MENONTON film “Napoleon” di Metropole XXI, Jl. Pegangsaan Barat No. 21, Jakarta Pusat, bersama satu rekan alumnus Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FSUI), Pandji Kiansantang (Kenny), Selasa, 19 Desember 2023, lalu membangkitkan kenangan saya ketika masih kecil (duduk di bangku sekolah dasar) diajak orang tua saya mengunjungi lokasi asli Pertempuran Waterloo di Brussel, Belgia. Saat itu, saya dan saudara-saudara kandung saya serta kedua orang tua saya tinggal di Belanda.
Lokasi
Pertempuran Waterloo telah berubah menjadi museum udara terbuka, dengan
beberapa bangunan memberi akses kepada publik untuk melihat displai artefak-artefak
dari pertempuran bersejarah itu. Salah satu bangunan yang saya kunjungi adalah “Panorama de la Bataille de Waterloo”, sebuah rotunda—bangunan dengan
bentuk melingkar yang beratapkan kubah. Bangunan neoklasik ini terletak tepat di
sebelah utara Busut Singa (Lion’s Mound)
di medan tempur Pertempuran Waterloo yang kini berada di wilayah kotamadya
Braine-l’Alleud di provinsi Walloon Brabant, Belgia.
Busut Singa itu merupakan sebuah bukit kecil berbentuk kerucut yang berpucuk sebuah patung singa. Kabarnya, busut itu dibuat dari tanah yang diambil dari medan tempur Pertempuran Waterloo, sedangkan topografi asli dari medan tempur itu sendiri sekarang sudah tidak seasli yang dapat dilihat pada masa itu dan beberapa tahun sesudahnya. Adalah Raja William I dari Belanda yang memerintahkan pembangunannya pada tahun 1820, dan selesai pada tahun 1826. Busut Singa menandai titik di medan tempur Waterloo di mana putra sulung raja, Pangeran Oranye, diperkirakan terluka pada tanggal 18 Juni 1815, serta merupakan medan Pertempuran Quatre Bras yang terjadi dua hari sebelumnya.
Berada di dalam Panorama membuat bulu kuduk saya berdiri. Bangunan itu menyimpan lukisan panorama monumental yang menggambarkan Pertempuran Waterloo. Saya merasa diri saya berada di tengah pertempuran dahsyat yang melibatkan sekitar 193.000 tentara (73.000 di pihak Napoleon dan 120.000 di pihak Duke of Wellington) itu.
Betapa
tidak, peragaan tiga dimensi itu menampilkan lukisan cat minyak sejumlah 14 panel kanvas yang
menggambarkan beberapa episode berbeda dari Pertempuran Waterloo pada tahun
1815, yang berkonsentrasi pada serangan kavaleri Prancis. Elemen fisik di depan
lukisan, termasuk potongan sosok, pagar, dan mayat para prajurit yang gugur
yang terbuat dari plester dan papier mache, menyamarkan tepi bawah
lukisan dan meningkatkan kualitas keterlibatan audiens di dalam pameran itu—sebagaimana
yang saya alami.
Peragaan
tiga dimensi itu diterangi dari atas oleh cincin lampu kaca di sekeliling tepi
atap berbentuk kerucut dan pengunjung dapat melihat peragaan dari platform
setinggi 5 meter di tengah rotunda. Hal itu menambah sensasi kepada setiap
pengunjung Panorama. Tidak mengherankan jika saya masih mengingat detailnya
hingga kini.©2023
Pondok Cabe,
Tangerang Selatan, 22 Desember 2023
No comments:
Post a Comment