Berikut ini adalah catatan komentar yang saya berikan untuk sebuah naskah buku yang berangkat dari sebuah disertasi dokt0ral yang ditulis oleh seorang wanita anggota Subud Vancouver, Kanada, berinisial RM.
SELAMA dua minggu ini saya mengerjakan penyuntingan dua bab naskah Anda, hanya sebatas membuat kalimat-kalimat panjang jadi singkat dan padat yang juga efektif (bagi pembaca), serta menambahkan keterangan yang saya ambil dari Kata Pengantar saya. Saya merasa naskah itu akan jauh lebih baik ditulis ulang dengan gaya yang “secara akademis populer” terutama bagi generasi pembaca dewasa ini, meski kalangan pascasarjana sekalipun.
14 Oktober lalu, saya diundang oleh Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia untuk menjadi moderator dalam diskusi terpumpun (focus group discussion) antara para sejarawan akademik dengan para sineas, untuk mewujudkan perintah Presiden mengenai apa yang belakangan ini viral (dan cenderung dipelintir oleh pers lebih karena ketidaksukaan subjektif terhadap Presiden Prabowo Subianto dan Menteri Kebudayaannya): Penulisan ulang sejarah nasional.
Pada acara tersebut, Menteri Kebudayaan, yang kebetulan adalah yunior saya di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia dan dia sendiri juga M.Sc dari London School of Economics and Political Sciences dan Ph.D dari Departemen Sejarah Universitas Indonesia, dalam arahannya menyebutkan mengapa sejarah Indonesia kontemporer, di ranah akademik maupun publik/populer, harus ditulis ulang. Karena, menurutnya, penulisan/pengkomunikasian kajian sejarah warisan zaman Orde Baru penuh dengan glorifikasi tokoh, kelompok politik tertentu, atau gagasan, yang sekarang sudah tidak cocok, apalagi di kalangan generasi Milenial yang merasa buku-buku teks akademis SANGAT MEMBOSANKAN, penuh kalimat-kalimat yang tidak mengantarkan pada kejernihan serta tidak membangkitkan motivasi untuk pencarian referensi lebih lanjut.
Menteri minta kepada para sejarawan akademik yang hadir pada diskusi terpumpun itu (semuanya doktor ilmu sejarah dan humaniora) untuk belajar menulis laiknya para wartawan, yang mampu menulis secara populer tetapi tidak menghilangkan kaidah ilmiahnya. Limabelas tahun belakangan ini di Indonesia tren kajian sejarah dan ilmu sosial memang dilakukan oleh mereka yang tidak memiliki latar belakang akademis dalam kedua disiplin ilmu itu, semata karena kalangan pembacanya tidak suka yang terlalu “berat” (termasuk para pembaca yang berstatus mahasiswa pascasarjana).
Saya amati adanya perkembangan-perkembangan terbaru di kampus-kampus terkemuka di Indonesia, dimana teknologi informasi memainkan peran yang signifikan. Dahulu, ketika saya masih kuliah, satu-satunya saluran penyampaian hasil penelitian akademis atau ilmiah adalah karya tulis (skripsi, tesis, disertasi, artikel di jurnal ilmiah). Kini, ada beberapa universitas di kota-kota besar di Indonesia yang membuka pintu lebar-lebar bagi kebebasan berkarya melalui multimedia: Hasil penelitian boleh dipublikasikan melalui film dokumenter pendek yang menghibur, presentasi audio-visual, animasi, novel, serta buku-buku nonfiksi yang dapat dibaca oleh berbagai kalangan—tidak berat bagi pembaca awam, dan tidak pula dianggap remeh oleh pembaca dengan aras pengetahuan setara pascasarjana.
Hari Jumat lalu (24 Oktober), saya bertamu ke rumah Stuart Cooke. Tanpa memberitahu nama Anda dan naskah yang Anda tulis, saya bercerita kepadanya masalah sebuah naskah yang sedang saya edit, dan penerimaan saya bahwa naskah tersebut harus ditulis ulang total dan ditulis dengan gaya yang akrab di pembaca dewasa ini.
Menanggapi cerita saya, Stuart pun menceritakan pengalamannya yang mirip dengan saya: Dia pernah diminta untuk mengedit naskah buku yang tebal karya seorang ahli ekonomi yang jenius. “Tulisan dia tidak fokus, penjelasannya lari ke mana-mana, seolah semua yang dia ketahui, meskipun tidak relevan, ingin dia paksakan untuk dimasukkan ke bukunya. Kalimat-kalimatnya juga bertele-tele. Tapi saya tidak peduli, saya buang semua yang tidak perlu. Alhasil, dari naskah yang sangat tebal tersisa hanya puluhan halaman. Teman saya, yang menjadi perantara saya dengan si penulis, bilang ‘Wah! Dia akan tidak suka bila karyanya kamu pangkas habis seperti ini.’ Saya katakan padanya, ‘Kalau begitu, biarkan saya yang tulis ulang.’,” tutur Stuart.
Menurut saya, R., kalau Anda tetap mempertahankan naskah itu dengan gaya seperti di disertasi Anda saya rasa Anda tidak perlu menerbitkannya sebagai buku, tetapi biarkan sebagai disertasi saja, toh akan disimpan di perpustakaan kampus dan pasti kelak menjadi referensi bagi peneliti-peneliti dengan subjek yang sama.
Saya perhatikan topik bahasan dalam naskah Anda bertitik tolak dari pertemuan yang diharmoniskan oleh Anda antara pemikiran Timur dan Barat. Bukankah itu sedikit banyak merepresentasi diri Anda yang melalui kedua orang tua Anda membentuk percampuran budaya (Eropa dan Masyarakat Adat)? Jika saya jadi Anda, saya akan menulis pembukaan buku saya dengan kisah hidup saya—bahwa keberadaan saya saat ini merupakan hasil dari proses pertemuan dua kutub dan percampuran budaya; bahwa sejarah telah membuktikan bahwa dua hal yang berlawanan prinsip bisa berjumbuh untuk mencapai kebermanfaatan. Sehingga sejatinya gagasan Timur bisa berkelindan dengan empirisme Barat.
Menurut hemat saya, tidak apa jika Anda menyebutkan bahwa familiaritas Anda dengan Zat, Sifat, Asma, Af'al (ZSAA) bertolak dari keterlibatan Anda di Subud. Ceritakan sedikit tentang Subud dan tentang Muhammad Subuh serta bahwa latar belakang beliau dengan Sufisme telah membuat sejumlah gagasan dan terminologi Sufisme “dipinjam dengan elaborasi tertentu” oleh Muhammad Subuh dalam ceramah-ceramah beliau, semata untuk menjelaskan yang tidak kasatmata, seperti energi keberadaan, misalnya, yang digunakan dalam konteks metafisika, spiritual, dan filsafat Timur untuk merujuk pada prinsip fundamental yang mendasari dan memberi daya pada semua realitas.
Dalam bab-bab selanjutnya, alangkah menariknya jika ditampilkan studi-studi kasus atau kisah pengalaman hasil pengamatan sehari-hari yang dapat membangun fondasi persepsi pada pembaca bahwa ZSAA memang dapat diaplikasikan dalam berbagai aspek kehidupan modern, termasuk pendidikan. Tidak perlu lagi bahasan panjang lebar dan bertele-tele yang teoritis. (Saya jadi ingat nasihat Bapak kepada Varindra Vittachi agar anggota Subud menuliskan pengalaman, jangan teori.)
Anda mencantumkan begitu banyak
referensi yang menurut saya seharusnya dipindah ke halaman paling belakang
dengan judul “Disarankan untuk Pembacaan Lebih Lanjut”. Tahukah Anda bahwa
pembaca Milenial gampang sekali terdistraksi oleh teks yang bertele-tele?
Akibatnya, mereka lebih suka visual dan karena itu kehidupan mereka didominasi
oleh platform media sosial dan smartphone
yang sarat interaksi visual ketimbang tekstual. Nah, generasi itulah yang
sekarang mengisi semua level akademis di perguruan tinggi. Suka atau tidak
suka, buku-buku sarat teks mulai diabaikan.©2025
Pondok Cabe Ilir,
Pamulang, Tangerang Selatan, 26 Oktober 2025
No comments:
Post a Comment