Friday, March 13, 2009

Ego Pangkat Dua

"Jangan biarkan ego Anda terlalu dekat pada jabatan Anda, karena begitu jabatan Anda hilang, ego Anda ikut bersamanya."
-- Colin L. Powell, mantan jendral bintang empat Angkatan Darat Amerika Serikat, mantan Menteri Luar Negeri AS (2001-2005) dan mantan Kepala Gabungan Kepala Staf AS (1989-1993)


Dalam suatu obrolan di meja makan saat sarapan, pada hari Sabtu yang mendung, saya dan kakak saya membicarakan teman-teman kami semasa kuliah di Fakultas Sastra Universitas Indonesia, yang masing-masing dari kami menjumpai mereka kembali di ajang Facebook. Bibi kami yang renta mendengarkan obrolan kami dengan seksama. Kemudian ia menyela, "Teman-teman Anto sudah jadi besar semua ya. Tinggal Anto, nih, kita tunggu besarnya."

Secara bergurau, saya timpali bahwa saya sudah besar -- badan saya memang tinggi dan besar. Bibi saya meluruskan pernyataannya; bahwa yang dimaksudkannya adalah 'pangkat' atau 'jabatan'. Pada saat itu, sikap saya berubah serius. Saya katakan pada bibi saya, bahwa jabatan itu tidak penting, bahwa membuat orang menghormati dan menghargai kita karena kesejatian diri kitalah yang mesti diutamakan. "Ada orang-orang yang stres berat hanya gara-gara kehilangan jabatan, status, bahkan pekerjaan. Saya tidak mau menjadi seperti itu; saya ingin menjadi diri saya sendiri," kata saya. Saya puas dengan diri saya sendiri, dengan apa pun yang saya lakukan dan peroleh dari situ. Saya bahagia karena tidak perlu memiliki ego pangkat dua: yaitu aku sejati -- yang ada sejak saya diciptakan dan aku palsu -- yang mesti melekat pada hal-hal di luar diri, seperti harta, jabatan dan status, agar bisa tetap eksis.

Menjadi diri sendiri ternyata hal yang sangat sulit untuk dilakukan. Tempat pas untuk menguji apakah diri kita mampu menjadi diri sendiri adalah dunia kerja. Banyak orang, bahkan jumlah yang terbesar, menganggap dirinya eksis bila punya pekerjaan tetap, menerima gaji setiap bulannya, meskipun itu berarti mereka kadang harus melawan tentangan hati nurani.

Saya sudah beberapa kali bekerja di perusahaan-perusahaan yang karyawan-karyawannya membentuk diri mereka menjadi yes-men, membeo pada kesewenang-wenangan manajemen, semata karena takut kehilangan pekerjaan. Dan perusahaan-perusahaan yang tumpat dengan karyawan semacam itu semua berakhir berantakan.

Ada apa sih dengan pekerjaan, sehingga orang begitu memujanya, sampai-sampai orang rela mengakhiri hidupnya setelah di-PHK? Bekerja memang perlu, sebagai sarana ekspresi dan aktualisasi diri, tetapi pekerjaan itu sendiri tidaklah seberapa penting. Terpaku pada satu pekerjaan boleh-boleh saja asal Anda siap untuk diterjang perubahan setiap saat. Cara yang paling aman adalah mempersiapkan agar pekerjaan Anda bisa fleksibel menghadapi peningkatan, perbaikan atau perubahan di masa depan. Atau menjadikan diri Anda pribadi yang bermental wirausaha, yang berciri kreatif, lincah, gigih dan fleksibel.

Ketika saya mulai menapak karier di periklanan pada tahun 1994, saya tidak punya gambaran bagaimana jadinya saya lima, sepuluh atau lima belas tahun ke depan. Tahun 1994, saya hanya bisa menulis naskah iklan cetak; tahun 1995, saya belajar menulis skrip iklan radio dan televisi lewat praktik langsung. Saat itu, saya kira saya hanya akan menjadi penulis naskah iklan belaka, yang kariernya paling banter berpuncak pada creative director, yang memimpin departemen kreatif sekaligus mengarahkan kreativitas iklan-iklan yang diproduksi tim-tim kreatif.

Ternyata semua berpulang kepada diri sendiri. Saya maunya jadi apa? tanya saya pada diri sendiri. Setelah lima tahun menulis naskah iklan, saya bertekad untuk jadi hebat dalam bidang komunikasi pemasaran, bukan hanya iklan. Pada saat yang sama, saya ingin bekerja di tempat, di mana istri saya pun merasa senang dengan kenyataan bahwa ia berada dekat dengan orang tuanya maupun teman-temannya. Karena itulah, tahun 2000 saya meninggalkan kota kelahiran saya, Jakarta, pindah ke Surabaya.

Suatu ketika, saya dipinjami buku oleh saudara Subud saya. Buku berjudul Human Enterprise itu menggambarkan sejatinya kewirausahaan yang dilandasi keyakinan akan bimbingan Tuhan. Di dalamnya, saya baca bahwa sebuah wirausaha baru dapat dikatakan 'wirausaha terbimbing' jika pelakunya mengikuti tuntunan rasa dirinya. Jika masih menjadi 'orang gajian' itu juga bisa disebut wirausaha, tetapi wirausaha yang masih melekatkan ego kita padanya. Secara garis besar, buku itu mengajak kita untuk mewujudkan wirausaha agar kita bisa menjadi diri sendiri -- bebas dari keadaan yang memaksa kita memiliki ego pangkat dua.

Buku Human Enterprise itulah yang akhirnya memantapkan hati saya untuk menggapai -- meminjam istilah Stephen Covey untuk 8th Habit-nya -- 'jiwa merdeka'. Dengan menjadi freelancer 100%, saya berhasil menjadi diri sendiri, menjalani pekerjaan dengan tuntunan rasa diri tanpa khawatir di-PHK, tidak terusik kebutuhan akan gengsi dan dapat berwirausaha dengan misi, visi dan nilai yang sesuai dengan pribadi saya. Dan saya bisa senantiasa mengantisipasi perubahan. Ketika saya masih bekerja pada perusahaan milik orang lain, hal itu tidak mungkin saya lakukan, selama pemilik perusahaan memasang kacamata kuda terhadap kenyataan-kenyataan yang terjadi di lingkungan bisnisnya.

Bila setelah membaca tulisan saya ini Anda berpikir betapa enaknya menjadi seperti saya, buang jauh-jauh pemikiran itu. Karena, bagaimanapun, masih lebih asyik menjadi diri sendiri.©

No comments: