Friday, March 13, 2009

Dari Nol ke Nol

"[K]arena Yesus mengetahui bahwa bagi segelintir orang, jalur tercepat menuju Siapa Diri Mereka adalah melalui Siapa Yang Bukan Diri Mereka."
--Neale Donald Walsch, Conversations with God 2 -- Menyibak Kehidupan Bersama di Planet Bumi (Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer, 2006), hlm. 235



Tiada angin, tiada hujan, tiba-tiba saya ingin membuat nasi goreng. Saya sedang menonton televisi yang sama sekali tidak menayangkan acara wisata kuliner atau masak-memasak, ketika keinginan itu muncul. Di Subud, kecenderungan ini disebut 'penerimaan' (receiving), atau secara umum dikenal sebagai 'ilham'. Sifatnya tuntunan; bila diikuti berdampak baik bagi si penerima, bila tidak biasanya, ya, sebaliknya. Tetapi ini adalah soal melatih merasakan diri -- apakah penerimaan tersebut berasal dari nafsu kehendak belaka atau memang dari sumber yang luhur. Untuk mengetahuinya, akal pikir dan nafsu Anda harus benar-benar nol, tenang dan tentram. Jika masih ragu juga, Anda bisa mengerjakan apa yang Anda terima.

Saya tergolong peragu. Saya tidak mudah diyakinkan apabila belum mengalaminya sendiri. Oleh karena itu pula, karier relijiusitas saya acap menyenggol sana-sini, menyentuh unsur-unsur di luar ajaran agama azali saya, agar dapat benar-benar meyakini subyek-subyek yang diajarkan, termasuk Tuhan dan ketuhanan. Penerimaan untuk membuat nasi goreng itu pun tidak saya biarkan terpendam. Sehari setelah memperoleh penerimaan itu, saya mewujudkannya.

Ketika memasak, pikiran saya nol; hanya terfokus pada kegiatan memasak nasi goreng. Saya tidak memikirkan apakah hasilnya nanti lezat atau tidak -- saya hanya mencampurkan bumbu ini dan itu, tetapi lupa menambahkan garam dan vetsin. Saya bahkan tidak memikirkan untuk apa nasi goreng tersebut nantinya, karena saya sedang diet anti-nasi. Hasilnya di luar dugaan saya (utamanya karena saya tidak pandai memasak): istri saya, yang ahli dalam hal masak-memasak pun, ketagihan akan kelezatan nasi goreng buatan saya. Sementara itu, dalam hati saya memuji-muji kebesaran Tuhan yang telah menuntun saya membuat nasi goreng itu.

Istri saya hobi memasak. Gemar sekali ia mencobai resep-resep baru. Sekali waktu ia bersama dua saudari Subudnya membuat siomay. Hasilnya tidak mengecewakan, tetapi istri saya kurang puas. Ia lalu mengajak saya ke rumah makan Soto Mi Kepala Sapi Makk Nyusszz di kawasan Jalan Moh. Kafi I, Ciganjur, Jakarta Selatan, yang juga menyajikan siomay. Rumah makan yang dalam waktu kurang dari setahun berkembang dari dagangan gerobak menjadi restoran laris manis itu milik saudara Subud saya, sehingga istri saya tak sungkan menanyakan resep siomay kepada kokinya. Pemilik rumah makan tersebut berkomentar, "Resepnya sama saja dengan yang lain. Yang membedakan adalah kita pakai 'rasa diri'."

Rasa diri (inner feeling, inner state) adalah suatu keadaan mental-spiritual yang diperoleh melalui pengosongan diri, me-nol-kan pikiran dan nafsu kehendak untuk sementara waktu. Mengenai fenomena alami ini, melalui bukunya, The Power of Now -- Pedoman Menuju Pencerahan Spiritual (Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer, 2005), hlm. 199-200, Eckhart Tolle menjelaskan: "Salah satu bentuk praktik spiritual yang terkuat adalah melakukan meditasi secara mendalam tentang kefanaan bentuk-bentuk fisik, termasuk diri Anda. Inilah yang dinamakan: Matilah sebelum Anda mati. Masuklah secara mendalam. Wujud fisik Anda akan lenyap, akan tidak ada lagi. Kemudian akan tiba saatnya semua bentuk pikiran dan pemikiran juga akan mati. Namun Anda masih berada di sana -- kehadiran ilahi ada di dalam diri Anda. Memancar sangat indah, sepenuhnya sadar. Tidak ada yang mati dari yang sejati, yang mati hanyalah nama, wujud dan ilusi."

Meski berdarah Jerman-Kanada dan sama sekali belum pernah tinggal lama di tanah Jawa, Eckhart Tolle ternyata sepaham dengan budaya kebatinan Jawa dengan ajaran mati sajroning urip (mati dalam hidup)-nya. Itu karena ajaran tersebut di ranah spiritual bersifat universal. 'Mati' di sini berkonotasi me-nol-kan diri, meniadakan diri yang bersifat materi, berpulang ke hakikat kemanusiaan kita, yang azalinya merupakan makhluk spiritual.

Me-nol-kan diri bukan laku aneh-aneh; laku yang hanya (boleh) ditempuh para pertapa atau ahli mistik. Bukankah tadinya kita tidak ada, lalu ada, dan akhirnya kembali tiada?! Eksistensi kita berasal dari nol, lalu ketika usia ingin beristirahat, kita kembali ke nol. Lalu, buat apa kita menjadi nol ketika kita sedang menjadi bukan nol?

Dalam keadaan nol-lah daya hidup yang luhur datang menghampiri kita, menyelimuti diri kita. Ketika didera putus asa, kehilangan daya, dan pikiran tak lagi mampu mencerna, saat itulah para nabi dan utusan Tuhan didekati Roh Kudus yang datang menyampaikan wahyu.

Dari kisah-kisah nubuat yang diterangkan oleh kitab-kitab suci agama-agama besar dunia nyata sekali korelasi antara pikiran yang nol (kosong, tentram, istirahat) dengan kelancaran datangnya ilham, bahkan kelancaran dalam berpikir. Pengarah kreatif Andromeda, sebuah biro iklan terkemuka di Australia, Siimon Reynolds, dalam halaman 167 buku Jim Aitchison, Cutting Edge Commercials -- How to Create the World's Best TV Ads for Brands in the 21st Century (Singapura: Prentice Hall, 2001), mengatakan, "Kanvas sejati dari penciptaan adalah diam. Anda kira Anda perlu dua orang sehingga Anda bisa membanding-bandingkan ide-ide, padahal Anda bisa membanding-bandingkan dengan diri sendiri."

Tetapi ketenangan pikiran -- yang, pada gilirannya, dapat menghidupkan rasa diri serta menciptakan keadaan pikiran yang tertuntun daya hidup yang luhur -- seringkali diabaikan, utamanya dalam kehidupan kontemporer ini. Tak mengherankan jika metode penyelaman diri, yang pernah menjadi sesuatu yang sangat mudah dilakukan, utamanya oleh mereka yang hidup di alam pedesaan yang permai dengan keadaan ekonomi yang tidak berlebihan -- sehingga tidak mempunyai materi yang menimbulkan kemelekatan -- menjadi komoditas yang mahal harganya dewasa ini.

Hypnotic writing dan hypnotic marketing -- teknik menulis/pemasaran yang berefek membuai pembaca/pelanggan bagaikan terhipnotis -- yang ditawarkan Dr. Joe Vitale, misalnya, dijual dalam bentuk pelatihan yang biaya kepesertaannya tidak murah. Padahal hypnotic writing dan hypnotic marketing mudah sekali dilakukan, asalkan Anda mampu me-nol-kan diri, menghidupkan rasa diri Anda dan mengerahkan keseluruhan diri Anda tertuntun oleh daya hidup yang luhur. Rasa diri yang hidup membangkitkan kepekaan Anda akan pikiran dan perasaan orang lain -- dalam hal hypnotic writing dan hypnotic marketing, yaitu pembaca/pelanggan Anda. Menulis atau berjualanlah tanpa pretensi, tanpa nafsu ingin untung sendiri atau ingin terkenal, tetapi menulis atau berjualanlah dengan rasa cinta dan penghargaan yang mendalam pada pembaca/pelanggan Anda. Jadikan diri pembaca/pelanggan satu dengan diri Anda; ketika Anda tidak menyukai tulisan/barang dagangan Anda, maka pembaca/pelanggan pun takkan menyukainya. Itulah prinsip dari hypnotic writing dan hypnotic marketing. Seyogianya hal ini diterapkan pada semua pekerjaan dan tindakan Anda.

Mulailah segala sesuatu dari sikap diri yang nol, yaitu pikiran yang terbebas dari kemelekatan pada tujuan nafsu kehendak. Tidak usah khawatir untuk memulai dari nol di saat Anda sedang 'penuh' sekarang ini. Toh akhirnya kita semua akan kembali ke nol lagi.©


No comments: