Tuesday, April 20, 2010

Jalan Spiritual yang Humoris

“Tertawa adalah jogging batin.”
—Norman Cousins (1915-1990), wartawan politik, penulis dan profesor dari Amerika Serikat


Salah seorang sahabat dari Nabi Muhammad dikenal sangat tidak serius, suka melucu dan bertingkah konyol, sehingga lama-kelamaan para tetangganya merasa terusik dan mengadukan sang sahabat kepada Nabi. Tetapi, Nabi Muhammad malah berkata, “Biarkan saja. Hatinya dekat kepada Allah.”

Sejauh yang pernah saya alami, spiritualitas ada baiknya disikapi dengan rasa humor (sense of humor) yang tinggi; dengan tidak kelewat serius. Menurut saya, orang yang hatinya senantiasa bersahabat dengan Sumber Ilahi sepatutnya tidak kesusahan atau (merasa) menderita. Ia akan tertawa (dan mengajak orang lain tertawa) dalam berbagai keadaan: senang atau susah, suka atau duka, sehat atau sakit, sukses atau gagal.

Namun, tak dipungkiri, di jalan spiritual pun masih banyak pejalan yang memasang muka masam, cemberut, serius dengan kepala tertunduk seakan itu merupakan sejatinya sikap ketundukan (submission) kepada Sang Kuasa. Aisyah r.a. pernah menegur seorang pria yang berjalan tertatih-tatih dengan kepala tertunduk dan gaya berbicaranya sangat pelan serta lembut, yang menurut tetangganya ia demikian lantaran ia beriman kepada Allah. Aisyah pun berkata, “Sahabat Umar ibn Khattab lebih beriman di antara kalian semua, tapi suaranya tetap lantang dan sabetan pedangnya tetap garang.”

Intinya, jadilah diri sendiri, tidak usah mengenakan atribut yang menegaskan diri kita dekat dengan Sang Pencipta. Apakah Dia Maha Menakutkan sehingga kita perlu menundukkan kepala, tak berani mengurai senyum sedikit pun? Atau Dia Maha Lucu sehingga kita pun selalu tertawa dibuatNya? Terserah apa yang Anda prasangkakan terhadapNya.

Saya pribadi menganggap Dia teman nongkrong (kontemplasi) yang doyan melontarkan teka-teki yang jawabannya terserah kita, namun alangkah bijaknya bila disikapi dengan tawa dan canda. Seorang pengarah seni (art director) dalam tim kreatif yang saya pimpin dahulu suatu kali berkata pada saya, bahwa apabila ia berdiskusi tentang Tuhan dengan seorang sahabat kami – yang menyeriusi jalan spiritual – kesan yang diperolehnya adalah bahwa Tuhan itu serius. Sebaliknya, jika ia mendiskusikan Tuhan dan ketuhanan dengan saya, ia mendapat kesan bahwa Tuhan itu humoris.

Itu, mungkin, dikarenakan saya tak pernah kelewat serius (atau bahkan tidak serius sama sekali) dengan masalah Tuhan dan ketuhanan. Semua saya sikapi dengan becanda. Ketika seorang kawan memberitahu saya bahwa dirinya tidak percaya Tuhan lagi, sementara kerabat dan sahabatnya menghujat, dengan enteng saya merespons, “Kalau lu ngomong gitu ke Tuhan, paling Dia cuma bilang ‘EGP – emang Gue pikirin’.” Tak lama kemudian, kawan itu kembali menaruh kepercayaan kepada Tuhan, karena, katanya, tentunya Tuhan suka melucu dengan ‘mengutus’ saya, yang justru tidak pernah serius, tidak seperti para ulama atau pendeta yang gemar menjanjikan surga atau mengancam dengan kengerian neraka, untuk menyampaikan kebenaran tentangNya.

Di jalan spiritual di mana saya melangkah, yaitu Subud, terdapat orang-orang yang sangat serius, tak kenal becanda, yang sama banyaknya dengan mereka yang selalusumringah, menderai tawa terhadap kehidupan yang tidak selalu menawarkan suka. Di antara yang tersebut pertama, sudah tentu orang macam saya dianggap usil. Beberapa waktu lalu, seorang saudara Subud saya berkata kepada saya dengan sikap yang – mungkin diharapkannya – mencerminkan seorang guru Sufi dengan mimik yang serius (lucunya, ajaran tasawuf yang kompleks seringnya disampaikan melalui anekdot-anekdot yang mengundang gelak tawa), “Di Subud, kita tanggalkan yang lain-lain. Kita hanya bermesraan dengan Tuhan.”

“Tapi karena saya tidak percaya Tuhan, saya bermesraan dengan siapa, Pak?” ujar saya spontan, menahan tawa. Saudara itu kontan mendelik, memelototi saya, tetapi tidak mampu berkata-kata. Itu merupakan pemandangan yang membuat saya sakit perut menahan tawa.

Saya tertawakan kenyataan adanya orang-orang yang tidak bisa menertawakan kenyataan diri mereka. Karena, yang saya pahami, jalan spiritual (juga agama-agama resmi) seharusnya menawarkan pelipur lara, dunia yang penuh tawa walau duka mendera. Jalan spiritual yang sejati adalah yang humoris; tidak bikin miris, tetapi sebaliknya menciptakan wajah sebagaimana Sang Buddha dalam meditasinya: senyum penuh damai.©

No comments: