Friday, November 12, 2010

Tidak Ada Sekolahnya

 “Pengalaman adalah guru yang paling baik.”

~Ungkapan populer

 

“Satu hal yang bisa kita pelajari dari sejarah adalah bahwa kita tidak memetik pelajaran dari sejarah.”

~Joseph Bulgatz

 

PROFESI saya—copywriter, bagi mereka yang memahami, acapkali mengundang decak kagum. Pasalnya, bidang ini tidak ada sekolahnya. Mereka yang menekuni copywriting bahkan memiliki latar belakang pendidikan yang beragam. Saya sendiri kuliah di Jurusan Sejarah FSUI (Fakultas Sastra Universitas Indonesia; sekarang bernama Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI, atau FIBUI), dimana tidak diajarkan teknik menulis naskah iklan, naskah audio-visual, dan lain-lain yang terkait dengan bidang copywriting maupun dunia kerja periklanan.

Meski dipandang cukup “menyerempet”, jurnalistik pun tidak bisa dijadikan modal untuk menjadi hebat dalam copywriting. Pernah saya ditanya dalam wawancara kerja di sebuah lembaga swadaya masyarakat, ke mana saya melamar sebagai editor, beda antara copywriter dan jurnalis. Saya pun menjelaskan bahwa jurnalis itu cenderung mengelaborasi (memperluas) atau memanjanglebarkan sesuatu yang kecil atau sepele, sedangkan copywriter piawai dalam mengecilkan atau mengerucutkan sesuatu yang panjang-lebar. Informasi setebal buku telepon bisa dikerucutkan sedemikian rupa hingga menjadi satu pesan tunggal (single message) yang terdiri dari beberapa kata saja.

Ada kawan saya, mantan wartawan yang pernah menjadi copywriter. Dalam menyampaikan pesan merek/produk dalam sebuah iklan cetak ia hampir selalu (jika tidak ditegur art director-nya) menulis kepala naskah yang panjang dan membosankan serta badan naskah yang cocoknya dijadikan artikel media cetak. Selama karirnya sebagai copywriter, yang akhirnya tidak ia lanjutkan, ia tergolong hebat dalam menulis advertorial (advertising editorial) yang mirip artikel di koran atau majalah, tetapi bercerita tentang produk, tinimbang menulis naskah untuk iklan cetak atau berkonsep kreatif. Pendek kata, para copywriter andal merupakan “keturunan yang berbeda” (different breed).

Sebaliknya dengan mitra copywriter dalam pembadaian otak (brainstorming) dan berkreasi, yaitu para art director (pengarah artistik). Lembaga pendidikan yang menelurkan bibit-bibit pecinta visual itu menjamur di negeri ini, yaitu sekolah-sekolah desain grafis atau desain komunikasi visual (DKV atau Deskomvis), mulai dari perguruan tinggi bergengsi seperti Institut Teknologi Bandung (ITB) lewat Fakultas Seni Rupa dan Desain-nya dan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta dengan Jurusan Deskomvis-nya, hingga kursus-kursus setara D1 Desain Grafis dan Multimedia di sekolah-sekolah tinggi ilmu komputer, yang membuat saya bertanya-tanya, apakah seluruh aspek dari spektrum komunikasi yang sedemikian luas dapat diajarkan dalam waktu sedemikian singkat?

Sesungguhnya, tidak semua aspek dari segala sesuatu dapat disampaikan di sekolah. Biarpun Anda kuliah desain grafis sampai menggondol gelar doktor, ada satu aspek yang tidak bisa atau sulit Anda kuasai dalam waktu singkat, apalagi bila Anda jarang berinteraksi dengan lingkungan dan hanya berkutat dengan buku teks. Aspek itu bernama “kreativitas”. Banyak mahasiswa dari sekolah-sekolah periklanan atau desain grafis yang magang di agensi-agensi tempat saya bekerja dulu tidak memiliki spirit kreatif pada diri mereka. Waktu mereka tersita untuk mempelajari peranti keras dan lunak untuk keperluan desain. Pada dasarnya, generasi perancang grafis dewasa ini sangat melek teknologi, tetapi miskin ide dan sangat lemah dalam berkonsep, sedangkan desain yang mereka kerjakan adalah untuk kepentingan komunikasi merek kepada pemirsa-pemirsa sasaran (target audience) tertentu, yang memerlukan strategi komunikasi yang kreatif dan komunikatif.

Banyak sekali hal yang tidak diajarkan lembaga pendidikan formal. Tetapi bukan berarti sekolah tidak penting; sekolah tetap perlu, karena di situ kita membangun intelektualitas dan berinteraksi sosial dengan lingkungan. Sekolah memperkenalkan kita dengan kemungkinan-kemungkinan yang ada dalam kehidupan, tetapi untuk membuat kita siap menghadapi tantangan kehidupan tidak ada sekolahnya. Dalam hal memanifestasi segala potensi yang kita miliki, hal membangunkan mentalitas kewirausahaan yang berlandaskan kelincahan (agility), fleksibilitas menghadapi perubahan, serta kreativitas dan keberanian untuk bertindak kreatif, semua itu tidak ada sekolahnya. Tidak ada teori yang terkait dengan semua itu.

Kecenderungan yang ada membuktikan bahwa kita belajar dari pengalaman yang telah kita alami dan rasakan. Pepatah mengatakan, “Hanya keledai yang terperosok dua kali ke dalam lubang yang sama.” Rasanya, pepatah ini perlu kita renungkan lebih dalam lagi. Kita tidak akan pernah bisa pandai jika ternyata sebuah pengalaman pahit tidak bisa menjadi sebuah pelajaran.

Saya pernah menjadi fasilitator dalam lokakarya untuk pengembangan mentalitas kewirausahaan di sebuah perguruan tinggi. Alhasil, saya hanya berbagi pengalaman saja, lantaran para peserta, yang sebagian besar merupakan dosen bergelar S2 dan S3, telah menguasai semua teori tentang psikologi transformasi atau spiritualitas pertumbuhan (growth spirituality) tetapi bingung mempraktikkannya dalam kehidupan nyata, dalam melakoni wirausaha. Dari pengalaman itu, saya berkesimpulan, bahwa hidup ini merupakan sekolah yang terbaik; dengan mengalaminya, hadir sepenuhnya saat ini, dengan menikmati setiap momennya, dengan menghadapi segala permasalahannya dan menuntaskan permasalahan itu dengan kesadaran penuh. Pada akhirnya, apa lagi yang bisa kita perbuat selain bersyukur atas segala karunia yang dianugerahi hidup?©2010

 

Pondok Jaya, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, 12 November 2010, pukul 10.15 WIB

No comments: