Tuesday, October 26, 2010

Pelaku Biasanya Lebih Tahu


Taklimat (brief), pengetahuan tentang produk (product knowledge), informasi tentang persaingan, khalayak sasaran, situasi pasar dan beragam informasi lainnya merupakan bahan bakar yang menggerakkan tim kreatif di biro iklan untuk membuat iklan yang bukan saja bagus, tetapi juga tepat sasaran dan punya daya jual. Namun, tak jarang pihak klien tidak memiliki semua yang dibutuhkan tim kreatif.

Saya pernah dan sering mengalami hal semacam ini. Namun, daripada menganggapnya sebagai hambatan yang membatasi ruang gerak dan ruang pikir saya, saya menjadikannya tantangan untuk mengetahui dari sudut pandang klien apa gerangan yang diinginkannya agar dilakukan biro iklan terhadap produknya. Pelaku biasanya lebih tahu.

Saya pelajari produk pesaing dari kategori yang sama. Saya cermati kecenderungan-kecenderungan pasarnya, dan berkata pada diri sendiri, "Kalau aku jadi kliennya, aku akan melakukan begini dan begini." Hal seperti ini dianjurkan oleh Roger van Oech, antara lain dalam bukunya yang berjudul Whack—Pukulan untuk Merangsang Kreativitas dan Ide Baru (Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer, 2008) untuk dilakukan oleh mereka yang ingin menggapai kemampuan berpikir dan bertindak kreatif. Seringnya, sikap seperti ini membantu saya memahami keinginan dan kebutuhan sebenarnya dari klien. Dan hasilnya jarang sekali meleset!

Suatu ketika, saya berada pada pihak yang mengontrak jasa biro iklan. Saat itulah, saya merasakan langsung bagaimana, sebagai klien, biro iklan kadang bersikap sok tau tentang apa yang dibutuhkan klien. Saya teringat pada mantan bos saya di suatu biro iklan papan atas Jakarta, yang tak pernah lupa menandaskan, "Jangan berikan apa yang diinginkan klien, tapi berikan apa yang dibutuhkannya."

Pada berbagai kesempatan, mantra ini tidak sepenuhnya berhasil. Klien akan cenderung menganggap biro iklan sok tau tentang apa yang sebenarnya ia butuhkan. Pada berbagai kesempatan pula, saya diberitahu oleh keadaan bahwa apa yang dibutuhkan oleh klien bukanlah iklan yang kreatif atau larisnya penjualan produk sebagai dampak dari strategi komunikasi pemasaran yang jitu, melainkan sekadar perasaan nyaman lantaran ada pihak lain yang membantu mereka dalam memecahkan persoalan pemasaran produk.

Melihat dari sudut pandang pihak lain merupakan cara terbaik membangun pemahaman terhadap sikap dan perilaku mereka tanpa pretensi, yang bila sebaliknya malah menimbulkan prasangka-prasangka. Seperti diungkap Malcolm Gladwell dalam bukunya,What the Dog Saw--Dan Petualangan-Petualangan Lainnya (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2010), yang mengetengahkan sembilan belas kisah sepele, namun menjadi bermakna lantaran Gladwell mengemukakannya dari sudut pandang pelaku. Benang merah yang menjalin kesembilan belas artikel Gladwell yang pernah dimuat di majalah The New Yorker itu adalah upaya memahami kehidupan orang dan makhluk lainnya dari kacamata mereka, sehingga akan diperoleh pemahaman betapa beragamnya kehidupan kita.

Jangankan memahami sikap sesama manusia, memahami segala sesuatu yang dilihat anjing penting untuk kita ketahui. Yang mengagumkan, Gladwell memaparkan segala sesuatu dengan rinci, yang bakal membuat pembaca geleng-geleng kepala. Hal-hal remeh saja dapat ia jabarkan demikian mendalam, panjang dan lebar, seakan itu penting untuk diketahui. Justru lantaran itulah yang remeh tidak bisa dianggap enteng lagi.

Buku keempat Gladwell yang aslinya diluncurkan pada 20 Oktober 2009 ini disambut positif oleh para kritikus. Secara khusus, Gladwell dipuji untuk gaya penulisan dan gaya berceritanya, dengan setiap bagian digarap dengan sempurna. What the Dog Saw dikritik hanya untuk penggunaan statistiknya dan lemahnya landasan teknisnya.

Selain dipilih sebagai judul buku--mungkin lantaran bernada provokatif dan memancing penasaran, What the Dog Saw juga merupakan judul salah satu bab dari buku setebal 457 halaman ini, yang mengisahkan Cesar Millan, pelatih anjing profesional, yang piawai menundukkan anjing-anjing yang memberontak terhadap pemiliknya. Tulisan yang tidak kalah menariknya adalah yang berjudul “Terlambat Panas”, mengetengahkan fenomena orang-orang seperti Ben Fountain dan Paul Cézanne yang baru mengalami titik didih kreativitasnya pada usia yang terbilang tidak muda lagi. Karya pertama Fountain, Brief Encounters with Che Guevara, sebuah kumpulan cerita pendek, langsung meledak dan mengangkat penulisnya ke panggung ketenaran setelah yang bersangkutan berjuang selama delapan belas tahun dan Fountain telah berusia 48 tahun.

Bab berjudul “Kesalahan John Rock” mengemukakan tentang penemu pil KB (keluarga berencana), John Rock, yang ternyata keliru memahami kesehatan perempuan, bahwa sebenarnya dengan memperhatikan jadwal haid perempuan kehamilan dapat dihindari. Rock merupakan seorang Katolik yang taat, tetapi ia melawan keputusan Gereja Katolik yang memvonis pil KB sebagai temuan yang 'melawan hukum Tuhan'.

What the Dog Saw tepat bagi mereka yang suka memperkaya wawasannya, karena cukup banyak hal yang tidak diketahui oleh publik terungkap di buku karya penulis Blink,The Tipping Point, dan Outliers ini. Gladwell menulis cerita sesuai yang dilihat oleh para pelaku dalam cerita itu, karena pelaku biasanya lebih tahu. Gaya bertuturnya penuh semangat--semangat untuk membagi informasi, mengumbar gejolak yang mampu membuat pembaca hanyut dalam petualangan-petualangan seru para pelaku di setiap babnya. (AD)


Pondok Jaya, Mampang Prapatan, Jakarta, 25 Oktober 2010.

No comments: