Sunday, November 14, 2010

“Soup for the Chicken Soul”

“Kesabaran ada batasnya. Lewat dari itu disebut pengecut.”

~George Jackson (1941-1971)

 

BEBERAPA tahun lalu, semasa masih menjadi copywriter dan creative director pada sebuah biro iklan papan atas di Surabaya, saya ketiban pekerjaan menggagas kreatif untuk selebaran (flyer) dan poster bagi sebuah perusahaan yang menawarkan aneka kegiatan dan pelatihan outbound. Selain arung jeram dan panjat tebing, tersedia menu kegiatan lainnya yang cukup memacu nyali. Di situlah tempatnya jiwa pengecut diberi makanan yang dapat memompa adrenalin mereka hingga berubah menjadi pribadi yang berani dan tangguh menghadapi tantangan kehidupan.

Fakta itu memicu ide cemerlang di benak saya yang menghasilkan headline (kepala naskah) “Soup for the Chicken Soul”, yang saya pelesetkan dari judul serangkaian buku motivasi terkenal karya Jack Canfield dan Mark Victor Hansen, Chicken Soup for the Soul (pertama kali diterbitkan pada tahun 1993). Headline garapan saya tadi jika diindonesiakan menjadi “Sup untuk Jiwa Pengecut”. 

Visualnya sendiri bersifat “lurus” (straight), yaitu foto seorang penjelajah gagah yang tengah meniti tali-temali yang terentang di atas jurang. Dalam hal visualisasi, saya menerapkan prinsip Jim Aitchison dalam bukunya, Cutting Edge Advertising: How to Create the World’s Best Print for Brands in te 21st Century (1999), yang menyarankan agar dalam iklan yang kepala naskahnya “bengkok” (bent) atau dimain-mainkan, maka visualnya sebaiknya “lurus”, supaya pemirsa tidak mendapat masalah dobel—pertama, ketika mencerna arah headline-nya dan, kedua, saat harus memaknai visualnya dan korelasinya dengan kepala naskah.

Saya sengaja membengkokkan headline-nya, agar pemirsa, yang diasumsikan adalah para eksekutif muda yang kiranya ngeh dengan buku Chicken Soup for the Soul, akan dapat dihentikan sejenak untuk melihat poster atau selebaran perusahaan penyedia fasilitas kegiatan dan pelatihan outbound tersebut. Badan naskahnya berbunyi: “The challenges that you will get here for only 150,000 IDR will definitely drive the chicken out of your soul.” (Tantangan-tantangan yang akan Anda dapatkan di sini hanya dengan Rp150,000 pasti akan menyingkirkan sisi pengecut dari jiwa Anda).

Pengalaman menangani kreatif dari pekerjaan tersebut di atas tiba-tiba mendorong saya untuk beretrospeksi, menengok ke masa-masa ketika saya mulai meniti karier sebagai praktisi periklanan. Seperti penjelajah yang menjadi visual bagi karya iklan tersebut di atas, saya pun laksana meniti tali yang sewaktu-waktu bisa putus dan menjerumuskan karir saya yang baru seumur jagung ke dasar jurang. Saat itu, saya mendengar cerita, baik langsung dari narasumber maupun dari sumber sekunder, tentang para copywriter pemula yang berguguran bahkan sebelum mereka memahami hakikat dari profesi mereka.

Seorang produser audio-visual (AV) di salah satu biro iklan tempat saya bekerja dahulu, yang sekali waktu mendampingi saya dalam produksi iklan radio di studio rekaman, mengisahkan bahwa dia awalnya melamar sebagai copywriter pada biro iklan tersebut. Tetapi ia kemudian beralih menjadi produser AV lantaran tidak tahan terhadap badai ujian yang mesti dihadapi para copywriter di tahun-tahun pertama karir mereka.

Saya, yang waktu itu masih berstatus copywriter yunior, tentu saja kecut mendengar kisah itu, namun si produser menguatkan hati saya dengan berkata, “Jangan khawatir, lu akan baik-baik aja. Asal jangan cepat menyerah, ya.” Wah, dia bisa memberi nasihat yang mampu membangkitkan semangat saya, sementara dia sendiri menyerah ketika dihantam badai ujian.

Saya pun menghadapi yang disebut produser AV tadi sebagai “badai ujian”: diperlakukan semena-mena oleh senior saya, dimarahi klien dengan kata-kata yang tidak senonoh, mengalami kesalahan dalam proofread iklan cetak yang nyaris membuat gaji saya sebulan dipotong untuk mengganti kerugian yang diderita klien akibat kesalahan tersebut serta kesulitan mendapatkan ide ketika harus menulis kepala naskah, yang di kalangan copywriter disebut “sindrom kertas kosong” (simtomnya, antara lain, adalah rasa cemas menghadapi kenyataan bahwa ide belum juga ditemukan, disusul putus asa).

Terus-terang, dalam hati saya menangis dan sering muncul keinginan untuk menyudahi saja impian menjadi copywriter, yang hingga kini masih tergolong profesi bergengsi. Tetapi sesuatu di dalam diri saya terus menyemangati, “No pain, no gain! Ayolah, menjadi copywriter adalah takdirmu. Wujudkan itu!” Hal itu memacu saya untuk berusaha keras mencerna sup untuk jiwa pengecut saya. Kuahnya terasa sangat pedas dengan potongan bakso yang keras, namun saya harus menghabiskannya agar saya cukup bertenaga untuk menghadapi kerasnya kehidupan. Alhasil, badai ujian itu telah membentuk saya menjadi sosok praktisi periklanan yang sangat fasih dalam copywriting, amat jarang dijangkiti sindrom kertas kosong, serta bergeming ketika menghadapi klien.

Tampaknya, kita semua telah dibekali dengan potensi-potensi untuk bertahan menghadapi kerasnya badai ujian hidup. Hidup ini tidak punya tempat bagi pecundang dan pengecut, dan karena itu manusia diciptakan dengan kelengkapan untuk bertahan dan menang atas tantangan-tantangan yang ditawarkan hidup. Badai ujian yang masih atau akan kita hadapi kelak hanyalah sup untuk menggelontor jiwa pengecut yang cenderung mengajak kita untuk menyerah saja.©2010

 

Pondok Jaya, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, 14 November 2010, pukul 23.29 WIB

No comments: