Wednesday, October 20, 2010

Kemasan Hidup


“Terkadang hidup memberi kita pelajaran yang dikirim dalam kemasan yang edan.”

—Dar Williams



Pengalaman enam belas tahun di industri komunikasi pemasaran mengajarkan pada saya perbedaan antara produk dan kemasan. Yang diiklankan serta yang mendorong orang untuk membeli produk seringkali bukanlah produk itu sendiri, melainkan kemasannya. Dalam hal ini, kemasan bukan hanya wadah yang menampung atau membungkusnya, tetapi mencakup pula segala sesuatu yang tidak terkait langsung dengan hakikat produk, yaitu, antara lain, nama mereknya, periklanannya, pencitraannya dan pasarnya.


Pengetahuan akan hal ini membangun di dalam diri saya pemahaman esensial bahwa sesuatu atau seseorang tidak selalu seperti yang terlihat (nothing or no one is always like it seems). Makhluk, keadaan dan peristiwa tidaklah hakiki. Semua hanya makna, atau ‘kemasan’. Apa yang membungkus dan apa yang dibungkus tidaklah perlu dipersoalkan.


Pemahaman sufistik memandang bahwa pada hakikatnya manusia bukan makhluk material di alam spiritual, melainkan makhluk spiritual di alam material. Kita hidup di dunia yang dikemas sedemikian rupa, sehingga kita percaya bahwa itu yang sebenarnya. Keadaan ini kian diperkuat oleh yang kita sebut tren atau mode atau anggapan (yang keliru). Dan, sayangnya, banyak di antara kita yang lebih suka hidup dengan kemasan itu daripada menanggalkannya. Seperti dalam cerita pengalaman saya di industri komunikasi pemasaran, banyak konsumen membeli produk lantaran benaknya sudah dipengaruhi sedemikian rupa oleh upaya komunikasi merek untuk membeli produk dengan merek tertentu, dan bukan merek lainnya yang mengemas produk dari kategori yang sama.


Anda takkan tahu bedanya antara pasta gigi bermerek Pepsodent dengan yang menyandang nama merek ‘Ritadent’ apabila merek dan wadahnya ditanggalkan. Gara-gara sejumlah orang mengatakan ke saya bahwa Mie Sedaap berasa sabun (dikait-kaitkan dengan produsennya, Wings Food, di mana Wings sebelumnya dikenal sebagai produsen deterjen), saya pun benar-benar merasa bahwa kuah Mie Sedaap berasa sabun. Itulah dahsyatnya meme (virus akal budi) yang ditanamkan berulang-ulang ke benak orang hingga percaya, walaupun belum tentu benar. Masyarakat sudah telanjur memuja kemasan ketimbang isi.


Tahukah Anda bahwa hewan-hewan pemangsa paling ganas di dunia justru merupakan hewan-hewan paling cantik dan anggun? Lihat saja hiu putih, paus pembunuh, katak emas beracun (Phyllobates terribilis) atau ular kobra. Di dunia kriminal yang nyata, tak jarang sosok penjahatnya tidak sebagaimana yang digambarkan dalam sinetron atau film Indonesia, dengan tampang sangar dengan bekas luka di pipi, sebelah mata picik, badan bertato. Sama sekali tidak. Yang seperti itu justru para penjahat kelas teri. Yang kelas kakap perlu penampilan memukau agar dapat mengelabui korbannya.


Dalam kehidupan, kita sering menghadapi masalah dengan orang lain atau keadaan. Jangan terburu menganggap hidup tidak adil terhadap kita. Semua itu hanyalah kemasan yang membungkus kesejatiannya. Yang tampak hanyalah kulit durian yang dapat melukai tangan apabila kita tidak hati-hati dalam memegangnya atau mengupasnya. Kita harus mengupas kulit itu untuk merasakan lezatnya buah durian. Adakalanya kita berpikir, mengapa buah durian harus hadir dalam kulit yang tidak saja tebal tetapi juga berduri? Tanpa kulit, dagingnya akan cepat membusuk, sehingga alih-alih mendapatkan daging empuk nan manis, kita justru takkan bisa menikmati kelezatannya.


Seperti itulah kehidupan. Tanpa kita mau berupaya mengupasnya, menanggalkan lapis demi lapis kemasannya yang acap menciptakan persepsi yang keliru, kita hanya akan dihadapkan pada rasa sakit. Apa saja yang diperoleh secara instan—tanpa mengupas kulitnya terlebih dahulu—tidak akan bertahan lama. (Bayangkan saja seperti makan durian sekaligus dengan kulitnya!) Cobaan ibarat kulit durian tadi yang menunda nikmat, lantaran kata ‘cobaan’ adalah kemasan yang membungkus ‘nikmat’. Kita diharapkan dapat melewati cobaan yang satu ke cobaan yang lainnya, yang dalam prosesnya membuat kita belajar, menggali hikmah yang kelak menjadi alat untuk mengupas kulit terakhir yang akan menyingkapkan kepada kita buah nikmat yang kita cari.(AD)



Pondok Jaya, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, 20 Oktober 2010.

No comments: