Saturday, November 13, 2010

Hal-Hal yang Tak Terjelaskan

“Sebagai manusia, kita mempunyai masalah dalam bercerita. Kita ini sering terlalu cepat memberi penjelasan untuk hal-hal yang sebenarnya tak terjelaskan.”

~Malcolm Gladwell, Blink: Kemampuan Berpikir Tanpa Berpikir (Jakarta: Gramedia, 2009)

 

“Pemerian apa pun, betapa pun mendalamnya, hanya merupakan pendangkalan sebuah kebenaran yang tidak bisa terucapkan.”

~M. Alphonse Ratisbonne

 

SEPANJANG 15 tahun (1995-2010) karier saya di industri komunikasi, khususnya periklanan, sudah tak terhitung berapa kali saya menjumpai klien-klien yang memiliki selera tertentu dalam menentukan mana dari beberapa alternatif konsep iklan yang saya dan tim ajukan yang akan dipakai untuk mengomunikasikan merek mereka. Dalam khasanah kreatif periklanan terdapat sejumlah prinsip atau hukum yang membantu kreator dalam memastikan mana iklan yang bagus, dan mana yang tidak. Saya memiliki beberapa literatur di rak buku saya yang menjelaskan itu, dan nyaris menjadi pedoman saya andaikata saya tidak pernah berhadapan dengan kenyataan bahwa dalam seluk-beluk penciptaan iklan pun terdapat hal-hal yang tak terjelaskan.

Apakah iklan cetak dengan headline yang kuat dan sinkron dengan visual yang tepat serta gagasan besar yang cemerlang yang dapat disebut iklan yang hebat (great ad)? Pada sebagian besar kasus memang demikian, tetapi tidak berarti hal itu selalu dapat dijadikan patokan. Kadang ada klien yang tidak mempertimbangkan hal itu. Tanpa memberikan penjelasan, si klien bisa saja memilih desain iklan yang menurut tim kreatornya malah digolongkan sebagai “tidak tepat” atau tidak diunggulkan. “Ya, saya suka saja,” jawab si klien jika didesak untuk memberi alasan memilih desain iklan tersebut. Ada pula klien yang tidak menyukai sebuah desain iklan lantaran visual iklan itu didominasi warna hitam, abu-abu dan kuning, sedangkan klien gemar akan warna biru laut—tanpa alasan yang jelas.

Tidak semua hal perlu penjelasan. Bahkan kenyataan dalam hidup ini membuktikan bahwa banyak sekali hal yang tak terjelaskan, dan pada dasarnya memang tidak memerlukan penjelasan. Apalagi bila berurusan dengan rasa. Rasa konon mendorong selera. Penjelasan membutuhkan kata, sedangkan rasa melampaui bahasa. Rasa itulah sisi misteri pada setiap kita, yang akan turun nilainya apabila dijelaskan dengan kata-kata.

Kawan saya, seorang laki-laki yang, maaf, buruk rupa. Tetapi istrinya kok ya sangat rupawan. Saat teman-temannya bertanya dalam canda kepada sang istri mengapa ia memilih kawan saya sebagai suaminya, perempuan cantik itu hanya mengangkat bahu. Ada hal-hal yang tak terjelaskan. Kalau dipaksa malah keluar kata-kata klise: ia baik, pengertian, bertanggung jawab, dan lain sebagainya yang mencitrakan kepribadian yang positif. Dan jika hal itu dijadikan patokan, coba deh pertimbangkan karakter kawan saya yang lain: buruk rupa, pengangguran, pecandu narkoba, dan suka main perempuan. Dengan landasan berpikir yang umum dan “normal”, kita akan bertanya-tanya atau malah menghakimi, tidak akan ada perempuan yang jatuh cinta padanya. Ternyata tetap ada, yaitu istrinya, yang mewujud sosok yang berparas menawan. Mungkin perempuan itu punya visi dan misi tertentu dengan menjadi istrinya, entah harapan bahwa suaminya akan berubah, paling tidak meninggalkan kebiasaan-kebiasaan buruknya, atau apalah. Sifat selera ya seperti itulah—tidak jelas.

Tahun 2003 lalu, British Council menggelar event pemutaran 12 film independen garapan industri film Inggris. Disponsori oleh sebuah merek permen cokelat, film-film tersebut diputar di Jakarta, dengan penonton berjubel dan tiket habis terjual. Ketika diputar di Bandung dan Yogyakarta tidak semua dari ke-12 film tersebut dapat diterima oleh pasar penikmat film di kedua kota itu. Dan ketika diputar di Surabaya, hanya segelintir mahasiswa dari klub-klub sinematografi kampus yang berminat. Biarpun disodori permen cokelat gratis dan harga tiket yang tergolong sangat murah (Rp2.000), tetap saja orang-orang Surabaya yang kebetulan sedang berada di salah satu bioskop di kota tersebut tidak berminat. Keesokan harinya, muncul beritanya di sebuah koran nasional, bertajuk “Selera Konsumen Surabaya Tidak Jelas”. Kesuksesan di kota-kota besar lainnya rupanya tidak bisa dijadikan patokan bahwa event itu bakal sukses di Surabaya, kota terbesar kedua di Indonesia.

Tak dipungkiri bahwa hal-hal yang tak terjelaskan mewarnai hidup kita. Kita hanya bisa berasumsi mengenai alasan-alasannya, yang sebisa mungkin bersifat masuk akal. Yang paling sering dilakukan adalah menuding sumber lain atau mengembalikan kepada yang umumnya disebut “tuhan”. Saya tidak tahu, mereka yang ateis bakal mengembalikannya kepada siapa atau apa, tetapi mereka yang percaya karma cenderung mengembalikannya kepada diri mereka sendiri: siapa berbuat, dia yang menerima akibat.

Jadilah kita ini makhluk yang hidup di alam yang menawarkan hal-hal yang tak terjelaskan. Dan untuk dapat hidup secara nyaman dengan kenyataan ini, tak ada cara lain selain menyambutnya sebagai bagian yang terpadu dengan dinamika hidup kita sebagai manusia, dengan perasaan sabar, merelakan (let go) dan yakin bahwa segala sesuatunya akan baik-baik saja.©2010

 

Mampang Prapatan dan Cilandak Barat, Jakarta Selatan, 13 November 2010, pukul 16.13 WIB


No comments: