Saturday, January 24, 2009

Gigitannya Terasa Enak

"Kenyataan adalah sesuatu yang, ketika Anda berhenti mempercayainya, tidak akan pergi."
-- Philip K. Dick (1928-1982), dalam How to Build a Universe that Doesn't Fall Apart Two Days Later (1978)


Tanggal 19 Januari 2009 lalu, saya berkesempatan mengunjungi Rungan Sari Meeting Center and Resort di Jalan Raya Tjilik Riwut Km 36, Sei Gohong, Bukit Batu, Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Terletak di area seluas 137 hektar, resort itu hanya sebagian kecil dari entitas yang jauh lebih besar yang divisikan oleh pendiri Perkumpulan Persaudaraan Kejiwaan Subud, Muhammad Subuh Sumohadiwidjojo, sebagai pusat spiritual dunia dan bahkan sebuah tempat bagi tumbuh-kembangnya peradaban yang sangat maju.

Layaknya sebuah pusat spiritual, tak mengherankan bila di Rungan Sari, baik di kompleks resortnya, kawasan pemukiman warga Subud yang berasal dari berbagai bangsa, suku, ras, agama dan budaya, maupun area hutan, semak-belukar, sungai-sungai besar dan kecil, serta perkampungan suku Dayak yang mengitarinya, bermunculan kejadian-kejadian yang sulit dicerna logika, yang ajaib namun mampu menggetarkan saraf kekaguman. Kejadian-kejadian tersebut tidak saja menimpa mereka yang telah menerima Latihan Kejiwaan Subud, namun menghampiri pula para tetamu resort yang sebagian besar merupakan kalangan menengah-atas dari masyarakat Kalimantan Tengah dan luar provinsi serta luar negeri.

Cerita-cerita semacam itu menyertai pikiran saya sejak saya lepas landas dari bandar udara Soekarno-Hatta, Jakarta, pada Senin pagi, pukul 8.00, menumpang pesawat Garuda Indonesia, hingga mendarat satu setengah jam kemudian di bandara Tjilik Riwut, Palangkaraya. Di Subud, Anda tidak mesti percaya sampai Anda mengalaminya sendiri. Dan itu pula yang saya terapkan pada diri saya. Cerita-cerita yang saya kantongi di pikiran saya saya buang jauh-jauh. Selama dua hari saya berada di Rungan Sari, beraneka pengalaman kejiwaan saya lalui di sela-sela kegiatan saya mengeksplorasi lokasi resort, pemukiman warga Subud dan perkampungan Dayak, hutan dan sungai yang membelah habitat asli orangutan. Terlalu banyak dan kadang terlalu nyeleneh untuk diceritakan di sini. Namun, ada satu pengalaman yang kiranya bagi Anda yang belum menerima Latihan Kejiwaan Subud pun dapat membiasakan diri untuk mempraktikkannya.

Pada pagi hari, 21 Januari, ketika saya sedang menunggu waktu untuk berangkat ke bandara Tjilik Riwut, mengejar pesawat buat pulang ke Jakarta, saya duduk di teras kamar dari resort yang saya tempati selama berada di Rungan Sari. Hujan sedang turun dan udaranya cukup untuk mendorong saya mengenakan sweater. Selama dua hari berada di tempat yang telah divisikan menjadi pusat spiritual dunia itu, pikiran saya telah mencapai keheningan dan kebeningan sebagaimana yang 'ditawarkan' tempat itu. Dalam kondisi yang tak direncanakan maupun dipersiapkan sebelumnya itu saya memperoleh jawaban sekaligus kepahaman atas pertanyaan atau, lebih tepatnya, gugatan saya kepada Tuhan yang telah berlangsung sekian lama.

Saya bercita-cita menjadi tentara sejak kecil. Mungkin kenyataan bahwa ayah saya merupakan perwira angkatan daratlah yang membangkitkan impian itu. Banyak yang menganggap itu hanya cita-cita semasa kecil sebagaimana kebanyakan anak mencita-citakannya, tetapi tak dinyana hingga saya dewasa pun, cita-cita itu masih melekat pada diri saya. Tetapi saya tidak pernah dapat mewujudkan cita-cita itu. Saya sempat merasa sangat kecewa, karena guru saya pernah menasihati, bilamana ada kemauan di situ ada jalan. Seingat saya, kemauan saya keras sekali; saya rajin berolahraga, utamanya bela diri, membaca banyak literatur tentang dunia kemiliteran, mendiskusikan strategi perang dengan ayah saya, dan lain-lain. Tetapi jalan-jalan yang terbuka untuk saya membawa saya ke arah-arah yang semakin jauh dari terwujudnya cita-cita saya. Cita-cita yang memendam di hati saya itu akhirnya bahkan membuat saya mengambil kekhususan bidang sejarah militer ketika saya kuliah di Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra Universitas Indonesia, serta menanamkan harapan terakhir saya pada program perwira karier atau wajib militer bagi sarjana. Harapan itu lewat meninggalkan saya -- yang akhirnya malah tercebur ke dunia periklanan.

Keheningan dan kebeningan pikiran yang saya peroleh secara tak terduga tatkala duduk di teras kamar dari resort tersebut membawa saya kepada penyelaman ke dalam diri, menggapai kenyataan dari sejatinya diri saya. Kata orang, kenyataan itu menggigit (reality bites), sehingga banyak orang memilih untuk tidak menghadapinya. Padahal, jika saja kita bersedia menghadapi anjing galak berkalung nama 'kenyataan', gigitannya terasa enak. Dalam kasus saya, sejumlah kenyataan mengapa saya gagal mewujudkan cita-cita saya untuk menjadi tentara dibisikkan ke telinga batin saya. Bukannya kecewa, saya malah menangis bahagia, mendesak dari dalam.

Keadaan fisik saya yang kurang mendukung adalah kenyataan di balik kegagalan saya mewujudkan cita-cita saya, di samping tidak tahan sakit, tidak suka diperintah-perintah, tidak suka hidup di lingkungan yang menerapkan pola hierarkis dan birokratis, tidak suka disiplin dan aturan-aturan yang kaku, mudah menyerah di tengah penderitaan yang berat atau kesulitan, mudah panik dan bertindak serampangan (bahkan dalam bermain game perang-perangan di komputer saja nyata sekali sifat seperti itu pada diri saya), takut berada di tengah situasi yang mengancam jiwa (seperti ketika terjadi insiden meledaknya gudang peluru Marinir di Cilandak pada 29 Oktober 1984) dan suka mengabaikan detil. Suara diri saya pun berkata lembut, "Kehidupan sebagai tentara amat tidak cocok bagimu, Anto."

Hati saya melonjak-lonjak kegirangan ketika jawaban itu datang. Bukan dari luar, dari orang lain, melainkan dari dalam. Jawaban itu ternyata ada di dekat saya, di dalam diri saya, tetapi saya melewatinya. Dalam sekejap, beku kekecewaan yang telah sekian lama saya pendam meleleh dan mengalir seiring tetesan air kebahagiaan di sudut mata saya. Kenyataan-kenyataan diri saya yang saya jabarkan di atas memang menggigit dengan taring kejujuran yang sangat tajam, tetapi justru terasa enak ketika saya sudi menyambutnya dengan sikap menerima dan percaya -- bahwa segala sesuatu yang menghampiri saya dalam hidup ini ada maksud dan tujuannya. "Herr Gott wurfelt nicht -- Tuhan tidak melempar dadu," kata Einstein. Hidup yang masing-masing dari kita terima dan jalani bukanlah hasil dari spekulasi Tuhan di meja judi, melainkan wujud dari cintaNya yang Maha Sempurna terhadap ciptaanNya. Sebagaimana pengalaman hidup yang pernah saya lalui, Tuhan memberi kita pilihan-pilihan. Bila kita salah pilih pun, Dia masih sudi memberi kita petunjuk menuju pilihan yang benar.

Daftar dari sederet panjang keinginan lain yang belum tercapai masih tersisa di pikiran saya. Saya berjanji kepada diri saya sendiri, bahwa begitu saya sampai di Jakarta saya akan menempuh kembali penyelaman ke dalam diri, menggapai kenyataan di balik belum/tidak tercapainya sejumlah keinginan saya, dan menyambut gigitannya yang terasa enak.©

No comments: