Friday, March 13, 2009

Berkeinginan Penuh untuk Kosong

"Jadilah tidak kentara, bahkan sampai titik tanpa bentuk. Jadilah misterius, bahkan sampai titik tanpa suara. Dengan cara itu, engkau bisa mengarahkan nasib lawan."
Sun Tzu, The Art of War. Emptiness and Fullness.


Sejak dua pekan yang lalu hingga 16 Februari 2008, saya memaksakan diri menggenjot energi ekstra berhubung saya harus menyelesaikan banyak pekerjaan -- terlalu banyak pekerjaan untuk ukuran seorang freelancer yang bekerja di SOHO (Small Office, Home Office), dibantu oleh istri saya, khususnya dalam urusan administratif.

Saya sempat putus asa, terutama oleh kenyataan bahwa hampir semua pekerjaan itu diberi tenggat waktu yang sama, yaitu pada hari Senin, 16 Februari. Istri saya, yang tidak tahan dengan emosi saya yang meletup-letup, kemudian mengingatkan saya agar latihan (latihan kejiwaan Subud -- ADS), agar saya saya mengosongkan diri, menggapai kondisi pikiran nol (zero mind condition). Waktu istri saya mengingatkan hal itu, saya membatin, "Ah iya-ya, bego aku. Kenapa nggak kepikir ya?!"

Menjalani kehidupan sehari-hari yang sarat perjuangan dan tantangan saya memang berkeinginan penuh untuk kosong. Namun, karena tekanan yang terlalu kuat, saya acap menyadari hal yang sebenarnya mudah itu belakangan. Kosong akal pikir dan hawa nafsu. Ini istilah-istilah yang hampir selalu menimbulkan salah paham dan salah kaprah. Ada yang menganggap bahwa hal itu membuat setan mudah memasuki diri kita (kenyataannya, setan sudah ada di dalam diri kita semua, yaitu nafsu-nafsu yang merongrong). Ada pula yang mengira dengan mengosongkan pikiran bakal menghilangkan pikiran dan nafsu akan dunia. Bagaimana mungkin pikiran kita dikosongkan bila kita sebenarnya perlu berpikir? Tidak mungkin kita tidak berpikir. Jika tidak perlu berpikir, buat apa Tuhan menciptakan akal pikir.

Memang benar kita perlu mempergunakan pikiran, karena ia pelengkap kita untuk hidup di dunia. Makna dari 'mengosongkan pikiran' sesungguhnya adalah membiarkan pikiran tetap pada posisi sejatinya, yaitu sebagai pembantu, bukannya malah menobatkannya sebagai majikan. Osho ("Rajneesh" Chandra Mohan Jain, mistikus dan guru spiritual asal India) mengatakan, "Pikiran adalah pembantu yang baik, tetapi majikan yang buruk." Membiarkan pikiran kita naik ke tingkat majikan akan menimbulkan kondisi seperti yang saya alami di atas: merasa serba susah, uring-uringan, dan memiliki nafsu amarah yang tidak terkendali. Mengosongkan pikiran, meminjam ekspresi yang kerap dilontarkan saudara Subud saya, adalah let go, let God -- bebas-lepaskan segala sesuatu yang terasa menghalangi, biarkan Tuhan yang bekerja. Dengan mengosongkan pikiran, kita akan mampu mengatasi penghalang-penghalang yang luar biasa untuk memanifestasikan potensi kita bagi kebaikan semua orang.

Mengikuti saran istri saya, saya pun menjauh dari depan komputer, duduk di pojok kesukaan saya, merem (memejamkan mata) lantas lerem (menentramkan diri), admit (mengakui ketidakberdayaan saya) dan submit (berserah diri).

Perlahan-lahan, mengalir di dalam diri saya suatu energi, yang kuat sekaligus halus, menggetar lirih dan mengguncang sendu, diri saya kosong sekaligus penuh, begitu damai namun mampu membuyarkan pikiran-pikiran yang tidak berguna. Yang tersisa hanyalah pikiran positif bahwa saya sanggup menyelesaikan pekerjaan saya dengan baik dan benar. Pada tenggat waktu yang telah ditentukan, tinggallah saya nyaris tidak bisa percaya dengan kenyataan bahwa seabrek pekerjaan yang kurang dari sepekan sebelumnya masih membebani saya, sekarang sudah tuntas semua. Saya menggunakan pikiran saya ketika mengerjakan itu semua, tetapi pikiran saya tertuntun oleh suatu kekuatan di luar eksistensi saya -- rasanya seperti pikiran saya ada yang mengarahkan tanpa upaya dari pihak saya.

Saya mendapat pengalaman-pengalaman luar biasa sebagai hasil dari mengosongkan pikiran. Sebagai penulis materi komunikasi pemasaran dan korporat, saya sering mendapat pekerjaan penulisan naskah dalam bahasa Inggris. Ketika hasilnya dipresentasikan kepada klien-klien saya, rata-rata mereka mengira yang menulis naskah itu adalah seorang native speaker. Saya menguasai banyak kosa kata bahasa Inggris namun lemah sekali dalam grammar. Lalu, bagaimana mungkin saya bisa menulis dalam bahasa Inggris setara native speaker? Saya kosongkan pikiran dari penghalang-penghalang tepat/keliru, yang kemudian memunculkan kemampuan merasakan setiap kata dan setiap kalimat -- merasakan kapan suatu kata/kalimat tepat/keliru untuk suatu waktu. Proses merasakannya sendiri sulit dijelaskan -- saya hanya merasakan! Ketika saya ceritakan hal ini kepada saudara Subud saya yang berasal dari Liverpool, Inggris, ia tertawa dan mengatakan, "Kita orang Inggris saja tidak menguasai grammar. Itu tidak penting. Kita merasakan saja. Selamat! Kamu telah naik ke level berikutnya dalam bahasa Inggris. Kamu sudah jadi native speaker!"

Sadar atau tidak, semua kesusahan, penderitaan, ketidakmampuan, kemalasan, kemarahan, kebencian, berasal dari pikiran. Pikiran -- saat ia ditempatkan sebagai majikan -- senantiasa mendikte kita untuk berpihak pada negativisme. Saya pernah membenci seseorang sedemikian rupa -- terutama karena cara bicaranya yang penuh amarah dan lagak lagunya yang arogan, sampai saya selalu menghindari dirinya, dan yang saya lihat pada dirinya hanyalah keburukan. Suatu saat, saya didudukkan bareng dia dalam satu tim kepengurusan sebuah organisasi. Mau tak mau saya harus bersambung rasa dengannya dan seluruh anggota tim, agar kerja tim kami bisa langgeng. Saat itu, saya mengosongkan pikiran saya dari benci, lantas mengisinya dengan cinta pada apa yang saya kerjakan serta tekad untuk menjadikan tim kami solid. Saat itu terjadi, saya bahkan kaget dengan diri saya sendiri: saya menjadi demikian mengagumi dan menyayangi orang yang tadinya saya benci setengah mati. Orang yang tadinya selalu saya hindari, kini telah menjadi sosok yang saya rindukan kehadirannya dalam kaitan dengan kegiatan keorganisasian. Segala ucapannya yang selalu penuh amarah lha kok serasa seperti ungkapan sayangnya pada orang yang kepadanya ia lontarkan kemarahannya.

Aneh, bukan?! Coba renungkan, bahkan pikiran kita pun tidak mampu mencerna fenomena sederhana ini. Tetapi saya meyakini itu adalah kekuatan Cinta Yang Maha Agung yang mengisi jiwa mereka yang selalu berkeinginan penuh untuk kosong.©

No comments: