Tuesday, April 20, 2010

Menyatakan Diri Lewat Jabatan

“Anda bukanlah jabatan Anda.”
—Tyler Durden, Fight Club (1999)


Tahun 2005 lalu, seorang direktur pengelola sebuah biro iklan berukuran menengah (medium-size ad agency) menyambut saya yang hari itu mengawali kerja di perusahaannya. Pertama kali diwawancara sebulan sebelumnya, saya dimaksudkan untuk mengisi jabatan pengarah kreatif (creative director, CD). Tetapi pada hari pertama kerja itu, sang direktur pengelola malah bertanya, titel apa yang ingin saya sandang – apakah Creative Director, Account Director atau Strategic Planner, karena dalam praktiknya saya memiliki keahlian dan pengalaman untuk menjalankan tugas dari ketiga jabatan itu. “Jadi OB (office-boy) juga nggak apa-apa, Pak. Asal saya boleh terlibat dalam brainstorming kreatif dan bikin iklan,” jawab saya, ringan.

Ia lantas mengimbuhkan bahwa di agency itu sudah ada CD dengan latar belakang art direction (pengarahan artistik), yang mungkin bakal merasa tersinggung bila ada orang baru yang mengklaim setaraf jabatannya dengan dia. Akhirnya, saya dititelicopy-based creative director (pengarah kreatif berbasis penulisan naskah iklan). Saat itu, saya heran kok masih ada orang yang mementingkan jabatan, sementara pengalaman saya selama ini adalah lebih penting menjunjung tanggung jawab dalam pelaksanaan tugas daripada sekadar memegang jabatan.

Meski bercanda, jawaban saya bahwa saya jadi OB pun tidak masalah dilandasi oleh pengalaman saya delapan tahun sebelumnya, yaitu ketika saya menjadi creative group head pada sebuah biro iklan multinasional. Saat itu, saya menangani, antara lain, komunikasi pemasaran untuk mobil dan bus Mercedes-Benz. Suatu kali, saya dan rekan saya, sang pengarah artistik (art director), terpaksa lembur sampai larut malam, mempersiapkan materi iklan cetak untuk bus Mercedes-Benz untuk pemasangan di majalah in-flight-nya Lufthansa, maskapai penerbangan nasional Jerman. Seorang OB yang sedang mengepel lantai tampaknya sudah lelah, tetapi ia tidak boleh pulang sebelum saya dan rekan saya menuntaskan pekerjaan kami.

Dengan rada jengkel ia rupanya melirik ke layar komputer saya, di mana saya tengah berkutat mencari ide untuk naskah iklannya. Spontan sang OB berseru, “Ooh, bus Mercy toh?! Mau ngomong apa lagi sih? Udah terkenal kok remnya pakem dan suspensinya enak. Orang-orang di kampung saya, Cianjur, kalau naik bus milihnyaMercy.”

Perkataan spontan sang OB kontan memercikkan ide brilian di benak saya. Eureka! Saya seperti mendapat pencerahan. Kata-kata “mau ngomong apa lagi sih?” yang meluncur dari mulut si OB akhirnya menjadi headline iklan cetak tersebut: “Need We Say More?” Visualnya berwujud sekadar logo Mercedes-Benz yang sudah ‘berkata segala-galanya’ tentang kehebatan bus Mercedes-Benz. Pengalaman tersebut juga menegaskan pada diri saya bahwa kita tidak perlu jabatan hebat untuk melontarkan ide-ide hebat.

Adalah konyol untuk menyatakan diri lewat jabatan, karena alih-alih wawasan Anda meluas malah jadi sempit dan picik. Di salah satu biro iklan multinasional tempat saya bekerja dahulu, seorang copywriter tidak boleh melampaui tugasnya menulis naskah iklan, tidak boleh mencampuri pekerjaan art director yang bertugas menata artistik tampilan iklan, walaupun saat brainstorming batas pembeda kedua jabatan tersebut menjadi sirna. Beruntung saya pernah bekerja di biro iklan di Surabaya, yang langka sumber daya manusianya untuk jabatan-jabatan di departemen kreatifnya, bahkan juga di layanan klien, sehingga saya harus merangkap dua-tiga jabatan sekaligus, dan harus fleksibel: sebagai copywriter yang tugasnya bikin copy (naskah) untuk iklan, tak jarang saya harus pula bikin kopi (atau teh) untuk klien, lantaran OBnya sedang keluar kantor berhubung dia merangkap jadi kurir kantor.

Membatasi diri pada satu jabatan tertentu saja bakal menutup diri kita dari peluang-peluang yang melaluinya kita dapat memanifestasi segudang potensi yang kita miliki – tetapi belum kita sadari, karena kita kadung membatasi diri dengan menyatakan diri lewat jabatan.©

No comments: