Tuesday, October 26, 2010

Bekerja Dengan Cinta


“Setiap hal kecil yang kita lakukan dengan cinta pasti akan memberi hasil yang lebih baik.”

—Anonim

“Kamu bisa hidup di jalanan, kamu bisa menguasai seluruh dunia/Tapi kamu tidak punya arti/Apa yang kamu dapatkan, kalau kamu tidak punya cinta…/Kalau kamu tidak punya cinta, buat apa kita melakukannya...”

“What Do You Got”, Bon Jovi, 2010



Memasuki gerbang tol Cikampek, dalam perjalanan dari Jawa Tengah kembali ke Jakarta, kawan saya memberi tebakan ke saya: Pekerjaan apa yang paling tidak kreatif? Saya berpikir keras. Apa gerangan pekerjaan yang tidak ada unsur kreativitasnya? Saya benar-benar tidak tahu.


“Penjaga pintu tol,” kata kawan saya. “Itu pekerjaan paling tidak kreatif, cuma duduk saja, membagi-bagikan karcis masuk tol.”


Tentu saja saya membantah anggapan itu. Setiap pekerjaan, halal atau tidak, disadari atau tidak oleh pelakunya, pasti ada unsur kreativitasnya. Dalam prosesnya, suatu pekerjaan pasti menuntut pelakunya untuk mencari atau menciptakan cara-cara yang memudahkannya atau membantunya untuk membuat perubahan pada kerja atau caranya bekerja. Penjaga pintu tol mungkin akan memasang tape di gardunya agar ia bisa mendengarkan musik, yang pada gilirannya akan menaikkan semangat kerjanya. Itu saja sudah merupakan tindakan kreatif.


Menurut hemat saya, kreativitas dalam bekerja hanya merupakan hasil (outcome) dari rasa cinta yang kita tumbuhkan tatkala melakukan pekerjaan. Melakukan pekerjaan dengan cinta berbeda dengan mencintai pekerjaan, yang berkonotasi negatif, lantaran mengesankan workaholic, yang tidak saja merugikan diri sendiri, tetapi juga orang lain, utamanya keluarga.


Bekerja dengan cinta cenderung menyemburatkan nilai-nilai positif, seperti kualitas, kerja tim, profesionalisme dan kreativitas. Hasilnya bukan hanya berdampak pada diri sendiri, tetapi juga pada lingkungan kerja. Rasa memiliki (sense of belonging) terhadap tempat kerja atau perusahaan akan mengental, karena kita merasa tempat itulah yang memberi kita peluang untuk tumbuh dan berkembang. Kalau sudah begini, konsep ‘bekerja’ pun bergeser ke ‘berkarya’.


Kalau Anda bekerja di sektor jasa, misalnya industri komunikasi pemasaran, yang terkait dengan penyediaan layanan kepada klien, dan dari klien ke konsumen, unsur cinta akan membangkitkan energi penjiwaan dalam berkarya. Saat itulah, diri kita tidak lagi dikuasai nafsu akan materi, sebab karya yang terisi jiwa tak ternilai harganya.


Sejumlah kawan saya mengutarakan keheranan mereka, mengetahui bahwa kegiatan menulis catatan di Facebook atau blog saya, yang tidak ada upahnya, saya lakukan sama seriusnya, sama menjiwainya, sebagaimana saya menulis naskah iklan, naskah audio-visual dan artikel wisata yang berdasarkan pesanan, dan tentu saja ada imbalan materinya. Yang tidak mereka ketahui adalah bahwa yang satu menunjang yang lainnya. Bapak periklanan modern, David Ogilvy, mengatakan bahwa untuk menjadi hebat dalam membuat iklan, buatlah iklan setiap hari—dengan atau tanpa adanya pesanan dari klien. Dengan saya menulis tentang apa saja, setiap waktu mengizinkan, saya menjadi kian mahir menulis dan kian menjiwai pekerjaan saya sebagai penulis.


Pengalaman saya menuturkan, sekalinya kita bekerja demi uang—memperhitungkan tenaga, waktu atau keahlian yang kita miliki semata demi memperoleh keuntungan materi—saat itulah luntur penjiwaan dan komitmen kita atas pekerjaan itu. Sudah pasti, kualitas pekerjaan itu akan berkurang, bahkan lenyap.


Bekerja juga merupakan momen untuk mengenal diri kita sendiri: seberapa tinggi kemampuan kita, seberapa baik kita memperhatikan kepentingan perusahaan dan hubungan kita dengan orang lain, dalam hal ini rekan-rekan kerja, atasan dan klien. Tak jarang saya alami suasana kerja di mana pada awal bulan para pekerjanya justru berfokus pada akhir bulan—yaitu hari gajian—ketimbang mengerahkan segenap upaya untuk membuat pekerjaan mereka berkualitas tinggi. Mereka lupa bahwa gaji yang mereka terima bukanlah dari kekayaan bos atau perusahaan.


Gaji mereka merupakan hasil dari kerja keras yang berkualitas, kerja yang dilandasi cinta sehingga menghasilkan komitmen, dan dampaknya akan membuat semakin banyak klien atau pesanan berdatangan, dan dengan demikian perusahaan mengalami peningkatan pemasukan, yang sebagian dipakai untuk menggaji karyawan. Jadi, menurut saya, sangat tidak pantas dan tidak bermoral jika karyawan hanya menuntut gajinya, sementara ia mengabaikan atau meminimalkan kontribusinya bagi perusahaan.


Bekerja dengan atau tanpa cinta adalah pilihan bebas Anda. Tidak salah mengerahkan potensi Anda demi mendapat penghargaan materi. Tetapi bila Anda menginginkan peningkatan materi sekaligus kualitas diri, bekerjalah dengan cinta.(AD)



Met Liefde Café, Jl. Pangrango No. 16, Bogor 16151, Jawa Barat, 23 Oktober 2010.

No comments: