Tuesday, March 24, 2009

“Cermin-cermin di Dinding, Siapakah yang Paling…?”

“Hidup hanyalah sebuah cermin, dan apa yang kamu lihat di luar sana,
harus kamu lihat terlebih dahulu di dalam dirimu.”
—Wally “Famous” Amos (1936- )



Dalam suatu obrolan dengan seorang saudara Subud, pasca rapat Pengurus Nasional PPK Subud Indonesia, bertempat di ruang rapat Sekretariat Pengurus Nasional, Wisma Indonesia, kompleks Wisma Subud, Jl. RS Fatmawati 52, Jakarta Selatan, pada 17 Maret 2009 yang lalu, terlontar kutipan dari ceramah pendiri Subud, Muhammad Subuh Sumohadiwidjojo, yang beliau sampaikan di New York, pada 3 Mei 1959. Kutipan itu menegaskan bahwa tidak ada manusia yang tidak berguna, karena manusia telah dibekali Tuhan dengan suatu ‘konstruksi hidup’, yang bisa menunjukkan jalan hidup masing-masing, ke mana dan bagaimana seharusnya jiwa bekerja dan bertindak.

Pertanyaannya, mengapa masih saja ada orang yang tidak bisa menyejahterakan dirinya, lahir dan batin? “Jangan-jangan, ada orang-orang yang diciptakan Tuhan memang untuk menjadi tidak berguna,” ujar saya. Tetapi begitu saya renungkan lebih jauh, orang-orang yang ‘tidak berguna’ itu toh juga berguna, yaitu mengingatkan kita bahwa ketidakbergunaan itu menyusahkan diri sendiri maupun orang lain. Ia bisa kita pergunakan sebagai cermin pembanding, agar kita bertekad tidak akan menjadi seperti dirinya.

Saya baru menyadari bahwa kehadiran orang lain merupakan cermin bagi kita sejak saya senantiasa bertanya-tanya, mengapa saya selalu menjumpai orang yang berkelakuan buruk. Salah seorang saudara Subud saya menjauhkan dirinya dari lingkungan Subud, karena di situ ia kerap menemukan orang (anggota Subud) yang berkelakuan tidak baik, dan heran karena ia selalu saja berhadapan dengan orang-orang yang bertingkah laku buruk. Tiba-tiba saja saya menemukan sabda Muhammad SAW, yang berbunyi: “Seorang mukmin adalah cermin bagi mukmin lainnya.”

Di situlah saya menginsafi diri saya. Jangan-jangan, karena saya selalu berpikiran negatif, maka lingkungan pun mencerminkan pikiran negatif saya. Segala sesuatu yang saya lihat dan jumpai pasti tidak menyenangkan hati saya; hati saya bawaannya dongkol melulu, tidak puas, dan saya pun terjangkiti stres.

Ini sebuah fenomena alami. Rhonda Byrne dalam The Secret – Rahasia (Jakarta: Gramedia, 2007) menyebutnya Hukum Tarik-Menarik (Law of Attraction), sementara Robert Scheinfeld melalui The 11th Element (Unsur Ke-11) – Mengaktifkan Kekuatan Batin Anda untuk Menderaskan Kesuksesan dan Kekayaan (Jakarta: Serambi, 2005) menisbahkan fenomena ini pada eksistensi suatu jejaring tak kasat mata (invisible network). Pikiran atau perbuatan kita akan cenderung menjadi magnet yang menarik keadaan-keadaan atau benda-benda yang relevan dengan yang ada dalam pikiran, atau yang mencerminkan perbuatan kita di masa lalu dan masa sekarang.

Roger von Oech pada halaman 33 Whack – Pukulan untuk Merangsang Kreativitas dan Ide Baru (Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer, 2008) berteori: “Pandanglah sekeliling Anda dan temukan empat benda yang mengandung unsur ‘merah’ di dalamnya. Dengan sikap mental ‘merah’ tadi, Anda akan mendapati bahwa warna merah akan bermunculan di mana-mana: buku telepon merah, bekas luka kemerahan di jari Anda, motif merah di kertas dinding Anda, dan seterusnya. Sama juga halnya bila Anda baru mempelajari istilah baru, Anda akan mendengarnya sampai delapan kali dalam tiga hari berikutnya. Setelah membeli mobil baru, Anda mungkin juga melihat mobil sejenis di mana-mana. Ini karena orang mendapatkan apa yang mereka cari. Bila Anda mencari keindahan, Anda akan mendapatkan keindahan. Bila Anda mencari konspirasi, Anda akan mendapatkan konspirasi. Semua ini adalah tentang menetapkan saluran mental Anda.”

Teori von Oech di atas menjelaskan fenomena yang saya alami sejak menempuh jalan spiritual, di mana saya mulai menyukai angka 7 (yang sering dianggap angka keramat oleh para pejalan spiritual). Saya pun kerap menjumpai – juga saat menyadari tentang kehidupan saya sebelum berspiritual – angka 7 atau mengandung penjumlahan yang menghasilkan 7. Angka-angka pada pelat nomor sepeda motor saya adalah ‘2212’, yang jika dijumlahkan (2+2+1+2) menghasilkan 7. Tanggal 19 Januari lalu, ketika menumpang pesawat Garuda Indonesia ke Palangkaraya, Kalimantan Tengah, nomor kursi yang saya duduki adalah 14 (7+7), dan nomor kursi ketika terbang kembali ke Jakarta dua hari kemudian adalah 17. Rumah saya beralamat di Jl. Pondok Jaya VII No. 14, sedangkan nomor rumah atau kantor dari saudara-saudara Subud saya mengandung angka 7. Angka 7 terkandung dalam nomor semua kamar hotel yang saya inapi saat bepergian keluar kota. Nomor mahasiswa Universitas Indonesia saya adalah 0787040037, sedangkan nomor GSM saya, yang diperoleh istri saya secara acak, adalah 0xxx-xx7-70-700. Bahkan nomor rekening saya berbuntut angka 7.

Simpelnya, lingkungan kita akan mencerminkan sikap dan/atau tingkah laku serta pemikiran kita. “Jika tindakan saudara baik dan benar, orang lain otomatis akan mencintai dan meletakkan kepercayaannya kepada saudara. Jika orang lain masih membenci kita, boleh saja kita menyalahkan mereka, tetapi sebenarnya kesalahan terletak pada diri kita sendiri. Ini berarti, sikap orang lain terhadap kita hanya mencerminkan pribadi kita. Jika orang membenci kita, itu karena belum ada cinta pada sesama dalam diri, benih cinta pada sesama belum ada atau jika memang ada masih samar-samar,” kata Muhammad Subuh pada tahun 1971. Ini menegaskan kebenaran dari ungkapan populer bahwa bila kita ingin mengubah perilaku dan sikap lingkungan kita, kita harus memulainya dengan mengubah diri kita sendiri terlebih dahulu.

Nah, coba Anda bayangkan dampaknya apabila kita semua berpikiran positif, serta secara tulus menghendaki kedamaian hidup dan kesejahteraan lahir-batin yang berkelanjutan. Mungkin semua itu akan datang menghampiri kita dan terus-menerus menempel pada diri kita. Siapa tahu!©

No comments: