Saturday, October 25, 2025

Obituari: Harry N.P. Danardojo (8 November 1965-26 Oktober 2025)

 


DIBERITAKAN sebuah mobil mewah Lexus tertimpa pohon yang tertiup angin kencang pada siang hari sekitar pukul 14.15 WIB, 26 Oktober 2025. Pengendaranya tewas akibat kejadian itu. Belakangan saya mengetahui siapa korbannya, yaitu seorang saudara Subud Jakarta Selatan yang sudah lama tidak Latihan.

Saya mengenalnya pertama kali ketika saya balik ke kota kelahiran saya, Jakarta, pada bulan Juli 2005, setelah bergabung dengan sekelompok saudara Subud. Harry Nugroho Prasetyo Danardojo namanya, mantan managing director di PT Danareksa (Persero) saat itu dan juga anggota Subud yang tidak terlalu aktif.

Berusia dua tahun lebih tua dari saya, Mas Harry, begitu saya memanggilnya, memiliki “urat kaya”. “Apa saja yang disentuh Harry berubah menjadi emas,” kata almarhum Pak Mulyono Hardjopramono, pembantu pelatih yang membuka Mas Harry di Subud sekaligus rekan kerja di Danareksa. Bersama saya, almarhum Pak Mul, almarhum Pak Otjo Wiroreno, Armansyah, Achmad As’ad Luthfie, Agus Ichwanto, dan Nugroho Putut Wibowo (semuanya anggota Subud), Mas Harry pada 10 Desember 2005 di Ciganjur, Jakarta Selatan, mendeklarasikan berdirinya Yayasan Nurus Subhi Institute (NSI), sebuah wahana untuk menyebarluaskan mentalitas enterprise yang terbimbing Latihan Kejiwaan.

Kekayaannya membuat saya iri pada Mas Harry, hingga suatu hari di tahun 2006, saya memendam niat untuk menyampaikan kepada beliau betapa irinya saya pada beliau. Saat itu, para pendiri NSI akan bertemu untuk rapat, di kantor saya, Tiga PR, di kompleks Hanggar Teras Pancoran. Yang pertama tiba di Tiga PR adalah Pak Mul, Mas Harry dan saya. Kami menunggu yang lain di ruang rapat. Saat itulah saya mau mengungkapkan rasa iri saya kepada Mas Harry, tapi keduluan Mas Harry bicara ke Pak Mul: “Nyuwun sewu, Pak Mul, saya itu iri pada Mas Anto!”

Bercanda, Pak Mul bilang, “Lho, wong sugih kok iri pada wong kere?!”

Mas Harry berkata dengan serius, “Beneran, Pak. Saya serius. Saya iri pada Mas Anto. Saya lihat Friendster-nya, dia jalan-jalan ke Bali, ke mana-mana, dan dibayar pula! Nyuwun sewu, Pak Mul, saya sudah lima tahun tidak liburan! Saya hanya bekerja menimbun uang tapi tidak punya waktu untuk menikmatinya! Saya iri sama Mas Anto, waktu kerjanya adalah dengan jalan-jalan. Dia dibayar untuk liburan!”

Saya terenyak, tidak menyangka akan mendengar langsung dari seorang super kaya bahwa ia iri pada saya. Saya sepatutnya bersyukur bahwa kekayaan saya adalah waktu yang melimpah untuk menikmati hidup.

Malam ini, saya mendapat kabar bahwa Mas Harry telah dipanggil Sang Pencipta. Saya saksi bahwa almarhum adalah orang yang baik, kaya tetapi tidak sombong. Semoga arwahnya selalu dalam kemurahan Tuhan Yang Maha Esa.©2025


Pondok Cabe Ilir, Pamulang, Tangerang Selatan, 26 Oktober 2025

Komentar Terhadap Naskah Buku RM

Berikut ini adalah catatan komentar yang saya berikan untuk sebuah naskah buku yang berangkat dari sebuah disertasi dokt0ral yang ditulis oleh seorang wanita anggota Subud Vancouver, Kanada, berinisial RM.


SELAMA dua minggu ini saya mengerjakan penyuntingan dua bab naskah Anda, hanya sebatas membuat kalimat-kalimat panjang jadi singkat dan padat yang juga efektif (bagi pembaca), serta menambahkan keterangan yang saya ambil dari Kata Pengantar saya. Saya merasa naskah itu akan jauh lebih baik ditulis ulang dengan gaya yang “secara akademis populer” terutama bagi generasi pembaca dewasa ini, meski kalangan pascasarjana sekalipun.

14 Oktober lalu, saya diundang oleh Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia untuk menjadi moderator dalam diskusi terpumpun (focus group discussion) antara para sejarawan akademik dengan para sineas, untuk mewujudkan perintah Presiden mengenai apa yang belakangan ini viral (dan cenderung dipelintir oleh pers lebih karena ketidaksukaan subjektif terhadap Presiden Prabowo Subianto dan Menteri Kebudayaannya): Penulisan ulang sejarah nasional.

Pada acara tersebut, Menteri Kebudayaan, yang kebetulan adalah yunior saya di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia dan dia sendiri juga M.Sc dari London School of Economics and Political Sciences dan Ph.D dari Departemen Sejarah Universitas Indonesia, dalam arahannya menyebutkan mengapa sejarah Indonesia kontemporer, di ranah akademik maupun publik/populer, harus ditulis ulang. Karena, menurutnya, penulisan/pengkomunikasian kajian sejarah warisan zaman Orde Baru penuh dengan glorifikasi tokoh, kelompok politik tertentu, atau gagasan, yang sekarang sudah tidak cocok, apalagi di kalangan generasi Milenial yang merasa buku-buku teks akademis SANGAT MEMBOSANKAN, penuh kalimat-kalimat yang tidak mengantarkan pada kejernihan serta tidak membangkitkan motivasi untuk pencarian referensi lebih lanjut.

Menteri minta kepada para sejarawan akademik yang hadir pada diskusi terpumpun itu (semuanya doktor ilmu sejarah dan humaniora) untuk belajar menulis laiknya para wartawan, yang mampu menulis secara populer tetapi tidak menghilangkan kaidah ilmiahnya. Limabelas tahun belakangan ini di Indonesia tren kajian sejarah dan ilmu sosial memang dilakukan oleh mereka yang tidak memiliki latar belakang akademis dalam kedua disiplin ilmu itu, semata karena kalangan pembacanya tidak suka yang terlalu “berat” (termasuk para pembaca yang berstatus mahasiswa pascasarjana).

Saya amati adanya perkembangan-perkembangan terbaru di kampus-kampus terkemuka di Indonesia, dimana teknologi informasi memainkan peran yang signifikan. Dahulu, ketika saya masih kuliah, satu-satunya saluran penyampaian hasil penelitian akademis atau ilmiah adalah karya tulis (skripsi, tesis, disertasi, artikel di jurnal ilmiah). Kini, ada beberapa universitas di kota-kota besar di Indonesia yang membuka pintu lebar-lebar bagi kebebasan berkarya melalui multimedia: Hasil penelitian boleh dipublikasikan melalui film dokumenter pendek yang menghibur, presentasi audio-visual, animasi, novel, serta buku-buku nonfiksi yang dapat dibaca oleh berbagai kalangan—tidak berat bagi pembaca awam, dan tidak pula dianggap remeh oleh pembaca dengan aras pengetahuan setara pascasarjana.

Hari Jumat lalu (24 Oktober), saya bertamu ke rumah Stuart Cooke. Tanpa memberitahu nama Anda dan naskah yang Anda tulis, saya bercerita kepadanya masalah sebuah naskah yang sedang saya edit, dan penerimaan saya bahwa naskah tersebut harus ditulis ulang total dan ditulis dengan gaya yang akrab di pembaca dewasa ini.

Menanggapi cerita saya, Stuart pun menceritakan pengalamannya yang mirip dengan saya: Dia pernah diminta untuk mengedit naskah buku yang tebal karya seorang ahli ekonomi yang jenius. “Tulisan dia tidak fokus, penjelasannya lari ke mana-mana, seolah semua yang dia ketahui, meskipun tidak relevan, ingin dia paksakan untuk dimasukkan ke bukunya. Kalimat-kalimatnya juga bertele-tele. Tapi saya tidak peduli, saya buang semua yang tidak perlu. Alhasil, dari naskah yang sangat tebal tersisa hanya puluhan halaman. Teman saya, yang menjadi perantara saya dengan si penulis, bilang ‘Wah! Dia akan tidak suka bila karyanya kamu pangkas habis seperti ini.’ Saya katakan padanya, ‘Kalau begitu, biarkan saya yang tulis ulang.’,” tutur Stuart.

Menurut saya, R., kalau Anda tetap mempertahankan naskah itu dengan gaya seperti di disertasi Anda saya rasa Anda tidak perlu menerbitkannya sebagai buku, tetapi biarkan sebagai disertasi saja, toh akan disimpan di perpustakaan kampus dan pasti kelak menjadi referensi bagi peneliti-peneliti dengan subjek yang sama.

Saya perhatikan topik bahasan dalam naskah Anda bertitik tolak dari pertemuan yang diharmoniskan oleh Anda antara pemikiran Timur dan Barat. Bukankah itu sedikit banyak merepresentasi diri Anda yang melalui kedua orang tua Anda membentuk percampuran budaya (Eropa dan Masyarakat Adat)? Jika saya jadi Anda, saya akan menulis pembukaan buku saya dengan kisah hidup saya—bahwa keberadaan saya saat ini merupakan hasil dari proses pertemuan dua kutub dan percampuran budaya; bahwa sejarah telah membuktikan bahwa dua hal yang berlawanan prinsip bisa berjumbuh untuk mencapai kebermanfaatan. Sehingga sejatinya gagasan Timur bisa berkelindan dengan empirisme Barat.

Menurut hemat saya, tidak apa jika Anda menyebutkan bahwa familiaritas Anda dengan Zat, Sifat, Asma, Af'al (ZSAA) bertolak dari keterlibatan Anda di Subud. Ceritakan sedikit tentang Subud dan tentang Muhammad Subuh serta bahwa latar belakang beliau dengan Sufisme telah membuat sejumlah gagasan dan terminologi Sufisme “dipinjam dengan elaborasi tertentu” oleh Muhammad Subuh dalam ceramah-ceramah beliau, semata untuk menjelaskan yang tidak kasatmata, seperti energi keberadaan, misalnya, yang digunakan dalam konteks metafisika, spiritual, dan filsafat Timur untuk merujuk pada prinsip fundamental yang mendasari dan memberi daya pada semua realitas.

Dalam bab-bab selanjutnya, alangkah menariknya jika ditampilkan studi-studi kasus atau kisah pengalaman hasil pengamatan sehari-hari yang dapat membangun fondasi persepsi pada pembaca bahwa ZSAA memang dapat diaplikasikan dalam berbagai aspek kehidupan modern, termasuk pendidikan. Tidak perlu lagi bahasan panjang lebar dan bertele-tele yang teoritis. (Saya jadi ingat nasihat Bapak kepada Varindra Vittachi agar anggota Subud menuliskan pengalaman, jangan teori.)

Anda mencantumkan begitu banyak referensi yang menurut saya seharusnya dipindah ke halaman paling belakang dengan judul “Disarankan untuk Pembacaan Lebih Lanjut”. Tahukah Anda bahwa pembaca Milenial gampang sekali terdistraksi oleh teks yang bertele-tele? Akibatnya, mereka lebih suka visual dan karena itu kehidupan mereka didominasi oleh platform media sosial dan smartphone yang sarat interaksi visual ketimbang tekstual. Nah, generasi itulah yang sekarang mengisi semua level akademis di perguruan tinggi. Suka atau tidak suka, buku-buku sarat teks mulai diabaikan.©2025


Pondok Cabe Ilir, Pamulang, Tangerang Selatan, 26 Oktober 2025

Friday, October 24, 2025

Satu Aturan Emas

 


SAYA mengawali karir saya di periklanan pada 24 Oktober 1994—itu hari pertama saya menjejakkan kaki di kantor biro iklan terbesar kedua di Indonesia.

Bulan-bulan pertama saya lalui dengan nongkrong di perpustakaan biro iklan itu, yang memiliki koleksi lebih dari 7.000 buku—dia satu-satunya biro iklan di Indonesia yang memiliki perpustakaan yang dikelola oleh seorang pustakawan profesional dan kawakan. Di antara koleksinya terdapat buku di foto di atas, yang ternyata dijuluki oleh para senior saya sebagai “kitab suci”.

Gaya penulisannya sangat menarik, tetapi yang paling saya ingat adalah “10 Aturan Perak, 1 Aturan Emas”-nya. Saya tidak ingat apa saja 10 aturan peraknya, lantaran 1 aturan emasnya, yaitu “Lupakan semua aturan!” Prinsip itu kelak saya praktikkan bukan hanya dalam menciptakan iklan, tetapi juga dalam seluruh aspek kehidupan saya. Setelah saya masuk Subud, saya baru paham mengapa melakoni 1 Aturan Emas itu penting dan berguna.

Sembilan bulan bekerja di biro iklan itu, dan berbekal pemahaman berbasis praktik terhadap kiat-kiat yang ditawarkan Alastair Crompton, saya memberanikan diri untuk mencoba peruntungan saya di biro iklan lain. Saya diterima bekerja di sebuah biro iklan multinasional di Jakarta setelah melalui serangkaian wawancara dan tes kemampuan yang kompetitif serta psikotes dan tes kesehatan, tak beda dengan yang dilalui para calon kadet akademi militer.

Saat itu, saya sulit mempercayai bahwa saya bisa diterima, mengingat para pelamar lainnya memiliki pengalaman minimal tiga tahun (sedangkan saya hanya sembilan bulan), mereka lulusan universitas-universitas ternama di luar negeri (sedangkan saya lulusan universitas top di dalam negeri), dan mereka berlatar belakang akademik Ilmu Komunikasi, Periklanan, Pemasaran atau Desain Grafis (sedangkan saya Sejarah, tidak ada hubungannya sama sekali dengan bidang pekerjaan saya).

Dari situ, mulailah saya menjadi “kutu loncat” yang rupanya lumrah di dunia periklanan. Bukan gaji yang dicari, melainkan kesempatan untuk mendapatkan merek-merek besar dan terkenal yang dapat memperindah portofolio para praktisi periklanan. Dalam 31 tahun karir saya, saya pernah bekerja di 13 biro iklan, satu organisasi non pemerintah dan satu firma kehumasan sebagai copywriter, strategic planner, branding strategist, editor, dan sustainability communication specialist. Terlebih setelah masuk Subud, berbagai bidang dapat saya rambah dan lakukan dengan baik. Berkat bimbingan Latihan Kejiwaan, alih-alih berkat membaca buku dan mempraktikkannya bertahun-tahun.©2025


Pondok Cabe Ilir, Pamulang, Tangerang Selatan, 25 Oktober 2025

Wednesday, October 22, 2025

Keinginan yang Sudah Luntur

 

Sumber: Instagram Universitas Indonesia  @univ_indonesia

SEPTEMBER tahun 2016 lalu, saat reuni Jurusan/Program Studi Ilmu Sejarah Fakultas Sastra (FS)/Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) Universitas Indonesia (UI) di kampus FIB UI Depok, saya berjumpa dengan yunior saya yang lulusan S2 di Pascasarjana Kajian Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia. Dia menganjurkan saya ambil S2 juga di Pascasarjana Kajian Ilmu Lingkungan UI, dimana kebetulan salah satu peminatannya sesuai pengalaman pekerjaan saya sejak 2012, yaitu Perencanaan Pembangunan Berkelanjutan.

Saya tertarik dan mulai menabung dan mencari dukungan dana untuk itu. Tapi Tuhan berkehendak lain. Dia membimbing saya ke lebih banyak proyek komunikasi keberlanjutan (sustainability communications), yaitu bidang komunikasi dan branding dengan penekanan pada program-program corporate social responsibility (CSR) Community Development (Comdev) berbasis pengelolaan lingkungan, yang otomatis mempertemukan saya dengan banyak praktisi pembangunan berkelanjutan di lapangan yang mumpuni dalam praktik di atas teori, dan juga memberi saya kesempatan blusukan ke daerah-daerah binaan program pembangunan berkelanjutan dari perusahaan-perusahaan. Begitu banyak yang saya dapat dari mereka yang mungkin tidak akan saya dapatkan di bangku kuliah.

Kini, UI meningkatkan kajian pembangunan berkelanjutan dari sekadar peminatan menjadi Sekolah Pascasarjana Pembangunan Berkelanjutan. Sayangnya, minat belajar terstruktur saya sudah luntur.©2025


Pondok Cabe Ilir, Pamulang, Tangerang Selatan, 23 Oktober 2025

Mimpi Melayat Ulama yang Meninggal

TADI malam, saya bermimpi, dimana saya bersama Pak Wardhana (saat ini Pembantu Pelatih Nasional Komisariat Wilayah V Jawa Tengah-DI Yogyakarta) dan Pak Moel (Moelyono Hardjopramono, Pembantu Pelatih Cabang Jakarta Selatan yang wafat pada 2010) pergi melayat seorang anggota Subud yang meninggal. Dari luar, rumah dukanya tampak kecil, reyot dan sempit, tetapi bagian dalamnya ternyata sangat luas, yang ketika saya jelajahi tidak habis-habis ruangannya.

Di dalam banyak sekali anggota Subud, tetapi terutama dari Komisariat Wilayah VI Jawa Timur, Bali dan Sulawesi, tetapi dari Surabaya hanya dari Kelompok Latihan Margodadi, sedangkan dari Cabang Surabaya di Manyar Rejo tidak ada yang datang. Terdengar suara-suara yang bertanya tentang anggota-anggota Manyar, dan ada suara-suara yang menjawab, “Manyar nggak ada yang datang!”

Saya disalami Adi Suhendro (wajahnya seperti di-Zoom in ke hadapan saya) tetapi saya lupa namanya, dan bertanya ke beberapa anggota lain; mereka menjawab, “Oh itu Mas Hendro, Subud Surabaya Margodadi.”

Kemudian saya mengambil makanan dan camilan, yang jumlahnya banyak sekali. Kemudian barulah saya memasuki kamar di mana jenazah disemayamkan. Kamarnya dipenuhi orang tetapi ranjang jenazahnya gelap, saya tidak bisa melihat jenazahnya. Yang kemudian muncul malah seorang kyai tua yang mengajak saya keluar kamar. Kyai itu mengatakan bahwa yang meninggal itu beliau sendiri, tetapi sebenarnya beliau tidak meninggal. Beliau menggiring saya keluar kamar dan menutup pintunya.

Lalu saya duduk di ruangan yang sangat luas yang lantainya beralaskan karpet hijau mirip rumput yang lembut. Banyak santri duduk di tepi ruangan. Pak Wardhana duduk di sebelah saya. “Rumahnya luas sekali ya, Pak,” kata saya. Pak Wardhana merespons, “Iya, Mas Arifin, almarhum itu kyai terkenal, ulama besar.”

Kemudian muncul Pak Moel yang mengajak saya dan Pak Wardhana pulang. Selesailah mimpi saya di situ.©2025


Pondok Cabe Ilir, Pamulang, Tangerang Selatan, 23 Oktober 2025

Monday, October 20, 2025

Kata Pengantar Skripsi

Berikut isi Kata Pengantar pada naskah asli skripsi (sebelum direvisi pasca sidang skripsi pada 7 Juli 1993) saya, yang saya salin dan memberikan sedikit perbaikan.


PUJI dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan karuniaNyalah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Betapapun skripsi ini secara tidak langsung merupakan hasil dari jerih payah penulis dalam mengenyam pendidikan sejarah di perguruan tinggi; hasil dari perasan otak yang terkadang melewati batas kemampuan, hasil dari membanjirnya keringat, air mata, dan tidak jarang pula kekecewaan di hati, serta hasil dari tempaan fisik yang meletihkan, adalah mustahil skripsi ini menjadi ujud yang konkret tanpa bantuan materiel dan dorongan moril dari banyak pihak, individu maupun kelompok. Paling sedikit, mereka menjadi tongkat penuntun bagi penulis untuk menelusuri garis panjang mencapai titik terang dalam karir kemahasiswaan penulis yang berawal dari sosok mahasiswa ingusan yang tidak tahu apa-apa hingga sosok calon sarjana yang dihadapkan ke “meja hijau” untuk mempertahankan skripsinya di hadapan penguji.

Oleh karena itu, adalah layak bagi penulis untuk mencurahkan balasan kepada pihak-pihak itu dalam ujud terima kasih dan penghargaan penulis kepada mereka. Pertama-tama dalam hal ini, terima kasih yang sedalam-dalamnya patut penulis persembahkan kepada dosen-dosen Jurusan Sejarah FSUI yang telah membimbing dan membentuk kepribadian ilmiah penulis hingga dapat menyelesaikan studi pada waktunya. Penulis usungkan penghargaan kepada Ibu Nana Nurliana, S.S., M.A., selaku Ketua Jurusan Sejarah FSUI yang dengan cara beliau yang khas membuat penulis terdorong untuk segera menyelesaikan skripsi ini. Pula kepada Ibu MPB Manus, S.S., dan Mas Kasijanto, S.S., selaku Pembimbing Akademis penulis mencurahkan penghargaan yang sedalam-dalamnya. Sistem bimbingan akademis dalam bentuk diskusi, bukan hanya untuk urusan kuliah saja, tetapi juga tentang studi sejarah militer yang penulis dalami, dari mereka menjadi masukan yang berarti bagi penulis. Tanpa bimbingan dalam kaitan teknis, metodologis dan teoritis dari pembimbing skripsi penulis, Bapak Kolonel TNI (Inf.) Saleh A. Djamhari, S.S., tentunya skripsi ini menjadi tidak lebih dari sebuah karya sampah yang tidak patut disejajarkan dalam koleksi skripsi sarjana Jurusan Sejarah FSUI. Terima kasih dan penghargaan yang setulusnya, karena itu, patut dihaturkan kepada beliau.

Tidak lupa, penulis mengungkapkan rasa terima kasih kepada Mas M. Iskandar, S.S., M.A., yang mau meluangkan waktu sebagai pembaca skripsi penulis dan Mas Susanto Zuhdi, S.S., M.A., yang terkadang menyediakan waktu untuk diskusi tentang Sejarah Revolusi dengan penulis. Peran Mbak Dwi Mulyatari, S.S., Mbak Siswantari, S.S., dan Mas RediRahmat, S.S., terutama dalam membantu secara administratif “kelangsungan hidup” penulis sebagai mahasiswa Jurusan Sejarah FSUI mendapat tempat tersendiri dalam daftar penghargaan penulis. Secara khusus, penulis menyampaikan terima kasih kepada Bapak Richard H. Chauvel, Ph.D., atas perhatian beliau terhadap minat penulis dalam studi militer selama mengikuti kuliah-kuliah kajian Australia dari beliau.

Penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada petugas-petugas Perpustakaan FSUI, seperti Mas Ade Dahlan den Mas Daksina, yang senantiasa sabar melayani penulis dalam mencari buku-buku yang penulis butuhkan untuk penyusunan skripsi ini. Di samping itu, penulis mohon maaf, karena kelalaian penulis mengembalikan buku-buku yang dipinjam merepotkan pekerjaan mereka. Turut menjadi penghargaan penulis adalah kesabaran dan kebaikan dari para petugas perpustakaan, arsip dan pusat dokumentasi lainnya yang meringankan beban penulis dalam menemukan sumber-sumber yang dibutuhkan. Dalam kaitan ini, penulis layak mengucapkan terima kasih, antara lain kepada Bapak Pramudjo dari Dinas Dokumentasi ABRI Satria Mandala, Bapak Sokiman dari Perpustakaan Museum Waspada Purba Wisesa, Mas TotoWidyarsono, S.S., Mas Oloan dan Mbak Ami dari Arsip Nasional Republik Indonesia.

Sejak menjadi mahasiswa Universitas Indonesia, penulis menyadari, bahwa konsep kesetiakawanan dan persahabatan merupakan unsur pokok dalam kehidupan di kampus. Oleh karena itu, penulis mengesampingkan sikap individualisme dan sikap sok mandiri. Tanpa kehadiran teman dan sahabat, kemungkinan besar penulis tidak akan pernah merasakan kebahagiaan dan kebanggaan sebagai mahasiswa Universitas Indonesia. Tanpa kehadiran mereka pula, dapat dipastikan, skripsi ini takkan pernah selesai pada waktunya. Sebab, bagaimanapun, rangkulan kesetiakawanan mereka menjadi tonggak penegak badan penulis untuk bersama-sama menghadapi perjuangan berat yang menanti di muka.

Adalah suatu kebahagiaan tersendiri untuk dapat mengenal sosok-sosok seperti Januar dan Adi Nusferadi dari Angkatan 1986 sebagai sahabat-sahabat sejati yang senantiasa bersedia membantu penulis selama menjadi mahasiswa sampai masa penyusunan skripsi ini. Keterbukaan mereka berdua yang secara tulus menghadapi kelakuan penulis yang sering tidak menentu, menjengkelkan dan konyol adalah bukti kesetiakawanan sejati mereka. Ungkapan terima kasih penulis terukir dalam kalimat berikut: “It’s been so nice to have friends like the two of you.”

Penulis berhutang budi kepada AdiPatrianto, Moh. Zain bin Junoh dan Arfandi Lubis, ketiga-tiganya dari Angkatan 1989, yang telah meminjamkan buku-buku yang penulis butuhkan. Tanpa mereka, barangkali penulisan skripsi ini menjadi tersendat-sendat. Dalam golongan ini, termasuk pula Ali Anwar, S.S., yang selain adalah senior penulis di Jurusan Sejarah juga merupakan kawan dan guru yang baik. Penulis banyak belajar dari dia, terutama tentang tata cara penelitian lapangan. Penulis berterima kasih kepadanya, karena telah diberi kesempatan, kepercayaan serta bantuan untuk mempopulerkan studi sejarah militer dalam wadah Divisi Kajian Militer dari Yayasan Historia Vitae Magistra (YAVITRA) yang diketuainya.

Tidak ketinggalan adalah teman-teman kuliah penulis dari Angkatan 1987, seperti Abdul Jalil, Dwi Puspitasari, Endah Sri Mulatsih, Esterlita Situmorang, Edi Sudarjat, Jaja Najarudin, Maftukhi, Nurlaelah, Pandji Kiansantang, Rasti Suryandani, Syamsul Bachri, Shita Purnamasari, Tien Hartati, Zaenal Abidin, Zainurlis dan Zali Abubakar. Kesempatan untuk mendapatkan teman-teman seperti mereka adalah saat-saat yang takkan terlupakan oleh penulis, karena “I know they are always there when I need them to help me.” Selain itu, kesempatan untuk mengenal Agus Syamsuddin, Arif Pradono, Ahmad Jamil S., Endri Gani, Helmy Arief, Herman Effendy, Indra Priamudi, Linda Sunarti, Lusy Wulansari, Niken Probosari, Sarwoto dan Sulardi dari Angkatan 1988 menjadi warna semarak dalam kehidupan penulis. Mereka semua memberi nafas bagi eksistensi penulis dalam lingkaran mahasiswa Jurusan Sejarah secara keseluruhan.

Penulis banyak mendapatkan gagasan-gagasan baru dan masukan-masukan yang turut menatahkan kata-kata dalam skripsi ini berkat diskusi-diskusi yang menarik di sekitar studi militer dengan Bingar Setiawidi (1989) dan R. Taufik (1990). “Thanks, guys.” Terima kasih penulis sampaikan pula untuk Martomo R. Hidayat (Perpustakaan 1987), Taufik (Jerman 1987), Sudirman (Arab 1987), Syarif Thoyib (Sejarah 1984), dan Urip Herdiman Kambali (Sejarah 1984) yang sering menjadi lawan dialog di luar urusan kuliah, yakni terutama obrolan di sekitar soal kaum Наwа.

Dalam kesempatan ini, penulis ingin mengungkapkan penghargaan secara khusus kepada sahabat pena tercinta Josephien Jolanda (Yola) di Surabaya. Surat-suratnya yang senantiasa memberi dorongan dan doa-doa telah mengiringi penulis dalam empat semester terakhir masa kuliah penulis di Universitas Indonesia. Penghargaan itu penulis berikan untuk pemahamannya atas konsep persahabatan sejati. Dalam keadaan-keadaan penulis di saat suka dan di saat duka, is menyempatkan diri untuk menelepon interlokal ke penulis.

Persiapan efektif menuju ke arah penulisan skripsi ini telah dilakukan sejak lebih dari dua tahun yang lalu. Persiapan itu antara lain mencakup kegiatan penulis dalam melakukan perjalanan guna mengadakan penelitian lapangan pada salah satu daerah yang turut menjadi pembahasan dalam skripsi ini, yakni Kabupaten Banyumas. Kiranya penulis akan menghadapi berbagai hambatan dalam kegiatan penelitian itu, seandainya penulis tidak memperoleh uluran tangan dari pihak-pihak yang berkepentingan langsung. Pertama-tama, penulis menyampaikan terima kasih kepada pihak pimpinan Bagian Hukum pada Kantor Kabupaten Banyumas, di Purwokerto, yang secara spesifik menjelaskan prosedur pengadaan penelitian di wilayah Kabupaten Banyumas. Tidak kurang perannya, dalam hal ini, adalah Kepala Kantor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Banyumas yang “melicinkan” jalan bagi penulis dengan pemberian rekomendasi guna penelitian penulis. Karena itu, patut pula penulis berterima kasih kepada beliau. Tidak lupa penulis haturkan terima kasih kepada Komandan Resort Militer 071/Purwokerto atas kesediaan beliau memberi fasilitas kepada penulis selama melakukan penelitian. Secara khusus, penulis melimpahkan penghargaan yang sedalam-dalamnya kepada Bapak Mayor TNI Purn. Pdt. Atmosugondo, Ketua Tim Penyusun Sejarah KOREM 071/Purwokerto, yang dengan ramah menyambut kedatangan penulis di rumah beliau di Berkoh, Purwokerto, untuk berdiskusi tentang sejarah Banyumas pada masa Revolusi.

Penulis berhutang budi kepada dewan redaksi majalah Teknologi & Strategi Militer (TSM) yang secara tidak langsung telah menumbuhkan kepercayaan diri penulis untuk menggeluti dunia tulis-menulis. Perluasan dari Bab I dan II skripsi ini pernah dimuat secara terpisah sebagai artikel dalam edisi September dan Oktober 1992 dari majalah itu.

Dari segi materiel dan moril, penulis sangat berhutang budi kepada Papa dan Mama tercinta. Skripsi ini juga penulis persembahkan kepada Papa tercinta, Mayor TNI Purn. Slamet, yang telah mengalirkan darah militer dalam tubuh penulis dan telah menanamkan semangat untuk mendalami studi militer. Juga untuk kakak dan adik-adik tersayang, RinaWidiyanti, S.S., Dini Triasrini dan Shanti Meiliasari, penulis sampaikan terima kasih dan cinta atas dukungan mereka selama penulis menyusun skripsi ini. Tidak luput dari rasa terima kasih penulis adalah sepupu penulis, Tris Feriatno, yang bandel namun dapat menghibur penulis di saat-saat kesuntukan menghadapi buku, kertas dan mesin tik. Semoga Allah SWT membalas jasa baik mereka dengan rahmat dan karunia-Nya.

Akhir kata, penulis berharap, bahwa skripsi ini akan memiliki manfaat bagi segenap mahasiswa, peminat dan pembaca sejarah Indonesia umumnya serta menambah khasanah sejarah militer khususnya. Amin.


Jakarta, Mei 1993

Anto Dwiastoro Slamet

Naskah asli skripsi saya saat diujikan oleh sidang penguji di FSUI pada 7 Juli 1993.



Bentuk skripsi saya pasca direvisi, dibuat sebagai syarat untuk mendapatkan ijazah asli saya dari Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia (kini bernama Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia).






Sunday, October 19, 2025

Pada Akhirnya... Itulah yang Paling Penting

DELAPANBELAS Agustus 2025 lalu, bersama tiga saudara Subud dari grup Jakarta Selatan, saya menghadiri sebuah acara peluncuran buku kumpulan puisi esai. Penulisnya bukan anggota Subud, melainkan yunior saya di Program Studi Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, tetapi ia bekerja di lembaga milik seorang anggota Subud.

Ada bedah buku di acara peluncuran yang berlangsung di sebuah kafe komunitas itu, yang dihadiri banyak pelaku sastra dan literasi. Dua pembedah bukunya pun merupakan sastrawan yang cukup kondang. Terungkap sesuatu yang menggelikan semua hadirin: puisi-puisi esai itu merupakan hasil kerja sama si penulis dengan mesin alias artificial intelligence (AI).

Lantas, satu saudara Subud saya, di sesi tanya-jawab, mempertanyakan sejauh apa ketergantungannya pada AI dan bagaimana bisa membangun rasa di kalangan pembaca jika yang membuat puisi-puisi itu adalah mesin? Si penulis membela dirinya bahwa meski ia menggunakan AI, bagaimanapun ia tetap melakukan penyuntingan terhadap hasilnya, dengan mengandalkan pikirannya sendiri.

Saudara Subud saya itu bersikukuh bahwa semua karya hanya dapat memiliki resonansi tertentu pada penikmatnya hanya bila murni berasal dari diri si pembuatnya. Selama ini, saya juga mempercayai hal itu, sampai suatu ketika saya menghadapi situasi dimana saya harus membuat suatu karya sastra fiksi di saat bersamaan begitu banyak pesanan pekerjaan saya terima. Saya ikhlas menyerahkan semua kepada bimbinganNya, tidak berusaha mengatur-atur prosesnya.

Satu dua pekerjaan (termasuk beberapa bagian dari karya tulis fiksi itu) dapat saya selesaikan dengan baik berkat bantuan AI. Yang membuat saya tercengang adalah reaksi klien-klien saya terhadap hasilnya: Mereka merasa puas dan menikmati vibrasi dari pekerjaan-pekerjaan itu, yang tidak ada bedanya dengan yang mereka rasakan ketika saya menyerahkan pekerjaan yang ide dan pengerjaannya orisinal dari diri saya.

Belakangan, dalam obrolan saya dengan satu teman saya (seorang praktisi kehumasan yang kini sedang melalui masa kandidatannya di Subud Cabang Jakarta Selatan), kami mendapat kepahaman: Bukan CARANYA yang penting dalam segala proses kehidupan kita—itu urusan dari Yang Maha Kuasa, Dia Yang Maha Mengatur itu semua.©2025


Pondok Cabe, Pamulang, Tangerang Selatan, 20 Oktober 2025

Alasan Sederhana

“SEGALA sesuatu ada alasannya,” kata sebuah ungkapan. Kadang, alasannya sederhana saja: Anda hanya perlu bersenang-senang.

Seperti pengalaman saya kemarin. Beberapa hari sebelum kemarin, saya menerima bahwa saya harus ke Wisma Subud Bogor pada hari Minggu pagi, 19 Oktober 2025. Saya bertanya-tanya, untuk apa gerangan saya ke sana. Diri saya berkata, “Jalani saja, nanti kamu akan tahu.”

Malam sebelum hari Minggu, saya mengalami kesulitan untuk tidur. Saya membatin bahwa kalau saya besoknya saya mengantuk berat saya akan urungkan niat saya untuk bermotor ke Bogor. Jarak dari rumah saya ke Wisma Subud Bogor adalah 33 kilometer. Saya akhirnya tertidur sekitar pukul 03.30 pagi, tapi dua jam kemudian saya dibangunkan oleh putri saya agar saya membuatkan sarapan buat dia dan ibunya. Dibangunkan mendadak seperti itu, saya merasa sakit kepala, tetapi sambil menggerutu saya paksakan diri untuk meninggalkan ranjang dan menyeret kaki saya ke dapur. Dalam keadaan sangat mengantuk, saya memasak hidangan sarapan untuk putri saya, istri saya dan saya sendiri.

Saat menyantap sarapan, saya memutuskan untuk membatalkan rencana saya ke Bogor, tetapi segera diri saya mengkritik saya, “Kamu tidak cukup berserah diri karena kamu tidak percaya pada bimbinganNya. Abaikan kantukmu dan pergi sana ke Bogor!”

Rute jalan ke arah Bogor dari kawasan tempat tinggal saya cukup ramai pada hari Minggu, karena pada akhir pekanlah keluarga-keluarga Indonesia biasanya melakukan perjalanan dengan berkendara menuju tempat-tempat berdaya tarik wisata atau bertamu ke kerabat atau kenalan mereka. Karena kantuk tidak mau berkompromi dengan keadaan, saya menjalankan sepeda motor saya dengan santai saja, tidak terburu-buru, dan sambil menikmati pemandangan di sepanjang jalan. Saya berangkat dari rumah pukul 09.15, perjalanan biasanya memakan waktu satu jam dengan keadaan jalan yang cukup ramai dengan kendaraan. Saya berharap saya tidak terlambat untuk Latihan bersama di Hall Bogor.

Yang saya dambakan di Hall Bogor bukan semata Latihan bersamanya, melainkan, yang paling utama, pertemuan dengan para anggota Bogor yang asyik dan seru dan juga kocak dengan cerita-cerita pengalaman hidup mereka dengan Latihan. Saya me-niteni apa “hal penting” yang akan saya alami selama di Hall Bogor, sehingga saya menerima harus ke sana. Hingga saya mengendarai motor saya meninggalkan pekarangan Wisma Subud Bogor, menurut saya tidak ada yang signifikan dari kunjungan dan perjalanan 66 km (pergi pulang) saya. Baru pagi ini, ketika terbangun dari tidur, saya disadarkan oleh serangkaian kalimat yang muncul di benak saya: “Segala sesuatu ada alasannya, dan kadang alasannya sederhana: kamu hanya perlu bersenang-senang.”©2025


Pondok Cabe, Pamulang, Tangerang Selatan, 20 Oktober 2025

Tuesday, October 14, 2025

Pengalaman Kejiwaan Sebagai Moderator






TANGGAL 14 Oktober 2025 malam, bertempat di Sapphire Room, lantai 3 Fairmont Hotel Jakarta, saya menjadi moderator dalam Focus Group Discussion (FGD) yang digelar Direktorat Film, Musik dan Seni (FMS) dari Direktorat Jenderal Pengembangan, Pemanfaatan dan Pembinaan Kebudayaan (P3K), Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia dalam rangka pelaksanaan perintah Presiden RI untuk membuat film-film seri bertema kepahlawanan perjuangan kemerdekaan Indonesia.                                                       

Saya diposisikan untuk memoderatori tiga sejarawan akademik (diwakili oleh dosen-dosen Program Studi Ilmu Sejarah dari Universitas Diponegoro, Universitas Negeri Yogyakarta dan Universitas Gajah Mada) dan dua sejarawan publik dalam diskusi rintisan dengan para sineas. Hasil FGD akan dijadikan rujukan untuk pembentukan Kelompok Kerja untuk pelaksanaan proyek yang diperintahkan Presiden.

Saya baru pertama kali menjadi moderator dalam diskusi berskala kementerian itu, sehingga saya sempat tidak percaya diri. Apalagi secara keilmuan (Sejarah), saya sudah banyak lupa, sementara para sejarawan akademik yang hadir semalam ada satu profesor dan dua doktor. Tetapi saya ingat saran dari Pembantu Pelatih Subud Cabang Jakarta Selatan, Harris Roberts: “Don’t be overprepared!” (Jangan terlalu mempersiapkan diri!).

Ya sudah, sejak berangkat dari rumah saya sudah rileks saja; saya bernyanyi sepanjang jalan (dari rumah saya ke Fairmont sekitar 16 kilometer). Dan begitu giliran saya berbicara, saya seperti bendungan jebol, nyerocos secara intelek yang ternyata mengimbangi arahan dari Menteri Kebudayaan, Fadli Zon, yang hadir, dan sukses membawa acara (saya jadi merangkap MC juga akhirnya), dimana para sejarawan, Direktur Jenderal (P3K), Pak Ahmad Mahendra, dan Direktur FMS, Pak Syaifullah Agam, sangat puas dengan presentasi saya yang mereka nilai profesional. Padahal saya hanya bermodalkan rileks—seperti dalam Latihan Kejiwaan.©2025


Pondok Cabe Ilir, Pamulang, Tangerang Selatan, 15 Oktober 2025

Thursday, October 9, 2025

Makna Kesuksesan Bagi Saya

 


MANTAN bos saya dulu di Surabaya, Jawa Timur, bila menelepon saya, setelah saya kembali ke Jakarta, selalu menutup pembicaraan dengan kata-kata “Semoga sukses ya!”

Saya pun selalu menjawab, “Sudah sukses, Pak.”

Jawaban saya membuat beliau tertawa di seberang sambungan, barangkali beliau mengira saya bercanda. Padahal saya menjawab dengan nada serius. Jelas, pemahaman kami berbeda mengenai makna kesuksesan.

Bagi saya, sukses sebenarnya sangat pribadi, subjektif, dan terus berkembang. Kesuksesan sejati bersifat internal, bukan eksternal. Ini yang dimaksud oleh banyak orang ketika mereka mengatakan bahwa “Sukses adalah sebuah perjalanan, bukan tujuan.”

Masih bisa bangun pagi dan tersenyum, duduk sejenak di tepi kasur sambil merenungkan hari-hari yang telah lewat, memaknai penderitaan dan ujian yang telah dilalui, lalu berucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.

Kemudian, keluar dari kamar saya membuat teh melati panas, yang aromanya menyeret imajinasi saya ke masa lampau, ketika orang tua saya masih ada dan saya menemani mereka menikmati teh di teras rumah setiap pagi.

Lalu, peluang untuk membaca buku apa saja yang bisa saya dapatkan, dan kemudian berkhayal.

Kemudian, bercengkerama dengan putri saya, Nuansa Biru Oceania, yang berceloteh tentang teman-teman sekolahnya, tentang kucing jalanan yang ingin ia piara (meski hanya boleh di teras rumah kami), tentang gambar-gambar anime yang ia buat tanpa mencontoh, tentang boneka-bonekanya.

Semua itu adalah kesuksesan saya. Sudah ada di sini, saat ini. Bagaimana dengan Anda?©2025


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 9 Oktober 2025

Wednesday, October 8, 2025

Bersyukur Dengan Masa Lalu dan Masa Kini

 


BELAKANGAN, mungkin karena algoritma, akun-akun media sosial saya (Facebook, Instagram, Thread, X, dan Tiktok) kebanjiran postingan tentang era 80an dan 90an. Generasi X seperti saya tahu bedanya suasana kehidupan di era itu dan era sekarang, bahkan tanpa harus menonton visualisasinya melalui video hasil olahan AI.

Video-video itu mengajak siapa saja yang hidup di saat ini untuk "kembali" ke era kejayaan Generasi X, yang makmur secara ekonomi maupun mental-spiritual. Saya kalau bisa kembali ke saat itu dengan keadaan saat ini (baca: sudah dibuka di Subud), saya mau sekali! Saat itulah saya sebenarnya butuh sekali dengan bimbingan dari jiwa saya, tapi nyatanya saya tidak dipandu ke Subud saat itu. Tampaknya Yang Maha Kuasa tahu bahwa justru di kehidupan saat inilah saya paling perlu Latihan, yang dapat membimbing saya untuk mensyukuri masa lalu maupun masa kini saya.©2025


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 8 Oktober 2025

Tuesday, October 7, 2025

Pucuk Dicinta, Ulam Tiba

 


SAAT ini, saya sedang membantu satu saudari Subud dari Vancouver, Kanada, dalam mengedit disertasinya di Universitas British Columbia untuk dijadikan buku teks akademik. Disertasinya, sebagai syarat perolehan gelar Doktor dalam Kajian Kurikulum, membahas tentang sekuens proses dari pandangan dunia (weltanschauung) yang dipetik dari ajaran tasawuf ‘Abd al-Karim al-Jili melalui karya tulisnya yang berjudul Insan al Kamil (Universal Man) atau “Manusia Seutuhnya”.

Karena ketiadaan literatur terkait sekuens “Zat, Sifat, Asma, Af’al” (ZSAA) di kalangan akademik Barat, sedangkan saudari Subud itu hanya mengetahuinya dari ceramah-ceramah Bapak Muhammad Subuh, saya pun menelusurinya dengan bertanya kepada dua wartawan NU Online yang kebetulan sedang aktif mengikuti sesi percakapan bahasa Inggris di kompleks Wisma Subud Cilandak.

Salah satu dari mereka adalah jebolan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, yang sangat familiar dengan sekuens ZSAA, dan melalui dia saya sampai pada karya tulis Syekh al-Jili, tetapi saya tidak dapat mengaksesnya karena harganya, di Amazon, cukup mahal bahkan bagi saudari Subud Kanada itu. Sedangkan Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah tidak memiliki salinan kerasnya di koleksinya.

Puji Tuhan, malam ini, wartawan NU Online itu mengirimi saya via WhatsApp PDF buku tersebut. Gratis! Dia imbuhi dengan pesan: “Sebagai akademisi prekariat yang fakir, saya punya banyak cara mengakses PDF-PDF gratisan.”©2025


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 7 Oktober 2025

Berkat Melimpah Dari Hobi Membaca

 

Saya berpose di lantai 2 Perpustakaan FSUI pada 1992.

HARGA buku tidak seberapa jika dibeli satu per satu, namun tumbuh dalam rumah tangga dengan koleksi buku yang melimpah—atau orang tua yang menjadikan membaca sebagai kebiasaan—memberikan pengaruh yang sangat besar.

Adalah ayah, ibu dan satu paman saya yang selalu mendorong saya untuk rajin membaca. Terlebih ketika saya berkuliah di Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia, sebuah fakultas yang tumpat dengan pustaka, yang memaksa mahasiswa meluangkan lebih banyak waktu untuk membaca.

Awalnya memang saya merasa tertekan dengan pembiasaan membaca yang dilakukan orang tua dan paman saya terhadap saya, namun lambat laun saya memang jadi terbiasa. Awalnya, paman saya memberi saya insentif: Rp10.000 (kala itu, tahun 1990an, nilainya sama dengan Rp100.000 saat ini) untuk setiap buku yang saya baca. Setiap kali saya berkunjung ke rumah paman saya, di kawasan Kalibata Tengah, Jakarta Selatan, biasanya untuk mengantarkan masakan atau kue buatan ibu saya, beliau akan menagih saya untuk menceritakan tentang buku yang sedang saya baca. Kefasihan saya dalam bercerita tentang isi buku dan analisis atau kesimpulan pribadi saya, menjadi bukti bagi beliau bahwa saya memang benar-benar membaca bukunya.

Alhasil, berkat dorongan orang tua dan paman saya, saya tumbuh menjadi pribadi yang kaya pengetahuan, yang menjadi bekal ketika saya berkarir sebagai ahli strategi branding dan copywriter.©2025


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 7 Oktober 2025

Mengapa Saya Berkacamata


SAYA pertama kali mengenakan kacamata ketika duduk di bangku sekolah dasar kelas tiga. Disarankan oleh wali kelas kepada orang tua saya agar saya diperiksakan ke dokter spesialis mata, karena sang wali kelas—di SD Belanda saya, Diamanthorst Lagere Basisschool di Mariahoeve, Den Haag—melihat bahwa saya kerap harus menunduk terlalu dalam ketika menulis atau membaca. Saya melakukan hal itu karena mata saya sulit mencermati huruf dan tulisan di buku yang saya baca dalam jarak yang standar.

Sebagai anak SD kelas 3, bagaimanapun, saya merasa kacamata tidaklah keren, sehingga saya jarang mengenakannya ketika di sekolah dan saat bermain dengan teman-teman di luar jam sekolah. Apalagi bingkainya menyentuh kulit wajah saya di bawah mata, yang terasa mengganggu, terutama saat berkeringat. Alhasil, saya masih tetap harus menundukkan kepala dalam-dalam ketika menulis atau membaca, yang akibatnya membuat minus saya bertambah.

Sepanjang masa SMP dan SMA, saya tidak mengenakan kacamata meski kegiatan baca-tulis saya meningkat. Saya hobi membaca dan menulis. Mengawali masa kuliah saya di Universitas Indonesia, September 1987, saya meniru senior saya di Jurusan Sejarah FSUI, Soe Hok Gie, dengan menulis tangan jurnal harian, yang biasanya saya tulis sebelum tidur malam, dengan penerangan kamar yang tidak terlalu mendukung untuk membaca dan menulis. Tetapi saya mengabaikan kenyataan bahwa huruf-huruf yang saya baca atau tuliskan terlihat dobel garis-garisnya.

Di tahun-tahun terakhir saya berkuliah di UI, 1991-1993, saya mulai sering mengenakan kacamata, terutama karena cewek yang sedang saya dekati menyukai cowok berkacamata. Tetapi kalau kini saya tidak bisa lepas dari kacamata adalah karena teknologi terkini telah mampu membuat kacamata yang tidak saja tampak keren tetapi juga nyaman dikenakan.©2025

 

Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 7 Oktober 2025

Monday, October 6, 2025

Pembukaan Sekeluarga

SATU saudara Subud menyampaikan kepada saya bahwa ia berharap semua saudara-saudara kandungnya maupun orang tuanya masuk Subud, agar ia tidak perlu sendirian menanggung “warisan” leluhurnya yang harus ia bersihkan. Saya pun memiliki harapan yang sama, tetapi kami menyikapi harapan itu sebagai sebuah lelucon belaka. Karena “pembersihan diri ditanggung bersama oleh seluruh anggota keluarga” tidak ada dalam kamus Subud.

Di Indonesia, kekeluargaan sangat kuat. Terlihat salah satunya dari kebiasaan mudik (pulang kampung) yang demikian marak menjelang Idulfitri, hingga pemerintah pun secara serius membuat strategi penyediaan sarana transportasi yang memadai untuk itu. Budaya Indonesia sangat menekankan pentingnya kekeluargaan, yang terlihat dari sistem kekerabatan yang erat dan nilai-nilai seperti kepedulian serta keinginan untuk berbagi dengan sesama.

Dalam berbagai hal, seluruh anggota keluarga Indonesia terlibat meskipun untuk kepentingan perorangan. Prinsip hidup yang dianut orang Indonesia pada umumnya adalah “Keluarga adalah tempat seorang individu berpulang”. Sehingga, meski terkesan tidak mandiri, satu anggota keluarga ketika menghadapi masalah akan mendapat dukungan penuh, baik moril maupun materi, dari seluruh anggota keluarga lainnya.

Hubungan kekeluargaan di Indonesia penting karena berfungsi sebagai fondasi pembentukan karakter dan pendidikan nilai-nilai moral, sosial, dan agama, serta sebagai tumpuan untuk memenuhi kebutuhan dasar, memberikan rasa aman, dan memastikan kesejahteraan anggota keluarga. Selain itu, keluarga merupakan pilar utama pembangunan bangsa dan ketahanan nasional, di mana keluarga yang kuat akan membentuk masyarakat yang kokoh dan penerus generasi yang berkualitas. 

Hubungan kekeluargaan di Indonesia sangat kuat karena dipengaruhi oleh sistem kekerabatan yang erat, nilai-nilai budaya seperti gotong royong dan rasa kepedulian, serta dukungan dari lingkungan masyarakat desa yang interaktif. Warisan budaya dan kebiasaan berbagi serta bekerja sama ini membentuk ikatan kuat antar anggota keluarga dan komunitas, yang menjadi fondasi ketahanan sosial masyarakat. 

Banyak masyarakat Indonesia, terutama di desa, hidup dalam komunitas yang relatif kecil dengan pola pemukiman berdekatan. Hal ini memungkinkan interaksi yang lebih intens dan sering kali mempererat hubungan kekerabatan antar warga, karena mereka biasanya memiliki keturunan yang sama atau hubungan keluarga.

Keterlibatan keluarga besar dalam menopang proses kehidupan anggota individunya dapat dipahami kalau kita menghayati hubungan kekerabatan di Indonesia. Yang menjadi keheranan saya adalah bagaimana keluarga pun dapat terlibat secara penuh dalam aktivitas spiritual salah satu anggotanya, sementara spiritualitas bersifat pribadi, dimana setiap individu memiliki pengalaman, keyakinan, dan cara sendiri untuk mencari makna, tujuan hidup, serta hubungan dengan sesuatu yang lebih besar dari diri mereka sendiri, seperti alam semesta atau kekuatan yang lebih tinggi. Tetapi di Subud Indonesia dalam 15 tahun terakhir muncul fenomena yang unik, dengan bergabungnya satu keluarga secara bersama-sama ke Subud. Mereka melalui masa kandidatan tiga bulan mereka secara berbarengan, dan pembukaannya pun bersifat “pembukaan sekeluarga” pada tanggal dan jam yang sama, hanya berbeda ruangan karena perbedaan jenis kelamin dari ayah, ibu dan anak-anak mereka.

Sebagai sesama generasi pertama Subud di keluarga, saya dapat memahami harapan saudara Subud yang saya ceritakan di atas. Di Subud Indonesia ada lelucon mengenai Subud Turunan (Downhill Subud) yaitu anggota Subud yang berasal dari keluarga Subud, mulai dari kakek-neneknya ke ayah-ibunya, dan Subud Tanjakan (Uphill Subud) yaitu mereka yang merupakan generasi pertama Subud di keluarga masing-masing, seperti saya. Meskipun tidak sepenuhnya benar, dari momen-momen berbagi kami dari kaum Subud Tanjakan terungkap bahwa mereka yang berasal dari Subud Turunan sungguh beruntung, karena kejiwaan mereka “ditopang” oleh para pendahulu mereka yang sudah dibuka dan menerima Latihan. Sedangkan kami yang merupakan generasi pertama mengalami proses kejiwaan yang berat, layaknya mengayuh sepeda di tanjakan yang curam dengan kaki yang belum terlatih untuk itu.

Meskipun bukan sesuatu yang baru, keberadaan anggota bersama sebagian atau seluruh keluarganya tetap menimbulkan kekaguman. Dan meskipun kenyataan itu tidak bisa menjadikan mereka dapat “menanggung bersama” pembersihan leluhur, keanggotaan secara keluarga menciptakan suasana yang berbeda di dalam keluarga serta memperkuat kekerabatan mereka.

Yang saya maksud dalam tulisan ini adalah keluarga yang bukan dari golongan Downhill Subud, melainkan satu keluarga yang kesemuanya masuk Subud pada saat yang sama, dibuka bersamaan waktunya, dan termasuk generasi pertama Subudnya. Di grup Jakarta Selatan khususnya kecenderungan ini cukup signifikan dalam tiga tahun belakangan ini. Saya mengenal secara dekat dua keluarga seperti itu, salah satunya—ayah, ibu dan putri semata wayang mereka—dibuka pada 21 September 2025. Si ayah adalah kakak kandung dari seorang anggota dari Cabang Semarang di Jawa Tengah yang dibuka bertahun-tahun lalu dan merupakan generasi pertama Subud di keluarganya. Sedangkan saat ini, bukan saja si ayah, tetapi juga si ibu dan putri mereka menjadi generasi pertama di keluarga inti mereka.

Menurut cerita Toto (bukan nama sebenarnya), si ayah yang berusia 45 tahun itu, adalah putrinya yang pertama kali minta untuk masuk Subud. Toto sendiri awalnya tidak tertarik, karena dia merasa sudah memahami dunia spiritual melalui pengalaman-pengalaman hidupnya selama ini dan menyamakan Subud dengan teknik-teknik yang dipraktikkannya selama ini. Ketertarikan putrinya pada Subud menyeret keluarga kecil itu kepada seorang pembantu pelatih muda pria dari Cabang Jakarta Selatan, yang memiliki usaha kuliner. Di kafe sang pembantu pelatih, yang terletak 1,1 km dari Wisma Subud Cilandak itu, keluarga kecil yang dikepalai Toto itu kerap melewati waktu luang mereka dengan mengobrol santai dengan sang pembantu pelatih, yang akhirnya semakin menguatkan tekad putri semata wayangnya Toto untuk masuk Subud. Dengan bercanda, si pembantu pelatih mengatakan bahwa ada baiknya Toto dan istrinya mengikuti masa kandidatan tiga bulan itu untuk menemani anak mereka, sekalian mengalami “masa orientasi” bagi calon anggota Subud.

Dalam masa kandidatan itu, terbukalah pikiran Toto bahwa Subud memang benar-benar berbeda dari jalan spiritual yang diakuinya pernah ditempuhnya. Akhirnya, Toto ketularan putrinya dan terus antusias menanti momen pembukaannya. Ia sangat bahagia ketika akhirnya dibuka, pada tanggal dan jam yang sama dengan istri dan putrinya. Kini ia semakin antusias untuk mengetahui lebih banyak tentang Subud melalui pengalaman-pengalaman dengan bimbingan Latihan Kejiwaan.

Kisah sejenis juga diceritakan ke saya oleh kepala keluarga kecil yang dibuka pada tanggal dan jam yang sama. Sang ayah mengetahui tentang Subud dari tetangganya yang sudah dibuka lebih dari satu tahun sebelumnya. Putri mereka pernah secara bercanda berkata ke saya bahwa tiap kali keluarga kecil itu datang ke Wisma Subud, terutama hari Minggu siang, rasanya seperti piknik keluarga.

Mudah-mudahan ke depannya, semakin marak keanggotaan Subud dengan keluarga sebagai platformnya, sehingga dapat diharapkan terjadi saling memotivasi di dalam keluarga untuk rajin Latihan.©2025


Pondok Cabe, Tangerang Selatan, 6 Oktober 2025