Tuesday, November 2, 2010

Sesuai Dengan yang Ditanam

 “Produk dibuat di pabrik. Merek dibuat di benak orang.”

~Walter Landor (1913-1995)

 

“Kamu menjadi seperti yang kamu pikirkan.”

~Buddha Gautama

 

PEMAHAMAN pertama yang saya terima dari pengalaman bertahun-tahun membangun merek (brand-building) bagi produk atau jasa yang ditawarkan klien-klien saya selaku pemasar (marketer) bukanlah bagaimana mengkomunikasikan merek-merek tersebut agar konsumen sadar (aware) akan mereka. Menurut saya, tahap itu bahkan jauh lebih mudah daripada tahap ketika kita mesti merumuskan visi merek tersebut: Mau jadi apa dan ke mana arahnya?

Rekan saya, seorang dosen periklanan di sebuah universitas swasta di Jakarta, telah menyederhanakan formula ekuitas merek lewat akronim AQAL—Awareness, perceived Quality, Association, Loyalty. Saya menambahkan dengan unsur “N” di awal perjalanan pembentukan ekuitas merek, yang merupakan singkatan dari Naming (penamaan), yang merupakan tahap di mana sebuah produk masih berupa bayi yang baru lahir ke dunia. Biarpun tidak terlalu esensial, nama perlu diberikan untuk menciptakan kesan pertama. Sebagaimana yang dipersepsikan masyarakat kita, tidak pantas seorang penjahat kambuhan menyandang nama yang menyiratkan seorang alim ulama. Teman saya semasa sekolah menengah atas bernama “Syarif Hidayatullah”, tetapi kelakuan nakalnya membuat kami, teman-teman sekelasnya, memandang bahwa nama itu tidak cocok baginya.

Saya dan rekan tersebut di atas pun merumuskan bahwa selagi bayi, produk harus NAQAL (baca: nakal) untuk bisa meraih predikat sebagai “merek”, sedangkan merek harus punya AQAL (akal). Strategi komunikasinya disesuaikan dengan aras di mana sebuah merek berada; apakah membangun kesadaran akan dirinya (awareness), menciptakan kualitas yang dipersepsikan (perceived quality), membentuk keterkaitan (association: “Ingat merek ini, ingat apa?”) atau telah mendapatkan dukungan kesetiaan (loyalty) dari pasar sasaran.

Belajar tentang dan melakoni secara empirik pengelolaan merek (brand management) telah membawa saya kepada pemahaman akan hukum alam bahwa segala sesuatu dalam hidup ini tumbuh dan berkembang berdasarkan pola yang sesuai dengan yang ditanam pertama kali. Apabila sejak kali pertama yang ditanam adalah keburukan, dipupuk dan disirami dengan keburukan, maka akan menghasilkan buah yang buruk. Begitu pula sebaliknya. Ini bukan fenomena ajaib dan bersifat gaib, melainkan sesuatu yang alami dan ada landasan logis ilmiahnya. Makanya, penting bagi kita untuk merumuskan terlebih dahulu, kita mau jadi apa dan mengarah ke mana perjalanan kita.

Sistem pendidikan kita kepalang dibangun di atas fondasi penilaian atau tolok ukur tertentu, yang sebenarnya semu, bahkan tidak perlu. Percaya atau tidak, kita sebenarnya bisa menjadi apa saja yang kita inginkan. Semua itu tergantung pada pola pikir kita, yang lantas memandu perjalanan kita dari saat ini ke depan. Yang membuat hal simpel ini menjadi berantakan, menurut pakar kreativitas stimulatif Roger von Oech, dalam bukunya yang berjudul Whack—Pukulan untuk Merangsang Kreativitas dan Ide Baru (Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer, 2008), adalah sistem pendidikan kita (utamanya di Barat, yang menjadi fokus pengkajian Dr. Von Oech dalam buku tersebut) yang memuja pemeringkatan (ranking) dan penghargaan semu. Apa iya rapor atau indeks prestasi yang mematok masa depan Anda? Sistem itu mengabaikan hakikat bahwa manusia senantiasa mengalami perubahan dalam sikap dan perilaku, yang dipengaruhi, antara lain, oleh lingkungan dan budaya.

Saya merupakan salah satu korban dari sistem tak berdasar itu. Kondisi edukatif saya dari kelas satu sekolah dasar sampai kelas tiga sekolah menengah atas diukur (dan dihakimi) berdasarkan indeks prestasi dan pemeringkatan yang sama sekali tidak manusiawi. Pemeringkatan itu seakan menandaskan bahwa sekalinya saya bodoh, maka selamanya saya bodoh. Tidak sedikit orang yang berkembang sesuai dengan yang ditanam di benak mereka pertama kali: jika bibit kebodohan, maka bahkan mereka sendiri akan selamanya menganggap diri mereka bodoh, sehingga sulit tumbuh dan berkembang. Pola pikirnya telah berurat berakar dalam diri mereka, memengaruhi pola hidup dan cara pandang mereka terhadap kehidupan. Dan begitu juga sebaliknya. Untungnya, secara pribadi saya mencamkan pada diri sendiri bahwa saya akan berhasil; bahwa bukan saya yang bodoh, melainkan indeks prestasi dan pemeringkatan itu yang kelewat tolol dalam menilai saya.

Perjuangan untuk mempertahankan persepsi itu pada diri saya sungguh berat, lantaran bahkan kedua orang tua, saudara-saudara maupun lingkungan saya pun telanjur percaya pada kesaktian pemeringkatan dan indeks prestasi yang dirilis sekolah. Kepercayaan mereka sempat menggoyahkan keyakinan saya: jangan-jangan mereka benar, saya memang bodoh sebagaimana vonis para jaksa pemeringkatan.

Akibatnya, mereka semua tercengang, setengah percaya, dan ragu tatkala mengetahui bahwa saya dua kali berturut-turut diterima di perguruan tinggi negeri bergengsi lewat jalur Sipenmaru (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru) tahun 1986 dan 1987 yang sangat kompetitif!

Selanjutnya, saya terus mempertahankan pola pikir yang positif bahwa saya akan mampu menerabas semua tantangan yang menghadang di perjalanan hidup saya. Pola pikir itu yang tertanam di benak saya ketika pada tahun 2008 saya menerima pekerjaan penulisan laporan tahunan (annual report) pertama saya. Tidak tanggung-tanggung, pesanan datang dari perusahaan-perusahaan dengan nama besar, sedangkan saat itu nama saya masih tergolong kecil di dunia penulisan laporan tahunan—yang penulisnya harus memiliki kualifikasi khusus; bukan sebagai copywriter, melainkan public relations writer. Saya berhasil melewatinya dengan baik. Bahkan salah satu laporan tahunan yang saya garap penulisannya pada tahun itu berhasil memperoleh tempat kedua di ajang ARA (Annual Report Award) untuk kategori non-listed company. Tidak buruk bagi seorang pemula!

Ketika sejumlah relasi saya yang memiliki gelar akademis berderet, juga klien-klien saya yang rata-rata berpendidikan luar negeri, menyatakan bahwa saya merupakan pribadi yang kaya pengetahuan dan jenius, saat itulah saya yakin bahwa kehidupan kita tumbuh dan berkembang sesuai dengan yang ditanam di benak kita.©2010

 

Pondok Jaya, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, 2 November 2010, pukul 4.35 WIB

No comments: