Tuesday, April 20, 2010

Mata di Mana-Mana

"Kita mungkin melihat sebuah benda tidak bernyawa, tetapi bagi Tuhan
itu hanyalah sebuah wahana untuk diisi dengan kehidupan."
—Pendeta Brown dari First Baptist Church of Chicago,
mengacu pada
Yehezkiel 37:1-14


Lima belas tahun lalu, ketika masih berstatus trainee writer di sebuah biro iklan multinasional yang berbasis di Jakarta, saya mendapat kesempatan untuk belajar pada seorang pengarah kreatif (creative director) asal Australia yang akan mengepalai departemen kreatif, di mana saya menjadi bagian di dalamnya. Saat ia bergabung, tim kreatif sedang dibebani tugas untuk menemukan ide dan mengolah konsep kreatif bagi sebuah merek rokok putih terkenal yang penanganannya akan di-pitch(ditenderkan) di antara beberapa agensi periklanan. Tidak seperti cara pekerja kreatif periklanan lokal yang menjadi panutan saya untuk belajar copywriting dan seluk-beluk periklanan saat itu, si bule larut dalam permenungan mendalam saat mempelajari produknya, mulai dari kemasannya, namanya (brandname), sampai warnanya. Produk diamatinya dengan seksama dari berbagai sisi, dengan harapan ia akan menemukan sesuatu yang berbeda – yang bahkan mungkin luput dari perhatian pengiklan atau produsen.

Benar saja, ia menemukan sesuatu pada desain kemasan produk yang kemudian menjadi ide besar dari kampanye periklanan rokok tersebut – yang juga membawa kemenangan bagi tim kreatif dalam pitching proyek beranggaran lebih dari 10 miliar rupiah itu.

Sejak saat itu, saya menghabiskan banyak waktu untuk mempelajari proses kreatif gaya bule itu. Satu pelajaran penting yang saya serap dari dia adalah senantiasa memiliki perhatian penuh pada apa pun yang saya lakukan. "Kamu harus punya mata di mana-mana kalau mau jadi orang kreatif. Ide tidak ada di sini (di kantor) tapi ada di luar sana, dalam apa saja yang kamu kerjakan, dalam apa saja yang kamu baca, kamu dengar, dan kamu rasakan," pesan pengarah kreatif itu pada saya dan rekan-rekan saya.

Punya mata di mana-mana, maksudnya adalah melihat sesuatu dari berbagai sisi. Sebab, apa yang kita lihat belum tentu itu kebenarannya. Belum tentu apa yang tampak di mata kita itulah hakikatnya. Ketersandungan yang mungkin kita alami dalam hidup, kalau saja kita rela merenungkannya, tidak serta-merta berarti derita/cobaan, yang membuat sebagian kita tak segan untuk menghujat Sang Kuasa sebagai tidak adil, atau maha menyiksa hambaNya. Ada nilai-nilai keselamatan atau kemuliaan yang terkandung dalam apa pun derita yang menghampiri kita. Dengan menaruh mata kita di mana-mana, derita bisa jadi hanya selubung pikiran kita ketika melihat datangnya sesuatu yang tidak sesuai dengan kehendak kita. What we see isn't always what it seems (apa yang kita lihat tidak selalu demikian sejatinya).

Apa yang saya serap dari creative director bule tadi adalah apa yang kelak saya ketahui merupakan teladan Siddhartha Gautama ketika ia mencapai alam kebuddhaan, yakni agar kita senantiasa hidup berkesadaran, hadir sepenuhnya saat ini. Dengan menyadari kekinian, kita akan mampu mengalir bersama waktu, membuka kesadaran terhadap ruang dan mencapai kepahaman bahwa yang lebih utama dalam hidup kita adalah prosesnya, bukan suksesnya. Bukan pencapaiannya, melainkan upaya mencapainya. Banyak harta kasat mata maupun tankasat mata (seperti pengetahuan) dalam kepemilikan saya saat ini menjadi sekadar materi yang teronggok sedemikian rupa, tak lagi menjadi perhatian saya. Padahal waktu saya masih berproses untuk menggapainya, semua itu seolah merupakan kebutuhan utama saya.

Termasuk tulisan-tulisan semacam ini; saya tidak dapat mengingat apa saja yang pernah saya tulis dan bagi-bagikan pada Anda. Yang saya ingat justru proses penulisannya; proses kreatif yang mengiringinya, dialog batin yang mewarnainya, pengalaman spiritual yang melandasinya (saya senantiasa tertuntun untuk merasakan setiap kata, setiap kalimat dan alinea yang saya tulis). Saya selalu merindukan proses kreatif itu, sedangkan hasilnya (karyanya) 'membusuk' di pikiran saya, lantas lenyap tak bersisa. Jadi, sementara tulisan-tulisan saya menyampaikan cerita pada Anda, di baliknya tersimpan cerita yang hanya saya sendiri yang bisa menikmatinya, yaitu cerita tentang proses penulisannya.

Dari pengalaman ini, simpul saya, kita dikodratkan menjadi makhluk yang berusaha, bukan penanti hasil belaka. Berusaha membuat hidup kita bermakna. Berusaha menghidupkan kesadaran kita senantiasa, yang memampukan kita punya mata di mana-mana.©

No comments: