Monday, November 1, 2010

Mengurai Kebenaran


Dua orang darwis (murid tasawuf) berdebat soal dua jalan yang berbeda dalam mendekatkan diri kepada Allah. Darwis A berpendapat bahwa upaya yang keras, melalui berbagai ritual dan tata cara, merupakan jalan yang paling benar. Sedangkan darwis B beranggapan yang paling benar adalah dengan berserah diri dengan sabar dan tawakal. Karena tidak mencapai titik temu, kedua darwis pergi menghadap syekh mursyid (guru tarekat Sufi) untuk meminta pertimbangannya. Saat itu, sang mursyid sedang ditemani seorang darwis muda, yang baru bergabung dengan tarekat itu.

Darwis A melontarkan pandangannya soal jalan yang paling benar untuk mendekatkan diri kepada Allah. “Ya, kamu benar!” kata si mursyid mengomentari. Darwis B langsung protes, dan mengutarakan pendapatnya. “Ya, kamu benar,” kata mursyid tadi dengan tenang.

Jadi, apakah yang dimaksud dengan kebenaran, kalau tidak ada salah-benar, ditilik dari kisah tersebut? Kalau kita cermati sifat-sifat Allah, kita akan lihat adanya pasangan-pasangan sifat yang saling berlawanan. Tetapi, toh hal-hal yang ‘negatif’ itu tidak dipandang sebagai ‘salah’, sementara yang ‘baik’ atau ‘positif’ sebagai ‘benar’.

Dalam konteks keilahian, merupakan hal yang dangkal untuk membuat penilaian benar-salah, sebab sebagaimana pengalaman hidup kita membuktikan bahwa yang satu menopang yang lain. Yang satu ada lantaran yang lain. Dan kebenaran bersifat sangat pribadi serta subyektif. Apa yang benar bagi seseorang belum tentu bisa diterapkan pada orang lain.

Baru-baru ini, saya mendapat pengalaman yang menurut saya ‘benar’ bagi saya, terkait tolok ukur kebenaran. Perkumpulan Persaudaraan Kejiwaan Subud akan menggelar kongres nasionalnya tahun depan. Lokasinya, yang telah ditetapkan dua tahun sebelumnya, adalah Palangkaraya di Kalimantan Tengah. Mendadak, justru ketika waktunya kian mepet, lokasi dipindah ke Jawa Barat, dengan alasan tingginya biaya yang bakal harus ditanggung peserta apabila tetap diadakan di Palangkaraya.

Karuan saja, pemindahan lokasi ini menimbulkan kontroversi. Mereka yang berasal dari Jakarta, yang umumnya berstatus ekonomi menengah-atas menyatakan kesanggupan mereka dan menyesali pemindahan tersebut. Sebaliknya, para anggota yang berasal dari daerah-daerah luar Jakarta, yang secara ekonomi kekurangan, menyatakan tidak sanggup dan mensyukuri pemindahan tersebut.

Dalam suatu obrolan dengan dua saudara Subud, saya menyatakan dukungan atas keputusan pengurus nasional PPK Subud Indonesia lantaran diambil berdasarkan suara terbanyak. Tidak demikian dengan salah seorang saudara Subud saya, sebut saja Budi. Budi prihatin dengan sikap anggota yang sepertinya tidak niat. “Saya menabung sejak tahun lalu, seribu perak per hari, karena saya berniat benar berangkat ke kongres di Palangkaraya. Sekarang sudah terkumpul dua setengah juta rupiah. Ada kemauan, ada jalan! Itu nunjukin, orang-orang di daerah itu pada dasarnya nggak niat,” kata saudara itu dengan menggebu-gebu.

Saya membenarkan perkataannya lantaran saya sendiri pernah dan sering mengalami, di mana begitu saya berniat akan sesuatu sekonyong-konyong saya tertuntun untuk mewujudkannya.

Lalu, saudara Subud satunya lagi, Tommy (bukan nama sebenarnya), angkat bicara. Dengan sikap ramah ia menepuk bahu Budi dan berkata, “Kalau duitnya sudah cukup, kenapa nggak sekarang aja berangkat ke Senggigi? Ngapain harus nunggu kongres segala?!”

Aha! Benar juga pernyataan Tommy. Dan saya rasa, Budi secara tidak langsung juga membenarkan, karena ia terpana, tidak sanggup menyanggah. Mengapa pula menyanggah apabila pernyataan Tommy masuk akal?

Anda bisa lihat sendiri kan? Dua anggota Subud tersebut menyatakan dua kebenaran. Dua-duanya benar dan logis. Tetapi masing-masing punya pertimbangan untuk melaksanakan dan tidak melaksanakan salah satunya. Dua-duanya benar, tetapi masing-masing kebenaran hanya berlaku untuk masing-masing pribadi.

Ada orang yang berpendapat bahwa kebenaran mutlak hanya satu, yaitu Tuhan. Coba Anda katakan itu pada mereka yang tidak percaya pada eksistensi Tuhan, tentu pernyataan itu bakal mereka sanggah. Saya punya kawan di Negeri Belanda, seorang ateis, yang menertawakan aktivitas saya di Subud sebagai sesuatu yang sia-sia, karena, menurutnya, berserah diri kepada Tuhan itu omong-kosong. Percuma saja saya memaksakan kebenaran saya padanya. Ketika saya katakan bahwa dengan bertuhan saya memperoleh banyak berkah dalam kehidupan ini, sebaliknya ia merespons, “Hidup saya bahagia sekali dan saya selalu mendapat solusi atas semua masalah saya walaupun saya tidak percaya adanya tuhan!”

Kami tetap berteman baik. Pertemanan kami yang langgeng dilandasi saling menghormati dan menghargai kebenaran masing-masing. Anda pun boleh setuju atau tidak setuju, suka atau tidak suka, dengan apa yang saya ungkap di sini. Saya hanya mengurai kebenaran saya. Bagaimana dengan Anda? Lebih baik berdiri tegak di atas kebenaran yang Anda yakini daripada bersikap plin-plan lantaran ada orang yang tidak setuju dengan Anda.Ó


Pondok Jaya, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, 30 Oktober 2010

No comments: