapi itulah kekeliruan saya. Seharusnya saya legawa menyambut sisi buruk/kekurangan saya sebagaimana saya menerima sisi baik/kelebihan saya. Dengan begitu barulah saya dapat melihat diri saya secara utuh.

Rasanya, sebagian besar kita memilih tidak mengenal dirinya secara utuh, dan menerimanya sebagaimana adanya. Psikiater Swis penemu psikologi analitis, Carl Gustav Jung (1875-1961), mengungkapkan bahwa pada diri setiap manusia ada sisi gelapnya. Tetapi, lantaran budaya masyarakat kita kadung menilai yang gelap itu buruk, yang terang itu baik, kita cenderung membenamkan sisi gelap itu ke dalam lumpur pengabaian; berlagak tidak tahu.

Padahal sisi gelap itu juga merupakan kemuliaan, yang tanpanya sisi terang itu takkan ada. Banyak pejalan spiritual yang saya kenal mengira nafsu amarah (al-nafs al-ammarah) atau nafsu setaniah itu buruk dan harus disingkirkan agar tidak menghambat pertumbuhan spiritual. Spiritualitas adalah mengenai melakoni hidup secara sadar, hingga kita menyadari bahwa diri kita hanyalah sebagian kecil dari suatu eksistensi yang maha besar.

Nafsu amarah – suatu istilah ilmiah dalam pembagian tujuh tingkatan nafsu (dalam Sufisme Jawa disederhanakan menjadi empat nafsu saja) yang pertama kali diungkapkan oleh al-Ghazali (1058-1111) dalam karya agungnya Ihya’ ulum al-din – sejatinya merupakan daya dorong manusia untuk mengupayakan kesejahteraan hidupnya. Tidak ada yang buruk dengan nafsu, kecuali kita tidak dapat mengendalikannya, atau mengelolanya dengan baik. Latihan spiritual bukanlah untuk menggelontor nafsu amarah dan lawwamah, serta mengagung-agungkan nafsumulkimah, muthma’inah, radhiyah, mardhiyyah dan shaffiyah dari diri kita, melainkan untuk mengelolanya, agar yang satu tidak lebih dominan dari yang lainnya. Dan eksistensi nafsu-nafsu itu bukan mewujud suatu tingkatan bertahap yang harus dicapai setelah melewati proses spiritual tertentu. Nafsu-nafsu itu membentuk satu kesatuan yang saling melengkapi. Namun, saran saya, dalam praktik kehidupan Anda abaikan semua ini. Nafsu-nafsu itu toh masih merupakan postulat (suatu proposisi yang belum terbukti tetapi diterima secara umum).

Memang tidak semua orang siap menerima kesejatian dirinya, namun kita perlu mengenal diri dengan baik, karena hal itu memengaruhi hubungan kita dengan orang lain (antar pribadi), dan, akhirnya, dengan diri sendiri dan Sumber Ilahi (intrapribadi). Kalau Anda tidak siap menghadapi kenyataan diri Anda secara tiba-tiba, ada berbagai pilihan cara lainnya, tetapi yang terpenting adalah dengan selalu menumbuhkan kesadaran.

Saya pribadi lebih suka ‘menemukan diri’ saya dalam suasana kerja tim (teamwork). Saya beruntung, karena kerja tim mewarnai dunia di mana saya mengais rezeki, yaitu dunia komunikasi pemasaran. Melalui kerja tim, saya dapat menginsafi kelebihan maupun kekurangan saya dengan berefleksi pada anggota-anggota lainnya dalam tim. Kelebihan bukan untuk disombongkan, dan kekurangan bukan untuk disesali dalam lingkup kerja tim. Masing-masing orang saling mengisi. Karena itu, dalam kerja tim tidak ada orang yang tidak berguna.

Kawan saya pintar bicara, tipe NATO (no action, talk only) dan tidak ada hal lain yang bisa dilakukannya selain ‘banyak omong’. Namun keberadaan dirinya tidak dapat diabaikan, berhubung kata-katanya selalu berhasil memotivasi rekan-rekan satu timnya. Saya menyadari kelebihan saya dalam melontarkan ide-ide yang cemerlang, sekaligus menginsafi kekurangan saya dalam mengimplementasikan ide-ide tersebut. Beruntung saya punya rekan-rekan yang tidak pandai beride namun sangat cekatan dalam bekerja: mereka selalu berhasil menerjemahkan ide-ide saya dalam bentuk-bentuk nyata yang dapat dinikmati semua orang.

Dari pengalaman saya menggali diri lewat kerja tim, tampaknya lebih mudah mengintip diri orang lain ketimbang mengintip diri sendiri, tetapi efeknya kita dapat mengenal diri sendiri tanpa harus menghadapi kejutan-kejutan yang menakutkan.©

No comments: