Friday, March 13, 2009

Ketika Kemapanan Mulai Mengusik


"Agama adalah untuk mereka yang tidak mau masuk neraka.
Spiritualitas adalah untuk mereka yang telah melaluinya."
-- Anonim


Spiritualitas tampaknya mudah diterima dan dilakoni hanya oleh mereka yang kepepet. Atau, oleh orang-orang yang mengalami kesusahan dalam separuh hidupnya. Timbullah kesan, bahwa pendorong seseorang berspiritual adalah ketika ia ditimpa penderitaan. Keberlimpahan materi serta 'kemulusan hidup' lantas dianggap rintangan atau gangguan bagi berkembangnya dimensi spiritual seseorang.

Paling tidak, itulah kesimpulan yang sempat saya peroleh saat membaca buku John Wood, Leaving Microsoft to Change the World -- An Entrepreneur's Odyssey to Educate the World's Children (New York: Collins U.S., 2006). Buku setebal 278 halaman (termasuk indeks) itu membeberkan perjalanan pada suatu periode dari hidup pendiri Room to Read, John Wood, yaitu saat karirnya tengah melambung. Siapa pun, saya kira, mendambakan kesuksesan sedemikian cemerlang dalam pekerjaan dan kehidupan pribadi seperti yang diperoleh Wood, sehingga takkan membiarkan apa pun atau siapa pun merebutnya.

Sembilan dari 13 tahun karir Wood selepas kuliah dihabiskannya di Microsoft. Ia menceritakan pengalamannya ketika pertama kali diinterviu oleh Melinda, manajer sumber daya manusia Microsoft yang kemudian diperistri Bill Gates. Tipe wanita yang dikencani Gates adalah yang berotak cemerlang, sehingga Wood benar-benar mempersiapkan dirinya ketika tahu ia bakal diwawancarai oleh Melinda; manajer SDM secerdas Melinda diperkirakan Wood akan cepat mendeteksi kelemahannya. Proses rekrutmen di Microsoft terkenal sangat kompetitif, penuh sandungan, sehingga Wood tak menyangka ketika dirinya diterima.

Karir Wood menanjak pesat. Sebagian besar waktu dan tenaganya ia dedikasikan bagi Microsoft, sampai-sampai selama 9 tahun bekerja di perusahaan itu belum pernah sekali pun ia mengambil cuti. Hal ini disadarinya pada tahun ke-9 Wood di Microsoft. Saat itu, ia menjadi direktur pemasaran Microsoft Australia di Sydney, di mana ia hidup berkelimpahan sebagai seorang pria lajang. Posisinya menyediakan baginya berbagai fasilitas, termasuk apartemen mewah.

Adalah atasannya sendiri, yang juga sahabatnya, yang menyarankan Wood untuk mengambil jeda di tengah kesibukannya membangun karir dan pergi berlibur. Walaupun awalnya menolak, Wood kemudian pergi berlibur ke Nepal. "Saya kemudian bersikap rasional pada diri saya sendiri, apa gunanya menabung bila kamu tidak bisa menggunakannya untuk mendanai impian-impianmu," tulis Wood di halaman 65 bukunya.

Liburan di Nepal dilalui Wood sebagai backpacker, menjelajahi pegunungan Himalaya, tinggal di bawah tenda, dengan sistem pendingin udara satu-satunya berasal dari hawa dingin alami daerah Nepal. Pemandunya memperkenalkan Wood kepada kehidupan masyarakat pedesaan Nepal yang sebagian besar miskin dan, karenanya, tidak mampu membiayai pendidikan. Pada sebuah sekolah yang infrastrukturnya sangat tidak memenuhi syarat, Wood menemukan ruangan yang sebenarnya dimaksudkan untuk perpustakaan tetapi memiliki jumlah buku yang sangat minim, dipendam begitu saja di dalam peti kayu. Itu pun buku-buku yang ditinggalkan oleh para backpacker yang datang sebelum Wood, dan muatannya tidak cocok untuk anak-anak usia 8-12 tahun yang menjadi murid sekolah itu.

Pengalaman tersebut menjadi awal dari kisah yang mengubah hidup John Wood sedemikian drastis. Pengalaman yang akhirnya mendorongnya meninggalkan kemapanan dan berjuang untuk mengubah dunia lewat yayasan filantropi untuk sekolah dan perpustakaan yang didirikannya dan sebagian didanai dengan kekayaan pribadinya, yang dinamainya Room to Read. Pada tahap ini, Wood tanpa sadar merengkuh dimensi spiritual: pergulatan batin yang dilaluinya saat berproses untuk mengambil keputusan -- keluar atau tidak, dari Microsoft -- telah membawanya kepada dialog yang intens dengan dirinya. Tahap ini disebut Wood (di halaman 112) sebagai mengalami introspeksi menyiksa tentang apakah ada 'kehidupan setelah Microsoft'. Pergulatan batin ini membawa Wood ke momen-momen 'mengenal diri sendiri' seperti yang dialami mereka yang menempuh jalan spiritual, serta memperkenalkannya kepada dimensi yang oleh kalangan pejalan spiritual dinamai 'tuntunan ilahi' (divine guidance).

Layaknya tuntunan ilahi yang berlangsung tanpa perencanaan sebelumnya, usai menyerahkan bantuan buku-buku kepada sebuah sekolah miskin di kawasan pedesaan di Nepal bersama ayahnya, di Kathmandu 'secara kebetulan' Wood berpapasan dengan seorang bhiksu Buddha tua ketika ia sedang berjalan-jalan pagi. Sang bhiksu mengajak Wood bergabung untuk bersemadi bersama para bhiksu. Meski gagal mencapai pengosongan pikiran, Wood mengalami pergolakan batin. Di dalam pikirannya terdapat dua kekuatan yang sama-sama berkuasa, tetapi saling berlawanan. Wood menulis di halaman 36: "Microsoft telah menempatkan saya dalam peran yang baru, dan dalam dua hari saya dijadwalkan untuk kembali ke kehidupan itu. Di sudut yang berlawanan ada prioritas-prioritas saya yang cepat berubah. Apakah penting berapa banyak kopi Windows yang kami jual di Taiwan bulan ini ketika jutaan anak tidak memiliki akses ke buku? Kok saya bisa sih sibuk dengan inisiatif e-commerce kami di Hong Kong, atau upaya-upaya anti-pembajakan di China, ketika tujuh dari sepuluh anak di Nepal menghadapi buta aksara seumur hidupnya?"

Meski gagal mengosongkan pikiran dan bersemadi, Wood mendengar suara batinnya berkata (halaman 36-37), "Kamu harus mengaku pada dirimu sendiri bahwa Microsoft akan kehilangan dirimu satu atau dua bulan. Seseorang akan segera mengisi kekosongannya. Kamu seakan tidak pernah bekerja di sana. Tanyakan dirimu, Apakah ada ribuan orang yang mengantre untuk membantu desa-desa miskin membangun sekolah dan perpustakaan? Pekerjaan itu belum dilakukan. Kamu harus bangkit menghadapi tantangan ini."

Pengalaman batiniah yang dilewati Wood ini adalah warna dalam hidup mereka yang sedang menempuh usaha-usaha yang sulit (difficult undertakings) atau upaya-upaya berkelanjutan (continuous efforts) yang penuh risiko, yang membentuk definisi dari kata 'kewirausahaan' (entrepreneurship). Dengan kata lain, walau Wood mungkin tidak menginsafinya, ia memiliki mentalitas wirausaha, suatu mentalitas yang hakikatnya dimiliki semua manusia, namun tidak pernah sepenuhnya dikenali dan digali, bahkan cenderung diabaikan, yang mengakibatkan banyak pelaku wirausaha jera melanjutkan ikhtiarnya bila gagal di tengah jalan. Padahal kegagalan memang merupakan 'nuansa khas' dalam kewirausahaan, sedangkan bagi para wirausahawan sejati kegagalan merupakan bagian dari proses pembelajaran.

Kenyataannya, buku Leaving Microsoft to Change the World yang amat mengilhami itu memang menyampaikan informasi dan pembelajaran tentang cara-cara menghidupkan tindakan yang mewirausaha. Wood menyarankan agar pada saat kita mulai berwirausaha, kita harus berpikir besar (think big from day one), sebab hal itu membuat kita konsisten dalam memperjuangkan apa yang hendak kita capai. Wood berpegang pada ungkapan yang populer di Microsoft: "Go big or go home" (halaman 116). Pengalaman Wood menuturkan bahwa keberanian dalam menetapkan tujuan-tujuan cenderung menarik perhatian para calon donatur.

Buku ini juga menekankan melalui kisah hidup penulisnya bahwa kemapanan tidaklah abadi, selain bahwa kemapanan yang langgeng mencegah manusia dari penggalian potensi-potensi dirinya, yang dikaruniai Tuhan dalam jumlah tak terbatas, serta pengenalan dirinya, sementara telah disabdakan oleh para utusan Tuhan di masa lalu bahwa "barangsiapa mengenal dirinya sudah pasti ia mengenal Tuhannya".©


No comments: