PERTANYAAN yang paling sering diajukan ke saya terkait dengan keaktifan saya di Subud, baik oleh saudara Subud maupun orang-orang non Subud, adalah: “Apa yang membuatmu masuk Subud?”
Selalu saya bingung menjawabnya. Saya tidak pernah punya keinginan atau niat sebelumnya untuk masuk Subud. Bahkan saya tidak tahu Subud sebelum satu mitra kerja saya di Surabaya dahulu memperkenalkan saya ke Subud. Saya tidak pernah tertarik pada spiritualitas—walaupun pengalaman-pengalaman saya dengan religiusitas atau praktik agama saya mengarah pada fenomena-fenomena yang kerap didapuk sebagai “spiritual”.
Mitra kerja yang saya ceritakan di atas pernah bertanya ke sahabat saya yang juga rekan saya di biro iklan Surabaya dimana kami bekerja, mengapa sahabat saya itu tidak pernah mengajak saya berdiskusi perihal spiritualitas, yang sebaliknya ia bagi ke mitra kerja saya. “Ah, Anto nggak tertarik spiritual, Mas,” jawab sahabat saya. Mitra kerja saya itu kelak, setelah saya menjalani masa kandidat tiga bulan di Subud Cabang Surabaya, saya ketahui merupakan seorang pembantu pelatih (helper) di cabang tersebut.
Selama saya ngandidat, hampir tiap hari pula saya bertemu si mitra kerja cum pembantu pelatih itu, karena saya bekerja sebaga freelance copywriter di biro iklan miliknya. Jadi, bisa dibilang saya ngandidat setiap hari selama tiga bulan. Mitra kerja saya ini menerangkan berbagai aspek dari Latihan Kejiwaan Subud melalui pekerjaan-pekerjaan yang saya lakukan, tantangan-tantangan yang saya hadapi dalam melakukan suatu pekerjaan. Isinya hanya praktik langsung, tidak ada teori tentang “bagaimana”-nya. Dia tidak secara spesifik menyebut “Latihan Kejiwaan” atau “Subud”, melainkan menyelipkan pesan agar saya dalam keadaan apa pun senantiasa sabar, tawakal dan ikhlas.
Masa tiga bulan saya sebagai kandidat anggota Subud diwarnai oleh kesaksian saya pada kehidupan mitra kerja saya yang jungkir-balik oleh kenyataan-kenyataan pedih dicerai istri, kehilangan hak asuh atas putri tunggalnya, perusahaannya di ambang kebangkrutan, ditekan dan diancam oleh debt collector karena dia tidak lagi punya uang untuk membayar hutang-hutangnya, ditendang keluar dari rumah kontrakan yang sudah ia tempati selama 12 tahun, kehilangan klien-kliennya sehingga dengan sendirinya juga kehilangan sumber nafkahnya.
Dipaksa oleh keadaan untuk menyaksikan itu semua, kesungguhan saya untuk masuk Subud tak jarang dipertanyakan oleh mitra kerja cum pembantu pelatih saya itu. Dan saya tidak tahu mengapa saya tetap teguh untuk meneruskan masa kandidat tiga bulan itu. Mungkin ini yang disebut “panggilan”. Seperti halnya kita jatuh cinta pada seseorang yang kita tidak pernah tahu alasannya. (Kalau kita tahu alasannya, maka itu bukan jatuh cinta namanya, melainkan infatuasi/jatuh hati atau sekadar mengagumi.) Saya bergeming pada setiap apa yang saya saksikan pada kehidupan mitra kerja saya pada saat itu. Kalau bukan panggilan, pastinya saya sudah membatalkan niat saya untuk masuk Subud.
Dengan semua kepedihan hidup yang
dilalui mitra kerja saya, yang juga saya alami dalam rasa dan raga saya, saya
tak mundur satu langkah pun dari Subud. Saya meneruskan masa ngandidat hingga dibuka, dan hingga kini masih
terus rajin dan tekun berlatih kejiwaan. Itulah kalau sudah menjadi panggilan!©2023
Pondok Cabe,
Tangerang Selatan, 14 Desember 2023
No comments:
Post a Comment