Tuesday, April 20, 2010

PANDANGAN HOLISTIK

“Manusia adalah bagian dari suatu kemenyeluruhan, yang oleh kita disebut Alam Semesta, yang sebagian terbatas dalam waktu dan ruang. Ia mengalami dirinya sendiri, pikirannya dan perasaannya, sebagai sesuatu yang terpisah dari yang lain-lainnya – semacam khayalan optis dari kesadarannya. Khayalan ini adalah semacam penjara bagi kita, yang membatasi kita untuk mewujudkan keinginan pribadi kita dan kasih sayang untuk beberapa orang terdekat kita. Tugas kita adalah membebaskan diri kita sendiri dari penjara ini dengan memperluas lingkaran belas kasih kita untuk merangkul semua makhluk hidup dan seluruh alam dalam keindahannya.”
—Albert Einstein


Latar belakang pendidikan sarjana saya adalah ilmu sejarah, yang saya timba di Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra (FS; sekarang bernama Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, FIB) Universitas Indonesia (UI). Spesialisasi saya adalah sejarah militer, yang mendorong saya untuk mengkaji strategi perang dan taktik pertempuran pada masa Aksi Militer Belanda II (1948-1949) untuk skripsi yang kelak membuat saya berhak menyandang gelar ‘S.S.’ (Sarjana Sastra) di belakang nama saya.

Karir saya selama lima belas tahun terakhir adalah di bidang komunikasi pemasaran dan korporat, yang ilmunya saya reguk waktu saya bercokol di perpustakaan Matari Advertising, lantaran pada saat saya baru bergabung dengan biro iklan papan atas itu belum tersedia ruangan tersendiri buat saya (yang kala itu dinobatkan sebagai peneliti buat penyusunan album kenangan sejarah dua puluh lima tahun Matari).

Apabila dipandang sebagai potongan-potongan kisah perjalanan hidup saya secara terpisah, maka yang tampak adalah kejanggalan: Apa korelasi ilmu sejarah, strategi dan taktik, dan komunikasi pemasaran dan korporat? Itulah cara pandang sebagian besar kita. Terpotong-potong, tidak menyeluruh, sehingga kita dihadapkan pada kesulitan memaknai hidup kita sendiri. Kesan yang didapat adalah keganjilan atau kebingungan, karena pertanyaan-pertanyaan tak terjawab.

Konon, penyebabnya adalah budaya dari lingkungan di mana kita hidup. Orang Barat (atau masyarakat modern yang matanya telanjur tersilaukan oleh materialisme) jarang yang memiliki kemampuan untuk memandang kemenyeluruhan, dibandingkan orang Timur. Rupanya, ada perbedaan pada cara pandang antara orang Barat dan orang Timur. Ketika disodori foto seekor macan di tengah hutan, orang Barat cenderung mengatakan, “Oh, itu gambar macan.” Sedangkan orang Timur/Asia rata-rata berujar, “Itu, sih, gambar macan di tengah hutan.” Selain melihat obyek utama, orang Timur rupanya memperhitungkan latar belakangnya. Dalam filsafat dunia Timur, segala sesuatu memang dilihat secara menyeluruh, bukan obyek an sich, agar dapat ditangkap makna terdalam dari obyek dan kehadirannya. Ini bukan cerita isapan jempol, melainkan benar-benar hasil penelitian terhadap cara pandang, yang terungkap dalam buku Ken Robinson, Ph.D., The Element: How Finding Your Passion Changes Everything (Viking Adult, 2009).

Seperti dianjurkan oleh para guru bijak, para pejalan di ranah spiritual (yang kebanyakan berasal dari Timur), hiduplah secara sadar – secara meditatif, maka akan tampak kemenyeluruhan dari segala sesuatu yang kita hadapi dalam hidup ini. Kegagalan, dalam konteks cara pandang orang Timur yang holistik, bukan serta-merta berarti gagal selamanya, melainkan suatu proses bagi kita untuk belajar, dan pembelajaran itu menjadi batang lontar kita untuk mencapai kesuksesan. Gagal-sukses, sakit-sehat, kalah-menang, dan segala sesuatu yang saling berseberangan lainnya, merupakan suatu ‘bangunan hidup’ yang sebagian besar dari kita baru dapat menerimanya dengan sabar dan ikhlas apabila disajikan ke hadapan kita dalam sifatnya yang holistik.

Memandang secara sadar bukan berarti memandang dengan pengetahuan. Memandang secara sadar adalah memandang apa adanya, lepas dari persepsi tentang masa lalu atau masa depan. Memandang saja, saat ini. Maka akan tampak kemenyeluruhannya, baik yang nyata maupun sunyata (intangible). Memandang secara holistik akan membangunkan kesadaran mengenai sebuah perjalanan yang bermakna dari apa pun yang pernah dan sedang kita hadapi.

Kalau melihatnya secara sepotong-sepotong, yang hinggap pada diri saya hanyalah penyesalan, dan mungkin juga kemarahan besar. Sebab, menurut diri saya yang marah, buat apa saya kuliah enam tahun (dua belas semester) di jurusan sejarah, mendalami sejarah militer dan mengkaji strategi perang bila akhirnya kini saya malah berkecimpung di industri komunikasi?!

Tetapi setelah saya kumpulkan dan urut seluruh potongan ‘teka-teki kehidupan’ saya tampaklah gambaran menyeluruhnya, yang jernih dan pasti: berkat ilmu sejarah, saya menjadi terbiasa menyusun secara kronologis latar belakang dari produk/jasa atau perusahaan yang akan memberi saya petunjuk atas permasalahannya ketika saya mempertimbangkan strategi komunikasinya. Dan ketika mengatur strategi komunikasi tak jarang saya terilhami oleh kasus-kasus strategi perang dan taktik pertempuran yang pernah saya pelajari dahulu semasa masih menjadi mahasiswa Jurusan Sejarah FSUI.

Intinya, dalam pandangan holistik saya, apa yang pernah saya lalui merupakan ‘ban berjalan’ (conveyor belt) dari pabrik kehidupan yang membawa saya pada keadaan sekarang ini. Saya kini tak lagi menyesali kenyataan bahwa saya adalah praktisi komunikasi pemasaran dan korporat yang menyandang gelar S.S. dalam ilmu sejarah.©

No comments: